Bagi sebagian orang, politik kerap kali menyebalkan. Tapi peristiwa politik, seperti pemilu kali ini, juga selalu menyalakan harapan. Di bidang ekonomi, tentu saja harapan itu membuncah, sebab timbangan keberhasilan dan kelemahan kinerja ekonomi hampir sama bobotnya. Catatan keberhasilan yang bisa dilihat datanya, antara lain pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, kesehatan fiskal, perkembangan investasi, dan stabilitas sektor keuangan. Rangkaian kesuksesan itu mungkin bisa disanggah, namun sebagian data memang menguatkan penjelasan tersebut. Sebaliknya, di sisi lain terdapat fakta lain tentang kian memburuknya kinerja ekonomi nasional, seperti ketimpangan pendapatan, impor pangan, ketakmandirian energi, pelemahan sektor riil, defisit perdagangan, dan pemburukan infrastruktur. Pemburukan kinerja ekonomi ini sebagian besar disebabkan oleh tidak sigapnya pemerintah memanfaatkan peluang yang ada di depan mata. Oleh karena itu, pemerintahan mendatang sekurangnya punya 5 agenda paling strategis di bidang ekonomi yang harus dieksekusi.
Pangan dan Energi
Kedaulatan pangan merupakan hal genting yang harus diurus. Negara maju sekalipun, seperti AS dan sebagian negara Eropa, mencukupi kebutuhan pangan paling vital, semacam gandum, jagung, dan kentang. AS, Australia, dan sebagian negara Eropa bukan sekadar mencukupi kebutuhan sendiri (mandiri), tapi juga mengekspor sebagian produksi pangannya ke negara lain. Sebaliknya, Indonesia mengalami proses yang sebaliknya. Kedelei ditargetkan surplus 2,5 juta ton tiap tahun, tapi saat ini justru impor sekitar 1,4 juta ton (produksi hanya 750 ribu ton, padahal kebutuhan mencapai 2,2 juta ton). Pola yang sama terjadi pada konoditas gula, daging, jagung, dan lain-lain. Hanya beras bisa tercukupi untuk kebutuhan domestik, tapi cadangan beras masih harus mendatangkan dari negara lain. Kedaulatan pangan dimulai dari pilihan kebijakan yang benar, tak didikte oleh kepentingan negara lain atau pemodal. Lebih penting dari itu, kedaulatan harus fokus membela petani sebagai gugus produksi yang paling penting.
Berikutnya, kedaulatan energi adalah prioritas yang sangat penting dalam bidang ekonomi. Kebijakan ekspor komoditas pertambangan, seperti minyak, gas, batu bara, dan yang lain tanpa disadari telah menjadi amunisi bagi negara lain untuk memerkuat pembangunan ekonominya. Sektor industri Malaysia, misalnya, energinya sebagian besar (60%) tergantung dari pasokan batu bara Indonesia. Sebaliknya, sektor ekonomi domestik justru kesulitan mendapatkan pasokan eneregi tersebut, seperti industri pupuk yang tak memeroleh pasokan gas memadai atau PLN yang sulit mendapatkan asupan batu bara. Oleh karena itu, ke depan arah yang harus dituju adalah penggunaan sumber daya alam (pertambangan) untuk menopang ekonomi domestik dan pengolahan untuk kepentingan ekspor. Tidak boleh ada lagi kompromi untuk dua hal tersebut. Beban lain yang harus ditunaikan adalah pembesaran energi alternatif karena kapasitas produksi yang sangat besar. Tidak pada tempatnya kita menyia-nyiakan peluang besar tersebut.
