Hingga kini, isu pangan selalu penting di Indonesia karena proporsi pendapatan rumah tangga yang dibelanjakan untuk pangan pada dekade 1980-an mencapai 70% dan sekarang sekitar 50%. Walaupun penurunan ini berarti, tapi secara umum masih cukup besar karena separuh pendapatan habis digunakan untuk konsumsi pangan. Ini tentu berbeda dengan, misalnya, AS yang warga negaranya pada 2003 hanya membelanjakan sekitar 10% pendapatan riilnya (disposable income) untuk konsumsi pangan (food). Angka ini merupakan yang terendah di AS sejak 1929, apalagi jika dibandingkan dengan puncaknya pada 1933 yang mencapai 25,2%. Secara keseluruhan sejak tahun-tahun itu sampai kini persentase pendapatan yang dibelanjakan untuk konsumsi pangan di AS terus merosot. Jadi, mestinya antara Indonesia dan AS desain kebijakan pangannya berbeda sebab karakteristik pola pengeluaran pendapatan penduduknya sangat berlainan. Bagaimana hal ini harus dijelaskan?
Kebijakan Pangan Murah
Menariknya, dalam situasi seperti itu pemerintah AS tetap memberlakukan kebijakan pangan murah (cheap food) meskipun proporsi pendapatan warganya yang dibelanjakan untuk pangan tidak besar. Di sini, yang dimaksud dengan pangan murah adalah upaya menurunkan harga pangan di bawah harga keseimbangan kompetitif. Di AS, kebijakan tersebut memproduksi banyak perdebatan karena dianggap menimbulkan efek negatif, di antaranya meningkatkan penderita obesitas. Pada 1971 jumlah penderita obesitas mencapai 14,61% dan pada 2002 telah melonjak menjadi 31,3% (Miller dan Coble, 2007). Hasil studi yang sama juga menunjukkan kebijakan subsidi langsung di AS terhadap pangan (sehingga menjadi murah) tidak lantas memerbaiki keterjangkauan warganya terhadap pangan tersebut, baik pada kelompok pangan secara keseluruhan maupun komoditas pangan yang spesifik. Walaupun begitu, hingga kini secara umum pemerintah AS masih memberikan proteksi terhadap pangan.
Jadi, mengacu pengalaman AS, kebijakan pangan murah an sich, tanpa diimbangi dengan kebijakan lainnya (seperti penguatan daya beli masyarakat dan distribusi yang bagus) tidak menjamin setiap warga negara dapat mengakses pangan. Lebih dari itu, kebijakan pangan murah di negara berkembang, seperti di Indonesia, selalu bermakna subsidi kepada kelompok kaya yang tinggal di perkotaan (urban bias) sehingga menindih petani (orang desa) dalam dua entakan sekaligus. Pertama, petani dirugikan karena insentif laba menjadi sangat kecil akibat kebijakan pangan murah. Kedua, petani harus membayar harga yang mahal untuk membeli komoditas nonpertanian karena pemerintah menyerahkan penentuan harga berdasarkan mekanisme pasar. Sungguh tidak sulit untuk memahami perkara sederhana ini, namun dalam sejarahnya sukar untuk mengimplementasikan fondasi kebijakan ini karena kuatnya penetrasi politik yang bermain dalam arena pengambilan keputusan.
Sindrom Kelangkaan
Proteksi terhadap komoditas pangan (atau sektor pertanian secara umum) sebetulnya sebagian dipicu oleh ketakutan kelangkaan yang bakal terjadi jika sektor tersebut berjalan tanpa kawalan. Dengan jiwa itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan perlindungan terhadap sektor pertanian sebagai antisipasi atas kemungkinan kelangkaan. Paarlberg (1982) mendeskripsikan sindrom kelangkaan (scarcity syndrome) sebagai kritik atas tiga bentuk kebijakan pemerintah untuk menjaga harga komoditas pangan tetap rendah, yakni embargo perdagangan (trade embargoes), kontrol harga langsung (direct price controls), dan manajemen persediaan (management of stocks). Menurutnya, sekurangnya muncul empat konsekuensi dari kebijakan pangan murah yang diterapkan oleh AS: (i) rendahnya harga dan pendapatan petani akibat disinsentif produksi; (ii) mengurangi penerimaan ekpsor; (iii) kehilangan pasar ekspor; dan (iv) merusak reputasi AS dalam perdagangan global.
Pertanyaannya, bagaimana sikap yang harus diambil Indonesia untuk menciptakan kedaulatan pangan? Apakah Indonesia harus mengambil pola kebijakan yang sama dengan AS, ataukah mendesain kebijakan yang lain? Tampaknya, kebijakan harga pangan murah juga bukan solusi yang baik (dalam jangka panjang) bagi Indonesia karena menjadikan petani sebagai korban (victim of development). Namun, meniadakan sama sekali kebijakan tersebut juga bermasalah karena proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap pangan masih cukup besar dan pendapatan per kapita penduduk masih rendah. Di sinilah diperlukan kebijakan ganda (dual policies) sebagai jalan kompromi untuk menyatukan dua kepentingan tersebut. Pertama, kebijakan kontrol harga langsung dihilangkan (khususnya dalam jangka menengah/panjang) untuk diganti subsidi input (bibit, pupuk, penyuluhan, irigasi, dan lain-lain). Kedua, stabilitas pasar harus dibangun untuk menjamin kepastian bagi konsumen komoditas pangan.
Khusus untuk kebijakan stabilitas pasar (market stability) dapat dicapai melalui perubahan struktural sehingga mampu memerbaiki sektor pertanian dengan cara: (i) peningkatan diversifikasi konsumsi pangan sehingga tidak terkonsentrasi pada komoditas tertentu (misalnya beras); (ii) penyebaran surplus komoditas pangan ke tempat lain yang mengalami defisit; dan (iii) interaksi strategis antara sektor publik dan swasta untuk mencegah instabilitas pasar dan krisis pangan. Secara spesifik, soal diversifikasi konsumsi pangan penting karena mempermudah proses penguatan kedaulatan pangan. Pengalaman di Afrika Timur dan Selatan juga menunjukkan hal itu, di mana ketergantungan konsumsi yang sangat besar terhadap jagung (dan beras) membuat kedaulatan pangan di sana menjadi rapuh (Jayne, et. al, 2006). Jadi, pemerintah juga harus merintis program diversifikasi pangan mulai sekarang. Dengan jalan inilah kedaulatan pangan bisa terwujud dan bukan sebatas sebagai retorika politik.
Kompas, 20 Februari 2008
*Ahmad Erani Yustika, Ketua Program Studi Magister
Ilmu Ekonomi FE Unibraw; Ekonom Indef, Jakarta