Pemerintah dan DPR telah menyelesaikan pembahasan APBNP 2015. Perubahan mendasar telah dilakukan, sehingga postur APBNP 2015 menjadi tampak berbeda ketimbang APBN sebelumnya. Perbedaan utama bisa disaksikan dalam tiga hal pokok. Pertama, asumsi ekonomi makro memasukkan variabel Rasio Gini dan IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Ini merupakan tradisi baru, sebab sebelumnya asumsi hanya memuat variabel terkait isu yang sangat ekonomistik, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, harga minyak, dan lain-lain. Kedua, alokasi APBN tampak lebih kokoh berkat pengurangan tajam anggaran subsidi energi. Pemerintah memiliki ruang yang besar untuk meningkatkan alokasi belanja modal, penyertaan modal kepada BUMN, dan stimulasi beberapa program unggulan terkait Nawacita. Ketiga, pemerintah menaikkan target penerimaan pajak cukup tinggi (tax ratio 13,3%) sehingga mendobrak kemandegan penerimaan pajak yang statis sepanjang 10 tahun terakhir.
Alokasi Anggaran
Jika dihubungkan dengan bidang ekonomi, sekurangnya terdapat tiga pilar Nawacita yang langsung terkait, yakni isu membangun dari daerah pinggiran, peningkatan produktivitas rakyat dan daya saing ekonomi, dan kemandirian ekonomi. Di dalam RPJMN 2014-2019 fokus membangun dari daerah pinggiran itu antara lain diwujudkan dalam pembangunan desa dan wilayah perbatasan, sedangkan produktivitas dan daya saing ekonomi dilakukan dengan membangun sarana pelatihan, peningkatan pendidikan, pembangunan infrastruktur, dan perbaikan logistik secara masif. Sementara itu, kemandirian ekonomi dikerjakan untuk penguatan –khususnya- sektor pangan dan energi. Sektor pangan dan energi merupakan pertarungan besar, karena situasi saat ini amat memilukan. Ketergantungan impor pangan sangat tinggi dan eksplorasi energi vital (minyak, gas, dan lain-lain) sangat sedikit yang dikerjakan oleh pelaku domestik. Ketiga pilar tersebut merupakan jangkar pembangunan ekonomi ke depan.
Jika dilihat secara rinci, penyusunan RPJMN bisa dikatakan sudah cukup baik mengelaborasi Nawacita, baik dalam bentuk strategi/arah kebijakan maupun program. Tantangan global maupun domestik bisa diidentifikasi relatif tajam sehingga arah kebijakan dan program bisa ditelusuri kaitannya dengan tantangan tersebut. Arah kebijakan dan program secara cermat mencoba merekam kebutuhan pembangunan (ekonomi, sosial, politik, dan lain-lain) lima tahun ke depan. Sungguh pun begitu, beberapa kelemahan masih terlihat dalam dokumen tersebut. Setiap poin Nawacita mestinya dieksplorasi kerangka pikirnya sebelumnya diturunkan dalam wujud strategi kebijakan dan program. Format dokumen itu tak semuanya dibikin dengan disiplin logika seperti itu. Berikutnya, sikap terhadap isu kritis, semacam liberalisasi, terlihat bertentangan dengan spirit Nawacita. Selebihnya, target atau asumsi yang dibuat dalam beberapa kasus, seperti pertumbuhan ekonomi, terlihat terlalu optimistis.
Kembali ke APBNP 2015, asumsi dasar ekonomi makro telah diubah dengan beberapa catatan berikut. Pertama, asumsi pertumbuhan ekonomi diubah menjadi 5,7%. Meskipun perubahan masih terlalu optimistis, tapi sudah menuju ke arah yang lebih realistis. Tahun ini rasanya pertumbuhan ekonomi hanya akan bergerak di kisaran 5,4-5,5% saja. Kedua, nilai tukar asumsinya diubah lebih realistis menjadi Rp 12.500; inflasi 5%; suku bunga SPN 3 bulan 6,2%; kemiskinan 10,3%; dan pengangguran 5,6%. Ketiga, pemerintah memasukkan asumsi Rasio Gini 0,4 dan IPM. Upaya ini patut diapresiasi, sebab pertumbuhan ekonomi (yang tinggi) tidak ada artinya bila hanya memicu ketimpangan. Oleh sebab itu, asumsi Gini Rasio dan IPM telah sesuai dengan mandat Nawacita yang berkehendak mewujudkan pemerataan dan peningkatan produktivas (daya saing). Dari asumsi makro ini APBNP 2015 telah memberi sinyal yang lebih bagus.
