Pada Oktober 2011 lalu pemerintah dan DPR telah mengesahkan UU Otoritas Jasa Keuangan (OJK). UU OJK ini mengamanatkan tiga institusi keuangan untuk berada di bawahnya, yakni perbankan, pasar modal, dan keuangan non-bank. Salah satu yang membuat alot pembahasan UU ini adalah soal tarik-menarik kepentingan di sektor perbankan. Bank Indonesia (BI) sebagai institusi yang selama ini menangani (pengawasan) perbankan tidak rela salah satu kewenangan yang dimiliknya diserahkan pihak lain.
Pada pembahasan tahun ini saja sempat deadlock beberapa kali, meskipun sebagian disebabkan oleh ketidaksepakatan antara DPR dan pemerintah, terutama masalah penentuan komisioner. Namun, proses itu akhirnya telah sampai di ujung dan BI harus merelakan pengawasan perbankan diserahkan ke OJK paling lambat akhir 2013. Struktur dan personalia OJK sendiri dijadwalkan terbentuk pada Juni 2012, sehingga tinggal tersedia waktu 6 bulan efektif untuk mempersiapkannya.
Independensi Instrumen
Salah satu konsekuensi dari penerapan OJK ini tentu saja adalah perubahan UU Bank Indonesia sendiri. DPR sudah berancang-ancang membahas perubahan ini pada awal 2012. Pada titik inilah terdapat beberapa isu yang penting dicermati. Poin terpenting revisi adalah misi yang dibebankan kepada BI. Selama ini BI menerapkan target tunggal dari kebijakannya, yakni menjaga stabilitas nilai tukar dan inflasi. Dalam literatur moneter, kebijakan itu dikenal dengan istilah inflation targeting framework.
Pilihan ini sebetulnya masuk akal karena dari sisi moneter inflasi merupakan sumbu dari semua masalah perekonomian, yakni investasi, penyerapan tenaga kerja, daya beli, dan pertumbuhan ekonomi. Sehingga, apabila inflasi bisa dikendalikan maka indikator makroekonomi lainnya juga dapat diselamatkan. Tetapi, dalam perkembangan terakhir, negara yang mengadopasi ITF ini juga tidak banyak, tidak lebih dari 20 negara (Levine, at. al, 2004). BI sendiri mengadopsi ITF ini sejak 2005 dan hasilnya juga tidak menggembirakan karena sebagian besar inflasi selalu lebih tinggi dari target.
Pada saat kami (Badan Supervisi bank Indonesia) mengadakan pertemuan dengan Bank Sentral Jepang (Bank of Japan) pada 9 November 2012 lalu di Tokyo, mereka juga menyampaikan bahwa BOJ hanya fokus kepada sistem pembayaran dan peredaran uang, sedangkan inflasi bahkan tidak masuk dalam target BOJ. Lebih dari itu, dalam situasi trade-off antara inflasi dengan target makroekonomi lainnya, katakanlah pengangguran, maka tidak selamanya inflasi harus diprioritaskan.
Dalam konteks Indonesia, penciptaan lapangan kerja lebih relevan dicapai meskipun harus mengorbankan inflasi. Poin ini merupakan bagian penting dari rencana revisi UU Perbankan. Berikutnya, independensi BI harus diklarifikasi secara lebih detail dalam konteks seperti apa. Di sini sekurangnya ada tiga jenis independensi, yakni independensi tujuan, kebijakan, dan instrumen. BI boleh saja independen dari segi instrumen, tapi tidak secara tujuan dan kebijakan. Tujuan dan kebijakan BI harus selaras dengan pemerintah secara umum di bawah arahan presiden.
Ini nantinya juga terkait dengan misi BI secara umum yang telah dibahas di muka, bahwasannya dalam situasi tertentu aspek-aspek moneter, seperti inflasi, tidak boleh mengalahkan prioritas pembangunan yang digariskan pemerintah, khususnya dalam situasi trade-off. Jadi, bersama dengan lembaga negara lainnya, keberadaan BI bukan merupakan perkecualian, meskipun pilihan ini disadari tetap mengandung risiko politik. Tapi, sebagai konsekuensi adanya independensi instrumen, sebaiknya dalam penentuan personalia jabatan strategis di BI juga diharapkan tidak terlalu luas.
DPR boleh memiliki kewenangan memilih/menyetujui Gubernur BI, namun jabatan Deputi Gubernur seyogyanya diserahkan ke Presiden dan BI. Dengan begitu, jabatan Deputi Gubernur Senior/Deputi Gubernur tidak perlu persetujuan DPR [Pasal 41 (1) UU No. 3/2004]. Konsep ini di samping bertujuan menjaga instrumen, bermanfaat pula untuk menjaga soliditas kinerja di internal BI.
Pembahasan lain yang perlu dikerjakan adalah mengenai pembagian otoritas dan koordinasi antara BI dan OJK dalam pengawasan perbankan. Ini problem yang pelik di lapangan, meskipun secara konseptual mudah didesain garis demarkasinya. Secara konseptual, BI bertanggung jawab mengawal sektor perbankan pada aspek makro (macro prudential), seperti penentuan GWM (giro wajib minimum), BI rate, dan lain-lain. Sementara itu, tanggung jawab pengawasan mikro (micro prudential) ada di bawah kendali OJK.
Problemnya, kebijakan macro prudential tidak mungkin dilakukan tanpa informasi yang memadai dari sektor perbankan, sehingga BI tetap perlu data-data yang akurat dan terkini terhadap kondisi perbankan agar kebijakan yang dibuat tetap relevan. Di sinilah masalah itu muncul, yaitu bagaimana koordinasi itu mesti diformulasikan? Oleh karena itu, revisi UU Perbankan perlu memasukkan kewajiban yang harus dilakukan oleh BI maupun OJK agar soal seperti ini tidak menjadi kendala di lapangan.
Defisit dan Modal Minimum
Di luar isu yang sifatnya strategis di atas, terdapat beberapa isu teknis yang juga laik untuk dipertimbangkan bagi perubahan UU Bank Indonesia. Pertama, BI selama ini dipagari dengan UU yang mengatur soal modal minimum, tepatnya pada Pasal 62 (1,2,3) UU No. 3 Tahun 2004. Di dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa pemerintah akan menginjeksi apabila modal BI kurang dari Rp 2 triliun. Sepintas hal ini seperti tidak menimbulkan masalah, tetapi berkaca dari pengalaman BI dalam beberapa tahun belakangan dan pengalaman negara lain, maka aturan modal minimum tersebut layak dihapus.
BI sejak 2010 lalu mengalami defisit anggaran (kebijakan) yang sangat besar akibat operasi moneter, yakni menjaga nilai tukar. Pada 2010, defisit anggaran tersebut mencapai sekitar Rp 30 triliun. Demikian pula, pada 2011-2012 ini diperkirakan defisit akan tetap besar sehingga modal BI tahun depan diperkirakan akan tergerus di bawah Rp 2 triliun dan menurut UU harus disuntik (top-up) oleh pemerintah.
Di sinilah persoalan itu muncul, di mana suntikan dana pemerintah akan menurunkan kredibilitas BI sehingga efektivitas kebijakan menjadi menurun. Modal negatif sudah saatnya dianggap sebagai hal yang biasa bagi bank sentral karena institusi ini dituntut melakukan stabilisasi moneter. Solusinya, seperti Bank Sentral Jepang dan Korsel, BI diberi ruang untuk menimbun cadangan umum (ketika memeroleh surplus) sehingga ketika modalnya negatif bisa ditutup dari cadangan modal tersebut.
Kedua, aspek yang berkaitan dengan mekanisme audit dan perpajakan. Selama ini ada dua pendekatan terhadap bank sentral berkenaan dengan mekanisme audit, yaitu perlakuan eksesif dan agak longgar. Bank Sentral Korsel (BoK), AS (The Fed), dan Jerman (Bundesbank) memiliki sistem audit yang eksesif. Di samping audit internal, di ketiga bank sentral tersebut laporan keuangannya juga diaudit oleh auditor eksternal (private audit) dan audit pemerintah (semacam BPK di Indonesia).
Sementara itu, beberapa bank sentral lainnya, seperti Jepang (BOJ), Uni Eropa (ECB), Inggris (BOE), dan Perancis (BOF) hanya diaudit oleh auditor pemerintah (selain audit internal). Dengan mencermati problem yang kerap dialami oleh BI dan kemungkinan praktik “moral hazard” di tubuh auditor pemerintah, rasanya audit yang dikenakan kepada BI perlu meniru BoK, The Fed, atau Bundesbank dengan menambah audit eksternal.
Selanjutnya, isu perpajakan berkaitan dengan pajak yang mesti dibayar oleh BI atas surplus yang diperoleh. Isu ini juga menjadi pertanyaan, seperti halnya di BOK. Pertimbangannya, surplus yang diperoleh BI bukanlah akibat orientasi kebijakannya, tapi sebatas konsekuensi atas amanah UU. Demikian pula, surplus itu tidak bisa dipakai untuk kepentingan internal BI, misalnya menaikkan gaji atau bonus pegawai. Jadi, sebaiknya pajak itu dihapus dan cukup diatur apabila BI memeroleh surplus sekian persen dipakai sebagai cadangan modal umum dan selebihnya disetor ke pemerintah, seperti yang dipraktikkan di AS, Jepang, Inggris, Swiss, Australia, Denmark, dan lain-lain.
Ketiga, BI sebetulnya memiliki sumber daya manusia dan sistem yang sudah mapan relatif dibandingkan dengan lembaga pemerintah lainnya, sehingga potensinya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih luas. Poin ini menjadi lebih relevan saat sebagian otoritasnya sudah dialihkan ke OJK, yakni pengawasan perbankan. Di sinilah perlu dipertimbangkan kemungkinannya bagi BI untuk langsung mendorong sektor riil lewat mekanisme yang mirip dengan KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia).
BI sudah masanya turun gunung membantu sektor pertanian dan industri (juga pelaku UMKM) di tengah seretnya pemihakan sektor perbankan untuk mendorong sektor riil. Dengan cara ini akan BI semakin membumi dan relevan dengan tuntutan perekonomian. Poin-poin inilah yang barangkali penting dijadikan bahan perubahan revisi UU Perbankan (di samping isu-isu lainnya yang belum disampaikan di sini), sehingga nantinya tata kelola BI lebih baik dan bisa menopang perekonomian nasional.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef