Pemerintah yang akan datang, yang tak lama lagi akan dilantik, masih punya obsesi untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi Indonesia pada lima tahun ke depan. Jika memungkinkan, pertumbuhan ekonomi bisa menembus 8%, atau sekurangnya mencapai 7% tiap tahun. Pada tahun depan tentu impian itu sulit diwujudkan. Namun, pada tahun-tahun berikutnya presiden dan wapres terpilih berharap pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi sesuai dengan target. Hasrat ini rasanya tak gampang dicapai karena akan dihadang oleh banyak persoalan, baik dari aras domestik maupun internasional. Pada sisi domestik, aneka problem ekonomi harus dituntaskan terlebih dulu agar sasaran pertumbuhan ekonomi lekas diperoleh. Sementara itu, pada sisi internasional pada periode mendatang akan dihantui oleh krisis sehingga prospek pertumbuhan ekonomi tak secerah 3 dekade terakhir.
Pondasi Struktur Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan tinggi tak selamanya salah, asalkan telah memertimbangkan kapasitas ekonomi, biaya oportunitas yang dikorbankan, dan halangan yang merintangi. Dalam konteks ini, sekurangnya terdapat tiga problem ekonomi domestik yang menjadi batu sandungan untuk mencapai sasaran dimaksud. Pertama, semua paham bahwa pondasi struktur ekonomi Indonesia amat lemah. Sektor ekonomi yang menjadi tumpuan sebagian besar tenaga kerja, yakni pertanian dan industri, sepanjang 10 terakhir mengalami kemerosotan. Sektor pertanian makin tergantung dari impor, sehingga ketahanan pangan dalam kondisi rawan. Sementara itu, sektor industri tidak bertumpu kepada bahan baku domestik. Komoditas ekspor tergantung dari komoditas primer yang tak memiliki nilai tambah tinggi, sehingga menekan neraca perdagangan. Tercatat, rasio ekspor terhadap PDB saat ini cuma sekitar 20%, tertinggal jauh dari negara tetangga.
Kedua, perekonomian nasional selama ini mengabaikan pembangunan ekonomi di luar Jawa dan sektor maritim. Perekonomian berjalan pincang karena tergantung dari Jawa dan daratan. Pemerintahan baru yang telah terpilih menyadari hal itu, sehingga menempatkan wilayah Indonesia Timur dan sektor maritim sebagai salah satu pusat pengembangan ekonomi. Investasi pada kedua wilayah dan sektor tersebut tentu sangat dibutuhkan dalam jumlah yang besar. Kebutuhan investasi mungkin bisa dicarikan dari aneka sumber, namun langkah itu juga tak mudah selama pranata yang menopang keperluan investasi tak tersedia, seperti insentif kebijakan, infrastruktur, dan kelembagaan yang mapan. Jika itu telah dipenuhi, investasi bisa dieksekusi dan mulai menghasilkan. Tapi, jarak antara penyediaan pranata pembangunan dan hasil investasi tentu tak bisa waktu singkat.
Ketiga, infrastruktur ekonomi sebagai penopang investasi di atas amat minim sehingga dibutuhkan pembangunan secara masif. Pembangunan infrastruktur bukan hanya perlu dana, namun juga waktu yang relatif lama. Perizinan, proses tender, pembebasan lahan, dan pelaksanaannya butuh proses yang panjang. Bahkan, investasi yang bernilai besar dan rumit, seperti pembangunan jembatan Suramadu, perlu waktu bertahun-tahun. Hal yang sama juga terkait dengan pembangunan bandara, pelabuhan, listrik, dan lain-lain. Apabila ini masih ditambah dengan infrastruktur terkait manusia, maka problem kualitas tenaga kerja juga dalam kondisi yang mencemaskan, karena 65% tenaga kerja cuma tamat SMP ke bawah. Ketiga masalah di atas tentu bisa diatasi, namun butuh masa yang tak singkat sehingga dampak terhadap pertumbuhan ekonomi tak secepat yang diinginkan.
Â
Keterbukaan Ekonomi
Bila analisis diteruskan ke level ekonomi internasional, maka akan dijumpai realitas yang tak mengenakkan pula. Perekonomian Indonesia, dari sisi perdagangan, sangat tergantung kepada pasar AS, Jepang, kawasan Eropa, China, dan Asean. Masalahnya, negara-negara tersebut dalam beberapa tahun ke depan belum akan kembali ke situasi normal. AS dan Eropa masih berkutat mengatasi krisis ekonomi, barangkali 3 tahun lagi baru pulih normal. China sebagai salah satu lokomotif ekonomi dunia, bahkan diprediksi akan memasuki dekade perlambatan ekonomi, setelah negara itu sepanjang 20 tahun meraih capaian pertumbuhan ekonomi yang luar biasa, di atas 10%/tahun. Lebih masalah lagi, neraca perdagangan Indonesia dengan China masih defisit, seperti halnya dengan kawasan Asean dalam beberapa tahun terakhir.
Sejak 2008 pertumbuhan ekonomi China sudah jatuh di bawah 10%, bahkan tahun ini diprediksi hanya pada kisaran 7,5%. Ekspor China juga terjun bebas, di mana pada periode 2001-2008 ekspor tumbuh rata-rata 29%/tahun, tapi sekarang tinggal di bawah 10%. Implikasinya, surplus neraca transaksi berjalan China yang mencapai puncaknya pada 2007 (mencapai 10% dari PDB), saat ini tinggal 2%. Pertumbuhan tinggi pada masa lalu juga harus dibayar mahal oleh China karena ketimpangan pendapatan melompat nyaris tak terkendali. Pada 2010 ketimpangan pendapatan mencapai 0,52 (rasio gini), turun sedikit pada 2012 menjadi 0,50. Ini merupakan salah satu ketimpangan pendapatan tertinggi di dunia. Diperkirakan ekonomi China akan menjalani proses keseimbangan kembali yang lama dan pertumbuhan ekonomi cuma sekitar 6-7% (Yang, 2014).
Situasi muram itulah yang menggelayuti ekonomi global, yang sebagian masih akan ditambah oleh ancaman krisis dari beragam sumber. Dengan mencermati itu, pemerintah (baru) mesti menyusun langkah-langkah strategis untuk memerkuat perekonomian domestik. Pertumbuhan ekonomi memang penting, tapi tak perlu dengam mematok target yang terlalu tinggi. Lima tahun ke depan penyelesaian masalah dasar ekonomi domestik di atas lebih urgen diupayakan, meskipun mungkin belum akan ada hasil pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Demikian pula, kondisi pasar global harus dimitigasi dengan ramuan kebijakan yang tepat, termasuk evaluasi terhadap keterbukan ekonomi, baik di pasar barang/jasa, tenaga kerja, dan keuangan. Narasi domestik dan relasi global itulah yang menjadi dasar pengelolaan ekonomi nasional di masa depan.
Â
Â
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef