Dengan segala kekurangannya, Indonesia merupakan salah satu kisah sukses negara yang dapat mentransformasikan ekonominya dari semula bertumpu pada sektor pertanian menuju sektor industi (industrialisasi). Sekurangnya terdapat dua indikasi dari dua hal itu. Pertama, sumbangan sektor industri (manufaktur) terhadap pendapatan nasional (PDB) terus meningkat sejak dekade 1980 sampai awal dekade 2000. Kedua, sumbangan ekspor sekor manufaktur pada 1980 baru mencapai 3% dari total ekspor menjadi 50% pada 1992. Lompatan-lompatan itu menunjukkan adanya proses akseleratif sektor industri dalam percaturan ekonomi nasional. Tapi, nampaknya akhir-akhir ini terjadi “penuaan dini” dari sektor industri, di mana dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan sektor manufaktur terus menurun. Bahkan, untuk subsektor tertentu pertumbuhannya negatif (seperti tekstil, barang kulit, dan alas kaki; barang kayu dan hasil hutan).
Bantalan Kebijakan
Keberhasilan industrialisasi di di Indonesia sebetulnya secara tidak sadar diikuti dengan kesalahan serius dalam dua hal. Pertama, industrialisasi di Indonesia tidak menampakkan kesatuan strategi utuh yang dilakukan secara sistematis dan konsisten. Secara umum, awalnya diharapkan industrialisasi bertumpu pada sektor pertanian, sehingga pada awal-awal pembangunan (akhir 1960-an) sektor pertanian diurus dengan sangat baik. Tetapi, dalam perkembangannya model industrialisasi ini ditinggalkan dan diganti dengan industrialisasi berspektrum luas (broad-base industry), yang mengarah kepada industri teknologi menengah, padat tenaga kerja, dan sebagian diorientasikan ke pasar ekspor, seperti industri tekstil dan elektronika. Kebijakan ini cukup berhasil dilakukan, namun pada dekade 1980-an sempat diinterupsi dengan masuknya industrialisasi teknologi tinggi (high-tech) yang sangat padat modal dan kurang menyerap tenaga kerja.
Kedua, akibat ketidakpastian jenis industrialisasi yang hendak dipilih oleh pemerintah, menjadikan tidak tersedia ”bantalan kebijakan” jika sewaktu-waktu model yang dipilih mengalami kemunduran. Sekadar misal, penurunan kontribusi sektor manufaktur terhadap pendapatan nasional akhir-akhir ini, terutama yang disumbangkan oleh industri tekstil dan elektronika, sebenarnya bisa dihindari apabila pemerintah sejak awal telah jelas memilih strategi industrialisasi. Singkatnya, jika strategi pemerintah menginginkan broad-base industry sebagai pilar industrialisasi, maka penurunan itu akan segera diselesaikan dengan menciptakan bantalan kebijakan. Beberapa bantalan kebijakan yang bisa diambil antara lain melakukan revitalisasi sektor manufaktur yang padat tenaga kerja, insentif pajak dan ekspor, dan aturan perizinan yang lebih ramah. Sayangnya, kebijakan semacam itu tidak dapat diputuskan karena ketidakjelasan skema pengembangan sektor industri.
Pemerintah sendiri juga sudah terlambat untuk pindah ke industrialisasi berbasis sektor pertanian karena infrastruktur pertanian sudah tidak mendukung, antara lain ketersediaan lahan, benih berkualitas, dan industri pengolahannya. Setidaknya, bila strategi hendak dimulai lagi, hasilnya pasti tidak akan dapat dirasakan dalam jangka pendek. Paling cepat, jika pemerintah konsisten mengerjakan industrialisasi berbasis pertanian, maka hasilnya baru bisa dilihat 10 tahun ke depan. Sedangkan pilihan industrialisasi teknologi tinggi, walaupun jenis ini tingkat persaingannya tidak besar, rasanya sangat sulit diteruskan di Indonesia mengingat keterbatasan modal, kompetensi sumber daya manusia, dan skala ekonomi yang kecil (khususnya pasar domestik). Memaksakan melanjutkan strategi ini hanya akan membawa bencana yang lebih dalam bagi perekonomian nasional, karena endowment factor yang dimiliki memang tidak mendukung.
Dua Pilihan
Deskripsi di atas menyiratkan sebuah gambaran bahwa jika tidak segera ditangani bisa dipastikan sektor industri Indonesia akan mati muda. Oleh karena itu, sekarang pemerintah harus berani memutuskan model industrialisasi yang hendak dikembangkan di masa depan sehingga kebijakan-kebijakan teknis dapat didesain secara cepat. Di sini nampaknya hanya ada dua model industralisasi yang relevan dikembangkan. Pertama, secara alamiah sumber daya ekonomi yang melimpah di Indonesia ada di sektor pertanian (dalam pengertian yang luas). Tapi, berhubung sektor ini sudah tidak diurus dalam waktu yang lama, maka diperlukan upaya yang besar untuk melakukan revitalisasi. Pekerjaan rumah terbesar yang dihadapi pemerintah adalah penyediaan lahan dan penciptan pabrik pengolahan. Dua soal ini memang berat, tapi tetap bisa dikendalikan pemerintah asalkan tersedia komitmen yang kuat untuk merealisasikannya.
Kedua, industrialisasi berspektrum luas merupakan pilihan yang rasional untuk dilanjutkan mengingat Indonesia memiliki tingkat kompetisi yang kuat, terutama subsektor industri tekstil, elektronika, alas kaki, dan lain-lain. Untuk subsektor tersebut, yang perlu dilakukan adalah memberikan fasilitas kebijakan agar eksistensinya dapat dipelihara. Sedangkan subsektor lainnya, seperti industri kimia, semen, dan baja pemerintah bisa menjembatani dengan kebijakan pengurangan ketergantungan baku impor dari industri tersebut. Sebab, meskipun nilai ekspor dari subsektor industri tersebut cukup besar, namun impor content-nya juga besar. Selebihnya, untuk industri tertentu, seperti industri semen, semestinya berani ekspansi produksi ke luar negeri, seperti Cina dan India. Langkah-langkah ini merupakan investasi yang harus dikerjakan pemerintah untuk memastikan bahwa sektor industri nasional tetap dapat berkiprah membangun kesejahteraan masyarakat/bangsa.
Jawa Pos, 22 Maret 2008
*Ahmad Erani Yustika, PhD Ketua Program Studi Magister
Ilmu Ekonomi FE Unibraw dan Direktur Eksekutif Indef, Jakarta