Perlambatan ekonomi yang dicemaskan banyak kalangan akhirnya terbukti. Pelaku ekonomi domestik sudah mengambil posisi defensif, tak lagi memertimbangkan ekspansi. Permintaan terhadap beberapa komoditas utama telah turun, seperti semen, baja, dan otomotif. Sektor konstruksi yang berjaya dalam beberapa tahun terakhir juga mengalami nasib sama. Jadi, kelihatannya kondisi internal dan eksternal sedang tak berpihak. Sebagian besar asumsi makroekonomi APBNP 2015 kelihatannya sulit dicapai pula. Sehingga, sebaiknya pemerintah mengambil skenario kebijakan baru dalam menggerakkan perekonomian. Pekan ini, tepatnya 6-7 Mei 2015, kebetulan IIF (Institute of International Finance) dan Bank Mandiri menggelar seminar dengan topik yang relevan dengan tulisan ini, yakni terkait kinerja ekonomi global, perlambatan ekonomi Asia, inklusi keuangan, investasi, dan lain-lain.
Gelembung Ekonomi
Selama satu dasawarsa terakhir, problem yang mengakar kuat pada ekonomi global adalah intensitas penggelembungan ekonomi di sektor finansial dan integrasi ekonomi. Kasus subprime mortgage di AS dan krisis fiskal di Eropa hanyalah puncak dari akumulasi proses keterbukaan dan penggelembungan ekonomi. Ekonomi dibiarkan bergerak tanpa proksi komoditas (barang/jasa) yang ditransaksikan, sehingga aktivitas keuangan berputar untuk sektor itu sendiri. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi tak selalu berarti adanya pertambahan barang dan jasa. Penanda berikutnya adalah makin lenyapnya instrumen ekonomi domestik yang dimiliki masing-masing negara untuk mengisolasi dari bencana ekonomi global. Sehingga, krisis yang terjadi di AS dan Eropa menjalar ke seantero jagad. Praktis, pola ini terjadi sejak pertengahan 1990-an.
Dua tipikal masalah itu juga terjadi di Indonesia dalam 15 tahun terakhir. Sektor nontradeable berkibar dengan pertumbuhan yang selalu di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor telekomunikasi, transportasi, konstruksi, keuangan, jasa, dan lain sebagainya tumbuh tinggi. Sebaliknya, sektor tradeable (seperti pertanian dan industri) pertumbuhannya terus tertekan akibat ketiadaan insentif. Dalam 8 tahun terakhir kontribusi sektor industri terhadap PDB turun sekitar 5% dan pada saat yang sama sumbangan nontradeable sector makin meningkat (sekarang sudah melebihi tradeable sector). Ini juga menjadi sinyal bahwa kegiatan ekonomi kian tak berpijak pada komoditas, namun lebih melayani sektor keuangan dan sektor lain yang tak sensitif terhadap penyerapan tenaga kerja. Situasi ini yang membuat terjadinya “decoupling†dalam perekonomian.
Berikutnya, integrasi ekonomi Indonesia ke pasar global makin pekat. Sektor keuangan merupakan salah satu yang paling intensif, baik dalam aspek lalu lintas modal, pasar saham, surat utang negara, dan yang lain. Kepemilikan perbankan yang bebas bagi asing (sampai 99%) merupakan infrastruktur yang sempurna bagi integrasi sektor keuangan. Pada 2011 tercatat penguasaan asing dalam aset perbankan sudah mencapai 50,6%, jauh meningkat ketimbang masa 10 tahun silam. Di pasar saham situasi juga tak berbeda, di mana donasi pelaku ekonomi domestik sangat terbatas sehingga ruang lebih banyak dimasuki oleh aktor ekonomi luar negeri. Pada surat utang negara kisaran penguasaan asing sekitar 30%. Oleh karena itu, menjadi hal yang lumrah apabila guncangan ekonomi eksternal (pasar global) dengan mudah menjalar ke pasar dalam negeri.
Keadilan Ekonomi
Dengan paparan itu, sebetulnya skenario kebijakan ekonomi yang dibutuhkan adalah mencari titik keseimbangan baru perekonomian. Dalam konteks ekonomi nasional, titik keseimbangan baru itu berporos kepada tiga hal. Pertama, memadukan pertumbuhan dan keadilan (pemerataan). Isu ini merupakan pokok yang dibahas intensif sejak 5 tahun lalu. Saat ekonomi sedang lesu seperti sekarang justru merupakan momentum yang tepat untuk memerkuat pondasi ekonomi, seperti menguatkan ekonomi skala kecil, sektor pertanian dan industri, wilayah perdesaan, daerah timur Indonesia, dan lain sebagainya. Pemerintah sudah benar dengan membuat rancangan “Nawacita†yang pekat dengan afirmasi terhadap isu tersebut. Problemnya tinggal efektivitas eksekusi dan dukungan pendanaan. Sebagian soal pendanaan sudah terpecahkan lewat formasi alokasi APBN yang baru.
Kedua, membangun sektor keuangan yang melibatkan banyak warga sehingga akses terbuka secara penuh. Selama ini sektor keuangan hanya milik kelas ekonomi tertentu. Bahkan, dalam pengertian pelaku ekonomi yang memeroleh kredit dari perbankan hanya dikuasai oleh segelintir pelaku ekonomi. Itu juga terjadi di pasar saham, asuransi, dan lain sebagainya. Sektor keuangan sendiri juga tak berpihak kepada sektor riil dan biaya bunga yang amat mahal. Struktur keuangan semacam ini bukan hanya membuat ekonomi sulit berkembang, tapi juga menciptakan ketimpangan ekonomi. Regulasi sektor keuangan perlu diarahkan untuk perbaikan ke arah itu, tak boleh dibiarkan berjalan sesuka pelakunya sendiri. Inklusi keuangan merupakan bagian penting untuk memastikan pelaku yang membutuhkan dapat memeroleh akses keuangan yang mudah.
Ketiga, integrasi ekonomi harus dilakukan secara terukur dengan sistematika yang masak. Indonesia tak pernah melakukan kajian yang mendalam tentang daya saing ekonomi nasional secara rinci sehingga banyak kebobolan dari praktik keterbukaan ekonomi. Faktanya, sejak 2012 Indonesia mengalami defisit perdagangan. Keterbukaan ekonomi merupakan hal yang lumrah sepanjang dikerjakan dengan pemahaman yang utuh tentang kekuatan ekonomi domestik dan peta kompetisi negara lain. Pendulum ekonomi terus berubah dan Indonesia mesti cerdas mencermati tiap inci perkembangan. Pokok-pokok gagasan ini yang mesti dijadikan bahan bagi pemerintah menyusun skenario baru agar keterjepitan ekonomi saat ini menjadi sumber kelapangan di masa depan. Prospek masa depan yang cerah hanya milik mereka yang menyiapkan hari ini dengan baik.
Â
Â
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef