Kecemasan terhadap masa depan ekonomi nasional telah mendapatkan konfirmasi yang meyakinkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa hari lalu. Para pengamat ekonomi sudah lama mengingatkan bahaya involusi pertanian dan gejala deindustrialisasi sehingga diharapkan pemerintah memberikan perhatian yang serius terhadap persoalan ini. Namun, data yang disampaikan BPS menyodorkan fakta yang kian membuat prihatin, karena sektor pertanian hanya tumbuh 2,9% dan sektor industri tumbuh 4,5% (padahal pertumbuhan ekonomi sepanjang 2010 mencapai 6,1%). Seperti tahun-tahun sebelumnya, penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia didominasi oleh sektor-sektor non-tradeable, seperti pengangkutan dan komunikasi (13,5%); konstruksi (7%); dan perdagangan, hotel dan restoran (8,7%). Jika dibuat rata-rata, sektor non-tradeable mencapai pertumbuhan 7,7% sepanjang 2010.
Tragedi Pertanian
Sektor pertanian merupakan kisah sukses perekonomian nasional pada masa lampau. Secara tegas GBHN yang pernah dimiliki Indonesia menempatkan sektor pertanian sebagai pondasi pembangunan ekonomi. GBHN itu kemudian dirinci berdasarkan rencana pembangunan lima tahun (Repelita), yang berisi tahap-tahap modernisasi pembangunan sektor pertanian. Tidak mengherankan bila sejak dekade 1980-an Indonesia telah bisa swasembada beras dan memproduksi beberapa komoditas penting dalam jumlah yang besar, seperti gula, kedelai, dan jagung. Di kawasan Asia, Indonesia dianggap sebagai pemain penting sektor pertanian, bahkan dapat memasok kebutuhan ngara-negara lain lewat ekspor yang dilakukan, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Pendeknya, selama kurang lebih 15-20 tahun Indonesia telah menempatkan dirinya sebagai pemain besar sektor pertanian di dunia.
Namun, setelah krisis 1997/1998 keadaan tiba-tiba berubah sangat cepat. Secara nasional Indonesia tidak memiliki lagi panduan strategi pembangunan ekonomi yang tegas untuk mendudukkan sektor pertanian sebagai basis perekonomian. Secara teknis, kebijakan ekonomi banyak didikte oleh asing, khususnya melalui perjanjian Letter of Intent dengan IMF, yang meliberalisasi sektor pertanian secara drastis. Kenyataan itu membuat insentif melakukan kegiatan produksi di sektor pertanian menjadi menurun karena banjir produk impor. Implikasinya, beberapa komoditas andalan, seperti kedelai dan jagung, produksinya turun drastis. Sejak saat itu pula, Indonesia telah menjadi importir untuk beberapa komoditas pangan penting. Pada semester pertama 2008 Indonesia pernah mengalami keadaan yang pahit ketika harga pangan internasional melonjak sangat tajam dan kita sudah menjadi importir pangan.
Pada periode 2000-2004 sektor pertanian sempat tumbuh lumayan rata-rata 3,9%, namun pada 2005 pertumbuhan sektor pertanian anjlok menjadi 1,79%. Pada periode itu terdapat anomali yang aneh, karena pada 2001 pertumbuhan ekonomi sebesar 3,81% dan meningkat menjadi 5,76% pada 2005, tapi saat bersamaan sektor pertanian pertumbuhannya malah merosot dari 4,08% (2001) menjadi 1,79% (2005). Pola ini seperti berulang saat ini, ketika pertumbuhan ekonomi 2010 sebesar 6,1%, tapi sektor pertanian hanya mampu tumbuh 2,9%. Celakanya, sampai saat ini sektor pertanian masih menyerap sekitar 41% dari total tenaga kerja. Kehancuran ini bisa terjadi karena sektor pertanian tidak dinafkahi dengan kebijakan dan kelembagaan yang memadai untuk menghidupkannya kembali, bahkan untuk sekadar bertahan dari gempuran komoditas luar negeri pun sudah sangat sulit.
Cetak Biru Pembangunan
Sektor industri juga menyumbang penyerapan tenaga kerja yang cukup besar, yakni sekitar 12%, dan berkontribusi terhadap PDB pada kisaran 26-27% (turun dari masa lalu yang hampir mencapai 29%). Dengan deskripsi ini, ditambah dengan kontribusinya terhadap ekspor, membuat sektor industri memiliki posisi strategis dalam konstelasi pembangunan ekonomi nasional. Namun, sebangun dengan yang dialami sektor pertanian, dalam beberapa tahun terakhir ini pertumbuhan sektor industri merosot sehingga kontribusinya terhadap PDB juga menurun. Realitas inilah yang kemudian disebut dengan fenomena deindustrialisasi. Dalam sub-sektor industri, sebetulnya terdapat potensi yang besar untuk dikembangkan, seperti industri makanan dan minuman, elektronika, tekstil, alas kaki, kimia, dan semen. Industri makanan dan minuman sampai sekarang masih menjadi penopang sektor industri nasional.
Sementara itu, industri tekstil mengalami kemunduran karena terlambat melakukan peremajaan teknologi (mesin), sehingga saat ini kalah bersaing dengan negara-negara lain, semacam China, India, dan AS. Industri kimia potensi ekspornya bagus, namun juga terjebak dengan impor bahan baku yang besar. Pola yang sama juga terjadi pada industri baja, yang selama bertahun-tahun tidak melakukan ekspansi produksi. Sedangkan untuk industri elektronika dan otomotif tidak ada insentif yang jelas dari pemerintah untuk penguatan industri nasional sehingga Indonesia hanya menjadi pasar empuk negara-negara lain, khususnya Jepang, Eropa, dan AS. Dengan situasi seperti ini jelas sangat sulit mengharapkan sektor industri tumbuh tinggi karena tidak ada kebijakan dan investasi yang memadai selama beberapa tahun belakangan. Jadi, fenomena deindustrialisasi merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindari.
Cetak biru pengembangan sektor pertanian dan industri merupakan kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditunda sebagai jalan pengembalian arah pembangunan ekonomi nasional. Melihat potensi dan sumber daya ekonomi yang dimiliki, sebetulnya pembangunan sektor pertanian dan industri merupakan satu kesatuan. Strategi industrialisasi nasional harus dikembalikan kepada tumpuan sektor pertanian (dan sumber daya alam lainnya) karena disinilah keunggulan yang dimiliki Indonesia. Terlalu banyak kesalahan yang dibuat dengan menjual murah (ekspor) komoditas penting di sektor pertanian dan SDA tanpa melalui pengolahan terlebih dulu, seperti ikan, buah-buahan, batubara, kelapa sawit, dan lain-lain. Jika semua itu diolah terlebih dulu, maka sektor industri bergerak, penciptaan lapangan kerja tercipta, nilai tambah diperoleh, dan ekspor menjulang. Hal yang sangat sederhana inipun tidak kunjung pemerintah lakukan!
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FE Universitas Brawijaya;
Direktur eksekutif Indef