Musim gugur kali ini agak lain di Wall Street (WS). Daun yang telah menguning jatuh tepat di atas kepala kerumunan orang. Ini agak beda saat Desember 2010 lalu saya menyusuri WS yang senyap dan beku, mungkin juga karena hari sudah beranjak petang ketika itu. Tapi, sekarang berbeda. Orang-orang berkerumun di jantung bisnis dunia tersebut. Mereka berkumpul bukan untuk merayakan pemulihan ekonomi atau minum di kedai kopi. Para petarung ekonomi dari kasta “biru†(buruh) itu bersekutu di sana untuk sebuah pesan penting: Occupy Wall Street! Mereka tidak hendak merampas WS secara fisik, tapi bertekad menenggelamkan perilaku rakus (greedy) para pemain yang ada di balik WS. Demonstrasi yang bermula dari taman Zuccotti itu mengguncang kesadaran baru: kapitalisme hendak dihabisi. Entah, upaya itu bakal berujung sebagai realitas atau menyimpannya lagi menjadi mimpi.
AS hari ini sebetulnya bukanlah negeri Paman Sam seperti yang digambarkan puluhan tahun lampau. Sejak 2008 lalu, negeri itu oleng menuju kebangkrutan ekonomi karena ketamakan dan salah urus yang parah. Megakorporasi hebat melakukan sindikasi kejahatan ekonomi dengan mempermainkan kredit perumahan kelas dua (subprime-mortgage), yang bertepi kepada gagal bayar akut. Lehman Brothers, Merrill Lynch, AIG, Bank of America, dan lain-lain terkulai karena operasi perusahaan yang tidak beradab. Negara dan korporasi lain di luar AS juga ikut sakit sebab terjebak dengan investasi di korporasi-korporasi kakap tersebut. Indonesia masih untung, pemerintah dan perusahaan swasta tidak turut latah menanam modal ke MNC’s AS tersebut. Indonesia hanya dapat getah sedikit, pertumbuhan tidak dapat dihela karena ekonomi global lumpuh. Saat itu, sebuah kredo usang diyakini kembali: ekonomi yang bertumpu kepada kekuatan domestik tidak selamanya buruk.
Tapi itu semua belum seberapa penting dibanding fakta berikut: Pemerintah AS menginjeksi korporasi-korporasi jahat itu dengan nilai yang sulit dipahami dengan nalar waras (US$ 700 miliar). Dana talangan itu jika dikonversi ke rupiah setara dengan Rp 6500 triliun, nyaris 6 kali lipat nilai APBN 2011! Memgapa ini penting? Pertama, dana injeksi dilakukan oleh pemerintah yang secara formalistik meyakini mekanisme pasar bisa merampungkan masalahnya sendiri, termasuk soal moral hazard. Kedua, Pemerintah AS tahu bahwa upaya itu akan berakhir dengan kegagalan dan kegagapan. Sebab, uang yang diyakini lenyap gara-gara subprime-mortgage itu diperkirakan sebesar US$ 1-3 triliun. Puncak dari seluruh irasionalitas itu ditutup dengan maha-keserakahan: petinggi-petinggi megakorporasi membagikan bonus kepada para pekerjanya (dan tentu saja para pemimpinnya) dengan memakai dana talangan! Itulah yang membuat luka ekonomi berubah menjadi perih sosial saat ini.