Selanjutnya, persoalan kualitas dan kuantitas infrastruktur masih sangat menyedihkan hingga kini. Iklim investasi sulit didongkrak akibat keterbatasan infrastruktur, di luar masalah korupsi dan inefisiensi birokrasi. Pembiayaan bukanlah perkara yang menjadi penghambat pertama, namun eksekusi yang lemah. Sektor swasta sudah punya komitmen untuk membangun infrastruktur (lewat skema PPP), namun dukungan birokrasi amat minim. Akibanya, satu per satu pelaku swasta undur diri dan infrastruktur tak jadi dibangun. Pemerintahan mendatang mesti memangkas persoalan ini dan memanfaatkan seluruh energi untuk merealisasikan pembangunan infrastruktur dengan cepat. Prioritas infrastruktur adalah untuk mendukung sektor pertanian (pedesaan) dan konektivitas antarwilayah melalui infrastruktur maritim (pelabuhan), khususnya di Indonesia Bagian Timur. Di Jawa dan Sumatera jalur rel kereta api yang mesti ditambah (sekarang sebagian sudah terealisasi).
Merawat Harapan
Penguatan sektor riil adalah agenda berikutnya. Dua sektor terpenting penyangga sektor riil adalah pertanian dan industri (sumbangannya terhadap PDB terus turun, misalnya sektor indusri sekarang tinggal 23% dari sebelumnya 29% pada 2004). Kedua sektor ini tak boleh dibiarkan bekerja sendiri, tanpa terkait satu sama lain. Sektor industri rapuh karena selama ini tak menggandeng sektor pertanian, sehingga sebagian inputnya harus impor. Sebaliknya, sektor pertanian dibiarkan hidup tanpa nilai tambah karena komoditasnya dijual dalam bentuk bahan mentah, baik untuk mengisi pasar domestik maupun internasional. Jika industrialisasi di pedesaan dihidupkan, yang bertumpu kepada sektor pertanian dan pelaku usaha kecil, bisa dibayangkan betapa kuatnya perekonomian karena terbuka lapangan kerja yang besar, nilai tambah terdongkrak, dan ekspor menjadi kuat. Pola ini akan menyelesaikan tiga persoalan paling vital sekaligus: kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran. Gagasan ini sudah sangat uzur usianya, tapi tak pernah diyakini.
Terakhir, potensi perdagangan internasional tidak bisa digenjot karena beberapa hal berikut: komoditas tak memiliki nilai tambah, pasar hanya tertuju ke kawasan tertentu, jumlah komoditas andalan tidak banyak, informasi pasar internasional tak tersedia, kohesi antarpelaku ekonomi tak kuat, dan lain-lain. Pada 2004 Indonesia surplus perdagangan USS 25 miliar (bahkan pernah surplus US$ 39 miliar), tapi sejak 2012 malah defisit dan berlanjut hingga 2013 (defisit US$ 4,06 miliar). Sumber defisit itu berasal baik dari migas maupun nonmigas (karena pertumbuhan ekspor yang terus menurun). Jika proses hilirisasi di atas berjalan, maka nilai ekspor menjadi menjulang meski volume tak bertambah signifikan. Apalagi bila jumlah komoditas terus ditambah dan negara tujuan ekspor tersebar ke banyak kawasan, pasti dampaknya lebih besar lagi. Strategi ini juga akan mengurangi impor secara meyakinkan karena sebagian input tak perlu mendatangkan dari negara lain, namun menggunakan produk domestik.
Tentu masih banyak pekerjaan lain di luar 5 agenda di atas, tapi sekurangnya dengan merampungkan urusan pada soal-soal tersebut maka struktur ekonomi domestik menjadi kokoh. Bagi pemerintahan mendatang penguatan ekonomi golongan menengah-bawah, perbaikan tata kelola ekonomi, dan ekspansi ke ekonomi global merupakan isu yang harus dijawab sebab telah membuang kesempatan dalam 10 tahun terakhir. Lima agenda tersebut sebagian bisa membantu tercapainya isu dimaksud. Khusus untuk perbaikan tata kelola, tidak ada cara lain kecuali memangkas korupsi, baik yang bersumber dari kebijakan maupun implementasi program/kebijakan. Momentum 5 tahun ke depan harus direbut, karena atmosfer ekonomi sedang berpihak kepada Indonesia, seperti ekonomi global yang kian membaik, struktur demografi yang menguntungkan, dan sumber daya ekonomi yang besar. Semoga rakyat tak salah memilih pemimpin sehingga masih terus dapat merawat harapan.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef