Di tengah klaim keberhasilan ekonomi yang dipublikasikan pemerintah, sebetulnya teramat banyak masalah ekonomi yang mengalami pemburukan dalam beberapa tahun terakhir. Di antara pemburukan itu yang nampak adalah penurunan peringkat iklim usaha/investasi (doing business) yang dipublikasikan oleh banyak lembaga pemeringkat internasional. Dua lembaga pemeringkat internasional yang intensif mempublikasikan adalah World Bank dan World Economic Forum. Sedangkan Indonesia Netherland Association secara khusus memberikan rekomendasi upaya-upaya perbaikan yang harus dilakukan pemerintah agar iklim investasi menjadi membaik. Saat ini, persoalan pemburukan iklim investasi mendapatkan momentum yang baik untuk ditelaah secara lebih sesama karena hajat Pilpres baru saja usai, di mana hasilnya hampir dapat dipastikan pasangan Susilo Bambang Yudhoyo dan Boediono memenangi â€presidential race†kali ini dan memerintah lima tahun ke depan.
Memulai Usaha dan Indeks Kompetisi
Studi yang dilakukan oleh World Bank (2009) menyebutkan terdapat 6 variabel (dari 11 variabel) melakukan usaha (doing business) yang mengalami pemburukan ketimbang tahun sebelumnya (2008). Sementara itu, dua variabel berada di peringkat yang tetap, dan tiga variabel mengalami perbaikan. Variabel yang mengalami perbaikan adalah kemudahan mempekerjakan tenaga kerja (157), memeroleh kredit (109), dan perdagangan melalui perbatasan (37). Sedangkan yang peringkatnya tetap adalah menjalankan kontrak dan menutup usaha (berada di peringkat 139 dan 140). Sebanyak 6 variabel yang mengalami penurunan peringkat adalah: melakukan usaha (129), memulai usaha (171), mengurus izin kontruksi (80), mendaftarkan properti (107), melindungi investor (53), dan membayar pajak (116). Deskripsi itu secara umum berhasil memberikan catatan tentang posisi iklim investasi/usaha Indonesia dalam konstelasi perekonomian global.
Sekurangnya terdapat dua poin penting dari publikasi Bank Dunia tersebut. Pertama, secara umum iklim investasi Indonesia masih sangat buruk karena dari 11 variabel melakukan usaha terdapat 8 variabel yang peringkatnya di atas 100. Bahkan masih ada 5 variabel yang peringkatnya di atas 125. Lebih dari itu, beberapa variabel yang mengalami perbaikan peringkatpun, posisinya masih di atas 100, seperti kemudahan memperkerjakan tenaga kerja dan memeroleh kredit. Ini mengindikasikan kemampuan pemerintah untuk menangani soal iklim investasi ini masih sangat lemah. Kedua, kinerja pemerintah dalam setahun terakhir ini mengalami pemburukan karena terdapat 6 variabel yang peringkat melakukan usaha mengalami kemerosotan. Ini tentu menjadi konfirmasi meyakinkan terhadap klaim pemerintah yang selalu menyatakan situasi ekonomi semakin baik dari waktu ke waktu. Realitas ini memang pahit, tapi harus dihadapi oleh pemerintah.
Berikutnya, studi lain yang dikerjakan oleh World Economic Forum (WEF) yang bertajuk Global Competitive Index (GCI) meletakkan Indonesia dalam peringkat 55 (2008/2009) dengan skor 4.3 (dengan skala nilai 1-7). Peringkat ini menurun tipis ketimbang periode 2006-2007 dan 2007-2008, di mana Indonesia berada pada posisi 54. Berbeda dengan studi yang dilakukan Bank Dunia, survei yang dilakukan oleh WEF ini membagi variabel menjadi 12 variabel yang dikelompokkan menjadi 3, yaitu persyaratan dasar, peningkatan efisiensi, dan faktor inovasi dan kecanggihan. Beberapa hal yang masih menjadi permasalahan dalam menjalankan usaha di Indonesia, di antaranya adalah inefisiensi birokrasi, keterbatasan infrastruktur, korupsi, regulasi tenaga kerja, inflasi, akses pembiayaan, peraturan perpajakan, ketidakstabilan politik, keterbatasan tingkat pendidikan tenaga kerja, peraturan valas, ketidakstabilan pemerintahan, etos kerja yang rendah, dan tingkat pajak.
Berdasarkan hasil studi inipun setidaknya ada 2 catatan yang dapat dikedepankan. Pertama, dari ketiga kelompok variabel yang disusun, peringkat paling buruk adalah kelompok persyaratan dasar (basic requirement). Isi dari kelompok persyaratan dasar adalah: institusi (kelembagaan), infrastruktur, stabilitas ekonomi makro, dan kesehatan dan pendidikan dasar. Padahal, persyaratan dasar ini merupakan fundamen terpenting bagi penguatan daya saing ekonomi suatu negara. Nyatanya, memang harus diakui dalam beberapa tahun terakhir pemerintah gagal dalam menjamin kepastian usaha, perbaikan infrastruktur, dan stabilitas makroekonomi, dan sebagian penguatan keterampilan tenaga kerja. Kedua, setidaknya dalam 3 tahun terakhir pemerintah juga gagal menjaga momentum perbaikan daya saing ini, sehingga peringkat kompetisi global mengalami kemunduran. Dengan begitu, hasil ini pararel dengan publikasi Bank Dunia, walaupun dengan variabel yang berbeda.
Kesejangan dan Persaingan
Sebetulnya, pemerintah telah melakukan sesuatu untuk memerbaiki iklim investasi dan daya saing ekonomi nasional. Paling tidak ada tiga paket ekonomi yang pernah diluncurkan pemerintah di bawah komando Boediono (sewaktu menjabat Menko Perekonomian). Tiga paket percepatan pembangunan ekonomi itu adalah percepatan infrastruktur, penguatan sektor keuangan, dan pengembangan sektor riil (UMKM dan koperasi). Di dalam “trisula†paket kebijakan ekonomi tersebut terdapat poin-poin yang selaras dengan perbaikan iklim investasi dan kompetisi global, seperti pengurusan izin usaha yang harus diperpendek, pembangunan infrastruktur, dan kelembagaan (aturan main) yang jelas sehingga menjamin kepastian usaha. Namun, kebijakan ekonomi yang cukup ideal itu ternyata hanya “macan kertas†karena nyaris tidak berjalan di lapangan. Di sini soalnya menjadi jelas, sebagian pokok perkara perbaikan ekonomi di Indonesia adalah birokrasi yang lamban akibat kepemimpinan (leadership) yang lemah.
Dengan begitu, masalah-masalah yang harus diperbaiki sebetulnya sudah terang benderang, lengkap dengan cara untuk mengatasinya. Tetapi, jika itu semua tidak didukung dengan kepemimpinan yang kuat, maka sulit kebijakan tersebut dapat dilaksanakan secara efektif. Di sinilah berlaku prinsip: strong but limited government. Maksudnya, pemerintah cukup mengambil soal-soal yang sangat penting (prioritas), tapi dijamin dapat dilakukan. Sayangnya, di sinilah keraguan itu muncul karena pemerintah mendatang dipimpin oleh presiden dan wakil presiden dengan karakteristik yang nyaris sama: cenderung hati-hati dan tidak memiliki karakter penerobos, seperti yang dulu diperankan oleh Jusuf Kalla. Semoga kelemahan ini dapat ditutup dengan portfolio kabinet (ekonomi) yang berpikir cepat, berani membuat terobosan, dan bertindak sigap sehingga menjadi daya ungkit bagi pergerakan ekonomi nasional. Model kepemimpinan inilah yang dibutuhkan saat ini dan mendatang.
Terakhir, problem investasi di Indonesia bukan sekadar meningkatkan jumlah dan nilai investasi. Tapi, sekurangnya ada dua masalah mendasar lain yang patut direnungkan. Pertama, sampai kini penanaman modal di Indonesia terkonsentrasi di Jawa (90%). Inilah yang menjadi sumber terpenting ketimpangan pembangunan antara wilayah bagian timur dan barat Indonesia. Oleh karena itu, peningkatan iklim usaha harus dicapai berbarengan dengan upaya pengurangan kesejangan investasi antara Jawa dan luar Jawa tersebut. Kedua, persaingan usaha di Indonesia masih jauh dari memuaskan karena teramat banyak soal-soal persaingan usaha tidak sehat yang terjadi di lapangan ekonomi. Contoh paling telanjang adalah persaingan usaha antara pasar tradisional dan pasar modern yang dilakukan secara head to head, sehingga menggusur pelaku ekonomi kecil (yang bermodal cekak). Singkatnya, dua soal ini juga menjadi pekerjaan rumah dan harus dipanggul oleh pemerintahan SBY – Boediono.
Seputar Indonesia, 13 Juli 2009
Seputar Indonesia, 13 Juli 2009
Perbaikan Iklim dan Persaingan Usaha
Oleh: Ahmad Erani Yustika*
Di tengah klaim keberhasilan ekonomi yang dipublikasikan pemerintah, sebetulnya teramat banyak masalah ekonomi yang mengalami pemburukan dalam beberapa tahun terakhir. Di antara pemburukan itu yang nampak adalah penurunan peringkat iklim usaha/investasi (doing business) yang dipublikasikan oleh banyak lembaga pemeringkat internasional. Dua lembaga pemeringkat internasional yang intensif mempublikasikan adalah World Bank dan World Economic Forum. Sedangkan Indonesia Netherland Association secara khusus memberikan rekomendasi upaya-upaya perbaikan yang harus dilakukan pemerintah agar iklim investasi menjadi membaik. Saat ini, persoalan pemburukan iklim investasi mendapatkan momentum yang baik untuk ditelaah secara lebih sesama karena hajat Pilpres baru saja usai, di mana hasilnya hampir dapat dipastikan pasangan Susilo Bambang Yudhoyo dan Boediono memenangi â€presidential race†kali ini dan memerintah lima tahun ke depan.
Memulai Usaha dan Indeks Kompetisi
Studi yang dilakukan oleh World Bank (2009) menyebutkan terdapat 6 variabel (dari 11 variabel) melakukan usaha (doing business) yang mengalami pemburukan ketimbang tahun sebelumnya (2008). Sementara itu, dua variabel berada di peringkat yang tetap, dan tiga variabel mengalami perbaikan. Variabel yang mengalami perbaikan adalah kemudahan mempekerjakan tenaga kerja (157), memeroleh kredit (109), dan perdagangan melalui perbatasan (37). Sedangkan yang peringkatnya tetap adalah menjalankan kontrak dan menutup usaha (berada di peringkat 139 dan 140). Sebanyak 6 variabel yang mengalami penurunan peringkat adalah: melakukan usaha (129), memulai usaha (171), mengurus izin kontruksi (80), mendaftarkan properti (107), melindungi investor (53), dan membayar pajak (116). Deskripsi itu secara umum berhasil memberikan catatan tentang posisi iklim investasi/usaha Indonesia dalam konstelasi perekonomian global.
Sekurangnya terdapat dua poin penting dari publikasi Bank Dunia tersebut. Pertama, secara umum iklim investasi Indonesia masih sangat buruk karena dari 11 variabel melakukan usaha terdapat 8 variabel yang peringkatnya di atas 100. Bahkan masih ada 5 variabel yang peringkatnya di atas 125. Lebih dari itu, beberapa variabel yang mengalami perbaikan peringkatpun, posisinya masih di atas 100, seperti kemudahan memperkerjakan tenaga kerja dan memeroleh kredit. Ini mengindikasikan kemampuan pemerintah untuk menangani soal iklim investasi ini masih sangat lemah. Kedua, kinerja pemerintah dalam setahun terakhir ini mengalami pemburukan karena terdapat 6 variabel yang peringkat melakukan usaha mengalami kemerosotan. Ini tentu menjadi konfirmasi meyakinkan terhadap klaim pemerintah yang selalu menyatakan situasi ekonomi semakin baik dari waktu ke waktu. Realitas ini memang pahit, tapi harus dihadapi oleh pemerintah.
Berikutnya, studi lain yang dikerjakan oleh World Economic Forum (WEF) yang bertajuk Global Competitive Index (GCI) meletakkan Indonesia dalam peringkat 55 (2008/2009) dengan skor 4.3 (dengan skala nilai 1-7). Peringkat ini menurun tipis ketimbang periode 2006-2007 dan 2007-2008, di mana Indonesia berada pada posisi 54. Berbeda dengan studi yang dilakukan Bank Dunia, survei yang dilakukan oleh WEF ini membagi variabel menjadi 12 variabel yang dikelompokkan menjadi 3, yaitu persyaratan dasar, peningkatan efisiensi, dan faktor inovasi dan kecanggihan. Beberapa hal yang masih menjadi permasalahan dalam menjalankan usaha di Indonesia, di antaranya adalah inefisiensi birokrasi, keterbatasan infrastruktur, korupsi, regulasi tenaga kerja, inflasi, akses pembiayaan, peraturan perpajakan, ketidakstabilan politik, keterbatasan tingkat pendidikan tenaga kerja, peraturan valas, ketidakstabilan pemerintahan, etos kerja yang rendah, dan tingkat pajak.
