Eric Maskin, peraih nobel ekonomi dan pengajar di Universitas Harvard, menyampaikan keprihatinan soal ketimpangan pendapatan yang makin meluas seiring dengan globalisasi ekonomi (Kompas, 5 September 2012). Sebelum itu, dalam buku yang utuh, Joseph Stiglitz memaparkan pula kian akutnya kepincangan ekonomi AS lewat buku terbarunya (The Price of Inequality, 2012). Jauh sebelum itu pun, banyak ekonom di tanah air juga mengungkap persoalan ini terkait dengan kejadian di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Para ekonom kaget ketika pada 2007 tiba-tiba Rasio Gini/RG (untuk mengukur ketimpangan pendapatan, dari skala 0-1) melonjak menjadi 0,38. Padahal, pada 2003 angkanya masih 0,33. Selama masa sebelum krisis ekonomi 1997/1997, RG stabil di kisaran 0,32. Setelah 2006, RG cenderung turun tapi tetap di atas 0,34. Pada 2010, kembali RG menyentuh 0,38. Seterusnya, data BPS membuat guncangan lebih keras: pada 2011 RG menembus 0,41. Di AS sendiri GR mencapai 0,49!
Pengerucutan Kesejahteraan
Dalam literatur baku ekonomi, ketimpangan dikatakan rendah apabila RG di bawah 0,4; kemudian ketimpangan menengah antara 0,4-0,5; dan ketimpangan dianggap tinggi apabila di atas 0,5 (jadi semakin mendekati 1 berarti ketimpangan makin tinggi, demikian sebaliknya). Meskipun RG Indonesia menunjukkan kecenderungan meningkat, tapi sekurangnya sampai 2010 masih tergolong ketimpangan rendah. Dengan lonjakan GR menjadi 0,41 pada 2011, maka untuk pertama kalinya Indonesia memasuki zona ketimpangan menengah. Untuk memudahkan membaca data RG di Indonesia tersebut, data pelengkap dari BPS berikut barangkali dapat membuat lebih jelas. Pada 2005 (ketika RG hanya 0,33) 40% penduduk dengan pendapatan terendah masih mendapat porsi 20,22% dari PDB, sedang 20% penduduk berpendapatan paling tinggi menikmati 42,09%. Namun, pada 2011 (ketika RGÂ 0,41), 40% penduduk dengan pendapatan paling rendah hanya mendapat bagian 16,86% dari PDB, sedang 20% penduduk berpendapatan tertinggi memeroleh jatah 48,41%.
Tidak mudah menjelaskan secara ringkas penyebab masalah itu, namun memulai analisis dari struktur pertumbuhan ekonomi berdasarkan sektor barangkali bisa membantu. Sejak pemulihan krisis ekonomi 1997/1998, pertumbuhan ekonomi memang terus melaju hingga mencapai puncaknya pada 2011 sebesar 6,5%. Pertumbuhan ini merupakan yang tertinggi usai masa krisis ekonomi tersebut. Namun, jika dilihat dari pertumbuhan sektoral, maka akan dijumpai fakta berikut. Sektor pertanian dan industri yang menjadi penyerap tenaga kerja/TK paling besar, masing-masing sekitar 43% dan 12%, berada dalam jebakan pertumbuhan rendah pada masa pemulihan ekonomi. Pada kurun 2005-2011, sektor pertanian hanya sekali tumbuh di atas 4%, yaitu pada 2008 (4,83%). Di luar itu, sektor pertanian tumbuh di bawah 4%. Bahkan, pada 2010 pertumbuhannya hanya 2,86% (ketika pertumbuhan ekonomi 6,1%). Pola yang sama terjadi di sektor industri, tidak pernah melebihi 5%. Bahkan pada 2009, cuma tumbuh 2,16%. Beruntung, pada 2011 pertumbuhannya menjadi 6,2%.
Sebaliknya, sektor ekonomi yang menyerap TK dalam jumlah tidak banyak pertumbuhannya malah bagus. Pada 2011, misalnya, lima sektor ekonomi yang pertumbuhannya di atas pertumbuhan ekonomi nasional adalah sektor konstruksi (6,7%); perdagangan, hotel, dan restoran (9,2%); pengangkutan dan komunikasi (10,7%); keuangan, real estat, dan jasa perusahaan (6,8%); dan jasa-jasa (6,7%). Kelima sektor itu penyerapan TK-nya kecil, kecuali sektor perdagangan. Dengan struktur pertumbuhan sektoral seperti itu, wajar apabila ketimpangan pendapatan makin meningkat. Data itu juga paralel dengan penurunan jumlah penduduk miskin yang sangat kecil tiap tahun meskipun batas angka miskin sudah amat rendah. Hal ini bisa terjadi sebab sektor pertanian dan industri yang selama ini menjadi kantong kemiskinan tumbuh amat lamban, sebaliknya sektor non-tradeable makin meningkat pesat. Hal ini akan mempunyai implikasi yang berbeda jika struktur pertumbuhan ekonomi didominasi oleh sektor riil.
Kebijakan Krisis
Seperti yang dikemukakan oleh Maskin, globalisasi juga menjadi sumber ketimpangan tersebut. Sekurangnya terdapat dua jalur ketimpangan yang berpangkal dari globalisasi dan liberalisasi. Pertama, percepatan kegiatan ekonomi (investasi, produksi, perdagangan, transaksi) akibat globalisasi hanya dapat diakses oleh pelaku ekonomi yang mempunyai modal, pendidikan/keterampilan, dan jaringan kuat sehingga kian memojokkan pelaku ekonomi yang mempunyai kemampuan sebaliknya. Dalam kasus di Indonesia, situasi itu antara lain dapat dibaca dari kian besarnya porsi pelaku ekonomi asing dalam perekonomian domestik. Kedua, globalisasi makin mengisolasi hubungan antara sektor keuangan dan produksi akibat struktur kelembagaan keuangan yang cenderung memfasilitasi terjadinya sirkulasi transaksi di sektor keuangan sendiri. Impliksinya, pertumbuhan ekonomi bukan hanya dinikmati oleh pelaku di sektor keuangan, sehingga tidak mempunyai korelasi dengan perkembangan sektor produksi yang dihuni oleh sebagian besar rakyat.
Celakanya, tiap krisis ekonomi menerpa, kebijakan pemerintah malah menyuburkan dukungan terhadap sedikit pelaku ekonomi di sektor keuangan tersebut. Pola itu bukan hanya terjadi di negara berkembang, tapi juga di negara maju sendiri, seperti yang dialami oleh AS. Kebijakan pemulihan krisis ekonomi di AS, baik bail-out saat krisis subprime mortgage/2009 maupun quantitative easing pada krisis kali ini, hanya dinikmati oleh 1% penduduk dan 99% selebihnya tidak mendapat faedah (Stiglitz, 2012). Kejadian ini sama persis saat Indonesia mengurus krisis ekonomi 1997/1998 dengan kebijakan BLBI, bail-out Bank Century pada 2008, dan stimulus fiskal saat krisis 2009. Memang belum ada kajian untuk menghitung berapa persen manfaat yang dipetik oleh lapisan atas ekonomi akibat kebijakan itu, tapi dengan melihat pola di AS rasanya implikasi yang ditimbulkan tidak mempunyai banyak perbedaan. Inilah ongkos globalisasi dan kekhilafan kebijakan domestik yang mesti dibayar sekarang. Mungkin saya pesimis, namun rasanya sangat berat mengubah keadaan ini dalam jangka pendek.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef