Mekanisme pasar menjadi salah satu isu dalam ilmu ekonomi yang tidak habis dikupas hingga kini. Kubu ekonomi paling kanan (klasik/neoklasik) yakin pasar dapat menjalankan tugas mengawal kegiatan ekonomi secara efisien, sehingga peran institusi lain (baca: pemerintah) tidak diperlukan. Sebaliknya, kubu paling kiri (ekonomi marxian) percaya tentang cacat bawaan pasar, di mana pasar dianggap sebagai institusi yang hanya menyokong kepentingan kapitalis sehingga merugikan preferensi khalayak (yang tidak bermodal). Peran pasar yang tidak sempurna itulah yang dikritisi oleh tiga sekawan ekonom, yakni Leonid Hurwicz, Eric S. Maskin, dan Roger B. Myerson, hingga komite memilih mereka sebagai pemenang nobel ekonomi. Tentu saja, kritik terhadap pasar tidak lantas menempatkan mereka sebagai wakil dari aliran ekonomi marxian.
Kelangkaan Insentif
Ilmu ekonomi eksis dalam ranah ilmu pengetahuan karena dipandang sebagai cabang ilmu sosial yang bisa menerangkan dengan tepat problem manusia, yakni ketersediaan sumber daya ekonomi yang terbatas. Implikasi dari keterbatasan sumber daya berujung dalam dua hal: (i) bagaimana mengalokasikan sumber daya yang terbatas tersebut secara efisien sehingga dapat menghasilkan output yang optimal; (ii) menyusun formulasi kerjasama (co-operation) ataupun kompetisi (competition) secara detail sehingga tidak terjadi konflik. Pada dua soal itulah seluruh teori ilmu ekonomi bekerja mencari penemuan-penemuan baru, khususnya sebagai upaya memecahkan persoalan ekonomi yang kian rumit. Teori desain mekanisme (mechanism-design theory) yang diusung oleh tiga ekonom itu juga bekerja untuk mencapai dua tujuan tersebut.
Bagi mereka, problem serius dalam perekonomian tidak semata resource constraints, tetapi insentif. Seperti dikatakan Myerson (2007): “we realized that not just resource constraints are important, but incentive constraints.” Sekadar contoh, jika A hendak menjual barang (katakanlah jam tangan) dan B sebagai pembeli, maka mereka bisa melakukan transaksi dengan asumsi semuanya memiliki informasi yang sempurna. Masalahnya, bagaimana jika salah satu pihak (misalnya B) tidak mempunyai informasi yang lengkap? Di sini pasar tidak akan bisa membantu terjadinya transaksi dengan hasil efisien bagi kedua belah pihak. Dalam kasus seperti ini, teori desain mekanisme menyodorkan alternatif lelang (auction) sebagai jalan mengatasi persoalan tersebut. Dalam isu perdagangan internasional, insentif semacam itu dibutuhkan untuk memperlancar transaksi sekaligus mencegah kemungkinan kerugian salah satu pihak.
Sungguh pun begitu, tidaklah mudah mendesain sistem insentif dalam kegiatan ekonomi yang multikompleks. Syarat sistem insentif bekerja adalah tersedianya informasi yang lengkap sehingga dapat diakses oleh semua pelaku ekonomi (padahal ini mustahil). Informasi yang kurang lengkap menyebabkan sistem insentif tidak pernah bekerja dengan sempurna. Bagi mereka, kegagalan terpenting mekanisme pasar adalah ketidaksanggupannya memfasilitasi informasi yang lengkap. Dengan kata lain, informasi yang digulirkan oleh mekanisme pasar selalu asimetris. Di sinilah teori desain mekanisme berselancar di antara kelangkaan informasi (disatu sisi) dan kemampuan untuk mencari model kompensasi atas ketidaksempurnaan pasar (di sisi lain). Dalam kasus monopoli, misalnya, kompensasi itu bisa berupa pengenaan pajak perusahaan yang kemudian ditransfer ke konsumen.
Regulasi (Berbagi) Informasi
Keterbatasan peran pasar akibat informasi yang tidak lengkap itu diharapkan dapat diatasi dengan regulasi. Namun, regulasi yang dikembangkan oleh teori desain mekanisme lebih luas dari ‘teori ekonomi regulasi’ yang diiniasi oleh Stigler, di mana yang terakhir ini memusatkan perhatiannya untuk menerangkan siapa yang mendapatkan manfaat dan menanggung beban atas suatu regulasi. Isu yang dibangun oleh teori desain mekanisme adalah bagaimana pemerintah menyusun mekanisme yang memungkinkan seluruh partisipan di pasar mau berbagi informasi. Inilah yang melatari terjadinya peristiwa negosiasi, misalnya, antara buruh dan pemodal dalam penentuan upah (minimum). Negosiasi yang difasilitasi pemerintah tersebut secara substantif sebetulnya bukan “regulasi”, melainkan “aturan” yang memaksa dua pelaku ekonomi tersebut duduk untuk berbagi informasi sehingga tercapai kesepakatan.
Kasus tersebut bisa dilanjutkan dalam soal perpajakan, kebijakan penentuan harga saham, kesepakatan lelang, keputusan pemberian kredit, dan perilaku memilih. Dengan prinsip regulasi itu, yang sebetulnya sudah dikembangkan lebih dulu oleh teori ekonomi kelembagaan, suatu tindakan dan keputusan ekonomi diambil dengan mempertimbangkan kepentingan semua pihak sehingga kemungkinan kerugian yang bakal diderita oleh salah satu partisipan dapat dieliminir. Jika ini yang terjadi, maka prinsip efisiensi dan kerjasama/kompetisi dalam kegiatan ekonomi bisa dicapai. Kontribusi penting inilah yang disumbangkan sehingga komite tidak ragu memilih mereka sebagai pemenang nobel ekonomi. Semoga pesan teori mereka itu dapat dicerna oleh pengambil kebijakan dan para ekonom di negeri ini, sehingga mutu aktivitas ekonomi menjadi lebih baik di masa mendatang.
Kompas, 8 November 2007
*Ahmad Erani Yustika, Ketua Program Studi Magister
Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan FE Unibraw