Struktur ekonomi yang kokoh sekurangnya ditopang oleh dua pondasi yang kuat. Pertama, pada level mikro, relasi antarpelaku ekonomi berpadu padan dalam interaksi yang sejajar sehingga nisbah ekonomi dibagi secara proporsional sesuai dengan pengorbanan yang dipikul. Apabila pelaku ekonomi yang memikul ongkos terbesar mendapatkan nisbah yang paling kecil, maka berarti menandakan terbentuknya struktur ekonomi yang tidak sehat. Kedua, pada level makro, sektor ekonomi yang berkaitan langsung dengan kegiatan produksi yang dapat diperjualbelikan (sektor riil/tradeable sector) seyogyanya menjadi lokomotif pergerakan kegiatan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi lebih banyak disokong oleh sektor ekonomi yang tidak menghasilkan pertambahan produksi yang dapat diperdagangkan, maka struktur ekonomi itu juga sudah lapuk. Celakanya, kerap kali kinerja ekonomi yang mengkilap tidak selalu beralas dari struktur ekonomi yang liat.
Kesepakatan yang Mematikan
Sistem ekonomi pasar dianggap superior karena diandaikan memiliki mekanisme yang komplet untuk memfasilitasi kesepakatan (arrangements) antarpelaku ekonomi, baik dalam konteks kompetisi (competition) maupun kerjasama (co-operation). Tetapi, kesepakatan yang dibuat berdasarkan tata kerja mekanisme pasar tersebut abai dalam hal identifikasi kekuatan antarpelaku ekonomi. Kesepakatan yang terjadi di antara para pelaku ekonomi yang memiliki posisi tawar sepadan tentu akan menghasilkan kontrak yang ideal. Sebaliknya, kesepakatan yang berdiri di atas ketidakseimbangan kekuatan antarpelaku ekonomi dipastikan menghasilkan kontrak yang pincang. Di sinilah persoalan pada level mikro ini bermula, sebab dalam realitasnya pertemuan antarpelaku ekonomi itu lebih banyak berlangsung dalam situasi kekuasaan antarpelaku yang timpang. Implikasinya, seluruh pergerakan kegiatan ekonomi terkonsentrasi kepada pelaku ekonomi yang kuat.
Situasi itulah yang menjadi potret ekonomi Indonesia, di mana asimetri kesepakatan meluas dalam setiap kegiatan ekonomi sehari-hari. Di sektor pertanian, petani yang menghasilkan produksi bahan mentah selalu dalam posisi marjinal berhadapan dengan tengkulak, rentenir, agen, pedagang, perusahaan pengolah, dan yang lainnya. Di sektor industri, pelaku ekonomi yang menyediakan input (misalnya usaha kecil) bagi perusahaan manufaktur selalu tergelincir dalam skema kontrak yang mematikan. Di sektor jasa, aktor sektor informal sering harus minggir karena lahannya hendak disedekahkan kepada usaha perdagangan skala besar. Itulah yang menjadi sebab nilai tukar petani (NTP) sulit untuk melonjak, pelaku usaha mikro/kecil sukar â€naik kelasâ€, dan aktor sektor informal tidak bisa melakukan mobilitas vertikal. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi yang dicapai hanyalah pantulan bagi pelaku ekonomi di sektor hilir, entah itu pedagang, industri pengolah, atau sektor formal.
Prinsip Nilai Tambah
Perangkap yang sering menjebak para pengelola negara adalah kesilapannya mengejar nilai akhir kegiatan/transaksi ekonomi dengan mengabaikan prinsip nilai tambah. Secara teoritis, jika proses nilai tambah menjadi penopang aktivitas ekonomi, maka nilai akhir dari kegiatan ekonomi tersebut berpotensi besar. Tapi, dalam banyak hal hasil yang besar dari aktivitas ekonomi bisa dicapai tanpa bersandarkan kaidah nilai tambah. Misalnya, pemanfaatan lahan pertanian bagi kegiatan pemukiman (real estate) pasti akan menghasilkan nilai akhir ekonomi yang lebih besar, setidaknya dalam jangka pendek. Lainnya, sektor keuangan yang memetik laba dari permainan valuta asing atau transaksi derivatif menjanjikan hasil yang lebih banyak ketimbang meraup profit dari penyaluran kredit ke sektor industri/pertanian. Kedua contoh itu merupakan sampel dari fakta perolehan hasil akhir kegiatan ekonomi (yang besar) dengan mengabaikan prinsip nilai tambah.
Jebakan itulah yang diamalkan penyelenggara negara yang memegang portofolio ekonomi, sehingga pertumbuhan ekonomi di sektor tradeable kian mengkerut dari waktu ke waktu dibandingkan pertumbuhan ekonomi di sektor non-tradeable. Tingkat pertumbuhan sektor pertanian, industri, dan pertambangan (tradeable sector) semakin tertinggal daripada sektor telekomunikasi, perdagangan, hotel dan restoran, keuangan, dan jasa (non-tradeable), sehingga ketimpangan tingkat pertumbuhan di antara kedua sektor itu kian menganga. Pola pembangunan ekonomi seperti ini tentu menimbulkan banyak komplikasi persoalan, seperti laju penyerapan tenaga kerja yang lambat, munculnya fenomena informalisasi ekonomi, keterkaitan antarsektor ekonomi yang lemah, dan intensitas disparitas pendapatan yang semakin meningkat. Ironinya, seluruh persoalan ekonomi multikompleks itu terjadi di Indonesia di tengah perolehan pertumbuhan ekonomi yang bagus.
Menghadapi dua struktur ekonomi (level mikro dan makro) yang rapuh itu tentu dibutuhkan seperangkat kebijakan yang kredibel. Pada level mikro, kesepakatan antarpelaku ekonomi tidak boleh dibiarkan berjalan hanya melalui instrumen pasar, khususnya dalam kegiatan ekonomi yang diidentifikasi terdapat asimetri kekuatan antarpelaku ekonomi. Kebijakan semacam penetapan harga pokok/dasar dan penentuan upah minimum sebaiknya diperluas ke sektor atau kegiatan ekonomi yang para pelakunya berada dalam posisi tidak setara. Pada level makro, afirmasi kebijakan harus diorientasikan kepada aktivitas ekonomi yang bertujuan meningkatkan produksi dan nilai tambah. Seluruh aktivitas ekonomi diarahkan untuk menjalani proses tersebut, sehingga nilai akhir kegiatan ekonomi merupakan agregasi dari penciptaan produksi dan nilai tambah itu. Dengan jalan ini, kegiatan yang cuma berfokus kepada spekulasi dan menimbulkan buih ekonomi dapat diredam.
Kompas, 13 Januari 2009