Bagaimana halnya dengan postur belanja APBNP 2015 terkait dengan Nawacita? Jika dikaitkan dengan membangun dari pinggiran/desa, maka alokasi pembangunan desa memang telah diberikan cukup besar, yakni sekitar Rp 20 triliun. Sungguh pun begitu, alokasi itu jika dibagi dengan jumlah desa yang mencapai sekitar Rp 74 ribu, maka masih jauh dari ideal. Awalnya, pemerintah berharap tiap desa akan memeroleh porsi sekitar Rp 1 miliar/desa. Bila itu dipenuhi, maka anggaran yang disiapkan paling tidak sebanyak Rp 74 triliun. Dengan begitu, anggaran Rp 20 triliun itu masih kurang dari 30% dari seharusnya. Mestinya, dengan penurunan anggaran subsidi energi yang sangat besar, tidak sulit bagi pemerintah menggelontorkan sekitar Rp 35 – 40 triliun untuk dana desa. Apalagi, pada tahun ini saja pemerintah hendak memberikan PMN (Penyertaan Modal Negara) BUMN sekitar Rp 72 triliun (sampai tulisan ini dibuat belum disetujui DPR). Jadi, anggaran desa ini masih kurang bertenaga untuk mendorong pembangunan desa.
Selanjutnya, berkah terbesar dari pengurangan subsidi energi adalah peningkatan belanja modal. Pemerintah mengalokasikan sekitar Rp 280 triliun untuk belanja modal yang akan dipakai untuk pembangunan infrastruktur. Bappenas (2013) sendiri menghitung kebutuhan anggaran dana infrastruktur 2015-2019 mencapai Rp 7.263 triliun. Dengan kata lain, butuh sekitar Rp 1.450 triliun/tahun. Jika pemerintah hanya mampu menyumbang Rp 280 triliun, maka diharapkan kekurangannya (lebih dari Rp 1.150 triliun) ditutup oleh swasta (domestik maupun asing). Dari anggaran Rp 280 triliun tersebut, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat memeroleh alokasi terbesar (hampir Rp 120 triliun). Sementara itu, sektor pertanian memeroleh jatah pembangunan irigasi sebesar Rp Rp 9,3 triliun. Terkait dengan energi yang terlihat adalah rencana pembangunan listrik (Rp 5,2 triliun) dan infrastruktur migas (Rp 5 triliun). Pembangunan infrastruktur ini diharapkan bisa meningkatkan daya saing ekonomi nasional.
Inisiasi Program Baru
Misi kedaulatan pangan diperlihatkan dengan penambahan anggara Kementerian Pertanian menjadi Rp 32,7 triliun, sebelumnya hanya Rp 15,8 triliun. Di luar itu, program keadulatan pangan juga disangga oleh kementerian lain, misalnya anggaran yang dititipkan di Kementerian PU dan Perumahan Rakyat sebesar Rp 8,4 triliun; Kementerian Kelautan dan Perikanan Rp 110 miliar; anggaran Dana Alokasi Khusus Rp Rp 13,3 triliun, dan lain-lain. Sementara itu, anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri meningkat menjadi Rp 10,5 triliun (semula Rp 6,7 triliun). Ini masih ditambah dengan anggaran kemaritiman yang ditempatkan di Kementerian Perhubungan dan Kementerian Koordinator Kemaritiman. Dalam 3 tahun ke depan pemerintah menargetkan swasembada jagung, kedelai, dan gula. Dari postur tersebut memang terlihat upaya serius pemerintah untuk membangun kembali sektor pertanian, baik dari sisi infrastruktur maupun program, agar target kemandirian ekonomi tergapai.
Pemerintah juga memberi perhatian yang besar bagi kepentingan kesejahteraan dan perlindungan sosial, yang berada dalam tanggung jawab Kementerian Sosial; Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan; Ristek dan Dikti; Pendidikan dan Kebudayaan; Kesehatan; Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; Pertanian; Perhubungan; dan Desa, PDT dan Trasmigrasi. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat diberi mandat pemenuhan kewajiban dasar (Rp 9,1 triliun); Kementerian Pertanian diberi tugas mengurangi kesenjangan antarkelas pendapatan (Rp 60 miliar); Kementerian Perhubungan diharapkan mengurangi kesenjangan (Rp 2,1 triliun); Kementerian Kesehatan difokuskan untuk perluasan Kartu Indonesia Sehat (Rp 422 miliar); dan lain sebagainya. Anggaran Kementerian Sosial sendiri melonjak menjadi Rp 28,9 triliun (sebelumnya hanya Rp 8 triliun) untuk mengawal program perlindungan sosial.
