KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Asean ke-19 digelar kembali di Indonesia, di mana lokasi pertemuan diadakan di Bali. Di luar para pemimpin tertinggi di Asean, KTT kali ini menjadi lebih strategis karena Presiden Obama juga hadir, termasuk membawa Menteri Luar Negeri (Hillary Clinton). Momentum pertemuan kegiatan rutin ini bermakna strategis karena saat ini terdapat beberapa persoalan ekonomi yang perlu pemecahan bersama. AS, Jepang, dan Eropa sekarang tengah berjuang mengatasi krisis ekonomi yang menggerogoti perekonomian mereka, meskipun upaya tersebut masih jauh dari memuaskan. Obama juga sedang menggagas Trans-Pacific Partnership (TPP) sebagai langkah merangkul kerjasama ekonomi dengan beberapa negara yang dianggap strategis, termasuk Indonesia. Di kawasan Asean sendiri juga ada soal yang perlu dibicarakan secara serius, khususnya manfaat ekononi yang bisa diraih dari Asean China Free Trade Agreement (ACFTA).
Keuangan dan Perdagangan Dunia
Secara normatif, KTT kali sudah merumuskan deklarasi Concord III yang berisi enam poin penting: (1) merespons isu ancaman dan kejahatan lintas-batas serta kerjasama maritim dan perang terhadap perompakan; (2) mendukung terbangunnya kawasan bebas senjata nuklir dan upaya nonproliferasi serta pemakaian energi nuklir untuk tujuan damai; (3) mengintensifkan kerjasama pemberantasan korupsi; (4) meningkatkan partisipasi Asean dalam berbagai inisiatif integrasi ekonomi kawasan dan dunia; memperkuat kapasitas Asean sebagai segmen rantai pasokan global yang lebih dinamis dan kuat, serta pengamanan pangan dan energi; dan (6) menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial dan keterpeliharaan lingkungan hidup untuk mencapai target MDGs. Deklarasi ini tentu membutuhkan klausul-klausul yang lebih operasional sehingga nantinya dapat berjalan pada level imlementasi.
Deklarasi tersebut sebetulnya kurang memotret secara tajam peta ekonomi-politik global, sehingga terdapat beberapa isu penting yang tidak tertangkap, baik dalam situasi kekinian maupun di masa depan. Pertama, Asean semestinya mendorong agenda penataan sistem keuangan dan perdagangan dunia yang lebih solid dan adil, khususnya ditinjau dari kepentingan negara berkembang. Krisis ekonomi yang terjadi dalam rentang waktu yang kian dekat akhir-akhir ini merupakan buah dari liberalisasi sektor keuangan dan perdagangan yang tidak terukur, sehingga revisi terhadapnya merupakan keniscayaan. Kedua, penajaman kerjasama ekonomi yang lebih kongkret untuk mengatasi ketimpangan ekonomi di antara anggota Asean sendiri, sehingga keberadaannya bermanfaat bagi negara kecil, seperti Kamboja, Laos, Brunei, Myanmar, dan Timor Leste. Ketiga, posisi terakhir Asean terhadap keberlanjutan ACFTA.
Menyangkut isu yang pertama, negara-negara Asean merupakan korban dari liberalisasi sistem keuangan dan perdagangan dunia. Pada 1997/1998 bahkan krisis moneter dipicu oleh kejatuhan Bath (Thailand), yang kemudian menjalar kemana-mana, termasuk ke Indonesia. Pola yang sama juga terjadi pada 2008 dan saat ini, sehingga tidak ada alasan lagi untuk memertahankan rezim keuangan dan perdagangan bebas. Berikutnya, berbeda dengan kerjasama ekonomi regional di kawasan yang lain, Asean perlu memelopori gerakan kerjasama ekonomi yang tujuan utamanya adalah membangun pemerataan ekonomi antarnegara, bukan mengokohkan kekuataan satu atau dua negara saja, sehingga negara lainnya tetap tertinggal. Jika nantinya agenda ini berjalan dan pemerataan ekonomi terjadi di kawasan ini, maka Asean secara tidak langsung telah berkontribusi terhadap penciptaan perdamaian dan kesejahateraan dunia.