Pada saat Presiden Obama melobi Kongres untuk meminta kenaikan pagu utang dalam anggaran, pelaku ekonomi masih merasa tidak khawatir terhadap situasi perekonomian global. Namun, ketika peringkat utang AS diturunkan oleh S&P menjadi AA+ (semula AAA), maka api dalam sekam itu lantas meledak. Pelaku ekonomi mengalami kepanikan dan pasar saham seketika merosot, walaupun belum runtuh. Hampir semua indeks pasar saham dunia turun, tidak terkecuali di Indonesia. Indeks pasar saham yang jatuh ini tentu mencemaskan banyak pihak, karena peristiwa yang sama juga terjadi pada medio 2008 lalu, meskipun dengan penyebab yang berbeda. Bayangan krisis ekonomi sekarang sedang menghantui para pelaku ekonomi, sehingga berpotensi menjadi kenyataan jika tidak dikelola secara cermat dan tepat. Dalam situasi seperti ini, apa yang mesti dilakukan Indonesia untuk mengantisipasi dan meminimalisasi dampak dari potensi krisis tersebut?
Identifikasi Jalur Krisis
Penurunan peringkat yang dilakukan oleh S&P memang dianggap sebagai pemicu utama kepanikan saat ini, meskipun sebetulnya tidak terjadi perubahan apapun dalam perekonomian AS. Rasio utang AS terhadap PDB memang sudah mendekati 100%, tapi ini belum apa-apa dibandingkan dengan Jepang yang menyentuh 200%. Tapi, sektor keuangan sekarang memang didikte oleh lembaga pemeringkat tersebut, sehingga setiap penilaian dari lembaga itu langsung dijadikan acuan bagi pelaku ekonomi di pasar. Jika mau adil, penurunan peringkat itu seharusnya sudah dilakukan sejak 2008 lalu, saat utang AS mulai membumbung akibat krisis subprime mortgage. Namun, entah dengan pertimbangan apa, sampai bulan lalu peringkat utang AS tetap mendapatkan penilaian bagus (triple A). Dengan status rating itu dianggap utang AS sangat rentan terhadap kemungkinan gagal bayar (default), sehingga faktor inilah yang menciptakan kepanikan.
Sampai saat ini jalur rembetan krisis hanya terjadi di pasar saham, belum sampai menyentuh kepada tiga jalur lainnya yang dianggap sebagai pemicu krisis sektor keuangan, yakni suku bunga, neraca bank, dan ketidakpastian yang meningkat (Miskhin, 1997). Pada jalur pasar saham ini, penurunan indeks yang dalam menyebabkan jatuhnya nilai perusahaan. Bagi korporasi-korporasi yang menghidupi dirinya dengan utang yang besar, jatuhnya nilai perusahaan mengakibatkan persepsi bahwa gagal bayar utang akan terjadi. Hal ini yang selanjutnya membuat para pemegang saham melakukan aksi jual terus-menerus sehingga makin menggerus nilai korporasi dan akhirnya bangkrut. Bisa dibayangkan apabila pola ini terjadi pada sebagian besar korporasi kakap yang memiliki donasi besar terhadap perekonomian nasional, baik terhadap produksi maupun penyerapan tenaga kerja.
Dengan gambaran itu dapat diprediksi pula apabila pekerjaan rumah yang harus segera dilakukan masing-masing negara saat ini adalah mengendalikan pasar sahamnya, tidak terkecuali Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan hingga sekarang telah jatuh mendekati 3700, dari sebelumnya yang telah melewati 4000. Tentu tidak cukup bagi pemerintah dengan mengatakan fundamental ekonomi bagus untuk meredam penurunan IHSG tersebut, namun perlu mencegahnya dengan langkah-langkah konkret. Salah satu yang perlu dilakukan adalah dengan publikasi informasi mengenai kualitas korporasi nasional yang telah listed di pasar saham dan penempatan dana pada obligasi di AS maupun negara maju lainnya, baik yang dilakukan oleh pemerintah (dan BI) ataupun sektor swasta. Sampai saat ini perekonomian masih relatif beruntung sebab tidak banyak investasi yang ditanamkan di surat berharga negara maju itu sehingga potensi kerugian akibat gagal bayar terbilang kecil.