Selebihnya, sari sisi pendapatan postur penerimaan pajak layak diacungi jempol karena pemerintah berani menaikkan tax ratio menjadi 13,3% sehingga penerimaan pajak menjadi Rp 1.484,4 triliun. Target ini sebetulnya wajar mengingat potensi pajak yang hilang setiap tahunnya amat besar, sehingga tax ratio nasional jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga (mereka pada kisaran 16-20%). Namun, yang agak menyedihkan adalah pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang turun menjadi Rp 281 triliun dalam APBNP 2015 (APBN 2015 sebesar Rp 410,3 triliun). Pemerintah memang akan tersodok dengan penurunan pendapatan dari minyak dan gas, juga deviden BUMN, tapi sebagian seharusnya bisa ditutup dari pembersihan penangkapan ilegal ikan, hutan, dan perbaikan tata kelola di pertambangan. Akibat penurunan PNBP tersebut, pemerintah masih akan mengalami defisit keseimbangan primer dan defisit anggaran (1,9%) sehingga utang (domestik dan luar negeri) akan menjadi penutupnya.
Jika dilihat lebih rinci, struktur anggaran tersebut memang tampak telah menyantuni kepentingan publik lebih besar ketimbang sebelumnya. Tetapi, apabila berbicara anggaran berbasis konstitusi, maka postur ini masih kurang memadai. Belanja sosial untuk menjalankan jaminan sosial semesta jauh dari ideal. Anggaran kesehatan yang mestinya 5% dari APBN (sesuai dengan amanat UU Kesehatan) baru disantuni sekitar 3%, sehingga secara legal sebetulnya ini masih bermasalah. Anggaran birokrasi memakan porsi yang besar (di atas 20%). Idealnya porsi belanja birokrasi (pegawai dan barang) tidak boleh melebihi 16%, di mana pada 2004 porsi ideal itu pernah dicapai. Sementara itu, anggaran masih dibebani dengan pembayaran bunga utang sehingga menekan belanja sosial. Soal pembayaran bunga utang ini sulit diselesaikan bila anggaran berimbang tak segera dieksekusi. Sayangnya, dalam RPJMN sampai 2019 pun ditargetkan pemerintah masih akan menganut anggaran defisit.
Dengan deskripsi tersebut, relasi antara RPJMN dan APBN relatif telah sesuai. Dokumen RPJMN yang merupakan penjabaran dari visi dan misi presiden terpilih, dengan segala kekurangan sudah dielaborasi cukup baik. Sementara itu, APBN merupakan sumber daya terpenting pemerintah untuk mencapai arah kebijakan dan program yang telah tertuang dalam RPJMN. Tentu saja, persiapan yang singkat dalam proses APBN Perubahan ini membuat hal-hal kecil masih terlewat dan dalam beberapa aspek terlihat belum terintegrasi. Misalnya, konsep dan program tol laut belum bisa dilacak dari APBNP, sehingga dalam jangka pendek sulit diharapkan hasilnya. Demikian pula, anggaran terkait pencetakan sawah baru (sebagai pilar kebijakan reforma agraria) punya potensi terhadang akibat ketidakcukupan anggaran ataupun persoalan teknis lainnya. Selebihnya, pemerintah mesti diberi apresiasi atas upaya perubahan ini karena hasrat membuat APBN yang lebih berbobot sudah tampak lebih terang.
Jadi, secara keseluruhan APBNP 2015 ini sebetulnya telah mencoba membongkar struktur buruk anggaran warisan masa lalu, antara lain dengan membuat alokasi anggaran yang lebih berdaya sesuai dengan prioritas pembangunan. Namun, beberapa penyakit serius alokasi belanja belum tersentuh secara meyakinkan, khususnya belanja barang yang masih besar. Satu tema diskusi lain yang laik didalami adalah “politik subsidi†energi yang mesti disikapi secara hati-hati. Saat ini memang tidak memunculkan masalah, tapi jika nanti harga minyak internasional melonjak, maka di situlah problem riil akan menyeruak. Di samping itu, APBNP 2015 belum menunjukkan adanya inisiasi baru dalam wujud program yang secara efektif dapat mengatasi problem kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Kementerian/Lembaga wajib mencari terobosan orisinil yang sesuai dengan paradigma baru dan tidak sekadar mengekor program lama (dengan istilah anyar). Semoga mandat Nawacita itu bisa dinafkahi pemerintah.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef