Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali mempersoalkan kasus penempatan dana milik Pemda di Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang kemudian ditanamkan ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Saat ini simpanan dana Pemda di perbankan mencapai Rp 96 triliun, di mana sekitar Rp 50 triliun oleh BPD dibelikan SBI. Artinya, menurut Presiden, dana tersebut menjadi tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan, misalnya menggerakkan sektor riil atau membangun infrastruktur (Sindo, 24/8/2007). Pernyataan presiden itu sebetulnya menegaskan keluhan Menteri Keuangan pada akhir tahun lalu, yang juga kecewa dengan kinerja Pemda dalam menyerap APBD dan BPD yang menanamkan dananya ke SBI. Masalah ini layak untuk dijernihkan karena terdapat tendensi beberapa pihak (termasuk mungkin pemerintah pusat) yang tidak mengerti duduk perkara yang sebenarnya, sehingga cenderung melihat isu ini sebagai kesalahan Pemda atau BPD semata.
Komposisi Dana BPD
Hal yang harus dikupas pertama kali adalah pemahaman bahwa komposisi dana pihak ketiga dari bank-bank daerah tidak sama persis dengan bank-bank umum. Sejak munculnya SK Menteri Keuangan No. 318/KMK.02/2004 (sebenarnya ini perubahan atas SK Menkeu No. 17/KMK.011/1986) tentang penyimpanan uang negara pada bank-bank pemerintah, dalam pasal 1 dinyatakan secara jelas bahwa pemegang rekening atas nama pemerintah pusat dan atau pemerintah daerah harus menyimpan uangnya pada Bank Umum Persero atau Bank Pembangunan Daerah. Konsekuensi dari regulasi tersebut, anggaran pemerintah pusat/daerah berupa APBN/APBD (termasuk gaji PNS) harus dimasukkan dalam rekening bank pemerintah (Persero atau Bank Daerah). Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, program semacam BOS (Bantuan Operasional Sekolah) juga dimasukkan dalam rekening BPD.
Jadi, menjadi jelas bahwa di samping dana yang mampir ke BPD berasal dari masyarakat, juga terdapat dana dari pemerintah (berupa APBD, gaji PNS, dan dana program-program pemerintah). Seterusnya, terdapat perbedaan antara dana yang diperoleh dari pemerintah dan masyarakat. Jika dana dari masyarakat, maka BPD bisa memanfaatkannya untuk investasi jangka menengah/panjang, seperti pemberian kredit. Tapi, dana yang bersumber dari pemerintah jelas tidak bisa dipakai untuk investasi jangka menengah/panjang, karena dana itu sewaktu-waktu ditarik oleh pemerintah. Bahkan, dana untuk pembayaran gaji PNS paling lama mengendap cuma seminggu. Dana inilah yang harus diolah oleh BPD agar pemanfaatannya tidak merugikan masing-masing pihak.
Disatu sisi, jika dana jangka pendek dari pemerintah tersebut tidak diinvestasikan akan membebani BPD, karena mereka harus membayar bunga. Ditambah lagi, sekarang penyerapan dana APBD sangat lambat oleh Pemda. Sebaliknya, bila diputar dalam bentuk penyaluran kredit pasti sangat berisiko, sebab dana itu sewaktu-waktu bisa ditarik oleh Pemda. Akhirnya, instrumen SBI merupakan alternatif yang paling mungkin diambil oleh BPD. Dengan pembelian SBI, BPD bisa untung karena mendapatkan bunga. Sementara itu, pemerintah daerah juga tidak dirugikan karena setiap waktu dananya tetap bisa diambil. Inilah jalan tengah yang paling mungkin bisa dilakukan oleh BPD saat ini. Tetapi cara ini pun tetap dilema bagi BPD dalam jangka panjang dan pemerintah juga rugi karena dana pembangunan menjadi tidak produktif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kasus Bank Jatim
Kasus Bank Jatim bisa dijadikan sampel yang baik untuk memperlihatkan bahwa persoalan penempatan dana dalam wujud SBI tidak bisa dilihat secara hitam putih. Sampai akhir tahun lalu, Bank Jatim memarkir dananya ke SBI sekitar Rp 5 triliun. Nilai sebesar itulah yang kemudian diributkan oleh DPRD, dunia usaha, pengamat ekonomi, bahkan walikota/bupati. Mereka menuduh Bank Jatim sekadar sebagai rent-seeker dengan memanfaatkan anggaran daerah sebagai captive market sumber dana pihak ketiga. Tetapi, yang perlu dipahami dana itu tidak mungkin diputar oleh Bank Jatim karena setiap saat bisa diambil oleh Pemda. Sementara itu, tidak mungkin Bank Jatim membiarkan dirinya menanggung beban pembayaran bunga dari dana Pemda tersebut. Bahkan, jika dipikir secara jernih, hasil laba dari investasi SBI itu tetap keuntungannya yang menangguk adalah Pemda (sebagai pemegang saham).
Mestinya, jika ingin menguliti kinerja Bank Jatim secara menyeluruh bisa dipakai dari indikator-indikator lain, seperti CAR (capital adequacy ratio), ROA (return in assets), ROE (return on equity), BOPO (biaya operasional terhadap pendapatan operasional), LDR (loan-deposit ratio), NIM (net interest margin), atau NPL (non-performing loan). Jika dilihat dari indikator tersebut (sampai Juni 2006), kecuali LDR, kinerja Bank Jatim melebihi benchmark yang ditetapkan oleh BI (Bank Indonesia). Artinya, kinerja Bank Jatim melebihi target yang dibebankan oleh BI. Sedangkan masalah LDR yang rendah, sebetulnya berkaitan dengan dana pemerintah yang tidak bisa disalurkan lewat kredit. Jika dana pemerintah, BOS, dan gaji PNS dikeluarkan (sekitar 30% dari total dana pihak ketiga), maka LDR Bank Jatim mencapai 69% (melampaui rata-rata LDR nasional yang hanya 53%).
Data lainnya, NPL Bank Jatim hanya 0,87% (sampai Juni 2006), padahal rata-rata nasional lebih dari 6%. Bahkan yang lebih menggembirakan, dari total Rp 4,3 triliun kredit yang disalurkan, 93% diperuntukkan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Belum lagi komitmen yang dilakukan oleh Bank Jatim untuk membantu petani lewat program pendanaan lelang komoditas pertanian, di mana Bank Jatim mengeluarkan dana sekitar Rp 20 miliar setiap kali transaksi (sekitar sebulan sekali). Sayangnya, data-data ini tidak terungkap sebagai pembanding atas isu panas yang dilansir oleh Menteri Keuangan. Tentu saja tidak ada gading yang tidak retak, sebagai institusi intermediasi Bank Jatim juga tidak berdaya menghadapi sektor riil yang lesu, dibuktikan dengan LDR yang masih jauh dari benchmark BI sebesar 94,75%. Jadi, setelah tahu peta persoalan ini, sebaiknya pemerintah pusat, Pemda, dan BPD segera bertemu untuk mencari solusi yang elegan dalam menyikapi masalah ini.
Seputar Indonesia, 27 Agustus 2007
*Ahmad Erani Yustika, PhD Ketua Program Studi Magister
Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan FE Unibraw