Berdasarkan hasil studi inipun setidaknya ada 2 catatan yang dapat dikedepankan. Pertama, dari ketiga kelompok variabel yang disusun, peringkat paling buruk adalah kelompok persyaratan dasar (basic requirement). Isi dari kelompok persyaratan dasar adalah: institusi (kelembagaan), infrastruktur, stabilitas ekonomi makro, dan kesehatan dan pendidikan dasar. Padahal, persyaratan dasar ini merupakan fundamen terpenting bagi penguatan daya saing ekonomi suatu negara. Nyatanya, memang harus diakui dalam beberapa tahun terakhir pemerintah gagal dalam menjamin kepastian usaha, perbaikan infrastruktur, dan stabilitas makroekonomi, dan sebagian penguatan keterampilan tenaga kerja. Kedua, setidaknya dalam 3 tahun terakhir pemerintah juga gagal menjaga momentum perbaikan daya saing ini, sehingga peringkat kompetisi global mengalami kemunduran. Dengan begitu, hasil ini pararel dengan publikasi Bank Dunia, walaupun dengan variabel yang berbeda.
Kesejangan dan Persaingan
Sebetulnya, pemerintah telah melakukan sesuatu untuk memerbaiki iklim investasi dan daya saing ekonomi nasional. Paling tidak ada tiga paket ekonomi yang pernah diluncurkan pemerintah di bawah komando Boediono (sewaktu menjabat Menko Perekonomian). Tiga paket percepatan pembangunan ekonomi itu adalah percepatan infrastruktur, penguatan sektor keuangan, dan pengembangan sektor riil (UMKM dan koperasi). Di dalam “trisula†paket kebijakan ekonomi tersebut terdapat poin-poin yang selaras dengan perbaikan iklim investasi dan kompetisi global, seperti pengurusan izin usaha yang harus diperpendek, pembangunan infrastruktur, dan kelembagaan (aturan main) yang jelas sehingga menjamin kepastian usaha. Namun, kebijakan ekonomi yang cukup ideal itu ternyata hanya “macan kertas†karena nyaris tidak berjalan di lapangan. Di sini soalnya menjadi jelas, sebagian pokok perkara perbaikan ekonomi di Indonesia adalah birokrasi yang lamban akibat kepemimpinan (leadership) yang lemah.
Dengan begitu, masalah-masalah yang harus diperbaiki sebetulnya sudah terang benderang, lengkap dengan cara untuk mengatasinya. Tetapi, jika itu semua tidak didukung dengan kepemimpinan yang kuat, maka sulit kebijakan tersebut dapat dilaksanakan secara efektif. Di sinilah berlaku prinsip: strong but limited government. Maksudnya, pemerintah cukup mengambil soal-soal yang sangat penting (prioritas), tapi dijamin dapat dilakukan. Sayangnya, di sinilah keraguan itu muncul karena pemerintah mendatang dipimpin oleh presiden dan wakil presiden dengan karakteristik yang nyaris sama: cenderung hati-hati dan tidak memiliki karakter penerobos, seperti yang dulu diperankan oleh Jusuf Kalla. Semoga kelemahan ini dapat ditutup dengan portfolio kabinet (ekonomi) yang berpikir cepat, berani membuat terobosan, dan bertindak sigap sehingga menjadi daya ungkit bagi pergerakan ekonomi nasional. Model kepemimpinan inilah yang dibutuhkan saat ini dan mendatang.
Terakhir, problem investasi di Indonesia bukan sekadar meningkatkan jumlah dan nilai investasi. Tapi, sekurangnya ada dua masalah mendasar lain yang patut direnungkan. Pertama, sampai kini penanaman modal di Indonesia terkonsentrasi di Jawa (90%). Inilah yang menjadi sumber terpenting ketimpangan pembangunan antara wilayah bagian timur dan barat Indonesia. Oleh karena itu, peningkatan iklim usaha harus dicapai berbarengan dengan upaya pengurangan kesejangan investasi antara Jawa dan luar Jawa tersebut. Kedua, persaingan usaha di Indonesia masih jauh dari memuaskan karena teramat banyak soal-soal persaingan usaha tidak sehat yang terjadi di lapangan ekonomi. Contoh paling telanjang adalah persaingan usaha antara pasar tradisional dan pasar modern yang dilakukan secara head to head, sehingga menggusur pelaku ekonomi kecil (yang bermodal cekak). Singkatnya, dua soal ini juga menjadi pekerjaan rumah dan harus dipanggul oleh pemerintahan SBY – Boediono.
*Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Indef;
Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya