BPS (Badan Pusat Statistik) kembali melansir data tahunan yang selalu menimbulkan kontroversi, yakni data kemiskinan. Pada Maret 2011 ini kemiskinan telah turun menjadi 30,02 juta penduduk (12,49%). Penurunan ini tepat 1 juta penduduk dibanding tahun sebelumnya (2010), yakni sebesar 31,02 juta (13,33%). Penurunan angka kemiskinan kali ini diperkarakan banyak pihak karena dua alasan penting. Inflasi pada 2010 tergolong tinggi, khususnya inflasi pangan. Tahun lalu, inflasi pangan sekitar 17,7% sehingga secara teoritis angka kemiskinan seharusnya terdongkrak (bukan malah turun). Ini dapat terjadi karena penduduk miskin dan hampir miskin konsumsi pangan menghabiskan sekitar 70% dari pendapatannya. Berikutnya, jumlah penduduk sebagian besar penurunan terjadi di wilayah pedesaan, padahal pada 2010 pertumbuhan ekonomi sektor pertanian hanya 2,9% (terendah kedua dalam 10 tahun terakhir).
Kemiskinan Makro dan Mikro
BPS sendiri sebetulnya mengeluarkan dua data kemiskinan, yakni data makro dan mikro. Data kemiskinan makro dihitung berdasarkan data sampel (bukan sensus), sehingga hasilnya sebetulnya bersifat prediktif. Data kemiskinan ini bersumber dari Susenas (survei sosial ekonomi nasional), yang pengambilan datanya dilakukan pada setiap Maret dengan jumlah sampel 68.000 rumah tangga (RT) dan menggunakan ukuran kebutuhan dasar (basic needs). Data inilah yang kita konsumsi setiap tahunnya, termasuk yang baru dipublikasikan ini. Sementara itu, data kemiskinan mikro koleksi datanya didasarkan pada ciri-ciri RT miskin. Output dari data mikro ini adalah Rumah Tangga Sasaran (RTS), yakni RT miskin dan RT hampir miskin. Data mikro ini sudah pernah dilakukan dua kali, yaitu pada 2005 dan 2008. Pada Juli 2011 BS kembali melakukan koleksi data kemiskinan mikro ini, yang tentu hasilnya sebentar lagi akan diumumkan.
Pada 2008 data kemiskinan mikro tercatat 17,5 juta RT miskin dan hampir miskin. Dengan asumsi setiap RT terdapat 4 anggota, maka jumlah penduduk miskin (mikro) mencapai 70 juta. Data kemiskinan mikro ini merekam aspek yang lebih luas ketimbang data kemiskinan makro, karena bukan hanya mengukur basic needs yang lebih banyak berpusat pada kebutuhan pangan, tetapi juga memasukkan variabel pendidikan, perumahan, dan kesehatan. Secara teoritis data ini relatif mampu menangkap fenomena kemiskinan secara lebih luas (dan layak) ketimbang data kemiskinan makro yang menggunakan batas pendapatan Rp 233.740/bulan (meningkat dibanding 2010 yang memakai patokan sekitar Rp 211.000). Jika dikomparasikan dengan ukuran internasional, patokan yang dipakai dalam data kemiskinan makro masih kurang dari US$ 1. Jika memakai ukuran US$ 1 saja, maka patokan pendapatan penduduk miskin seharusnya Rp 260.000/bulan.
Dengan begitu, problem utama dari penghitungan jumlah penduduk miskin adalah menyangkut penentuan batas pendapatan penduduk miskin itu sendiri. Jika memakai standar baku internasional, maka batas itu sekitar US$ 2/hari atau setara Rp 540.000 (dengan menggunakan asumsi Rp 9000/1 US$). Vietnam yang memikiki pendapatan per kapita yang lebih rendah ketimbang Indonesia memakai patokan US$ 1,5/hari atau setara sekitar Rp 450.000. Patokan Vietnam tersebut nyaris dua kali lipat ketimbang yang dipakai BPS. Jadi, terlihat jelas betapa rendahnya patokan di Indonesia sehingga kurang bisa menggambarkan fakta kemiskinan yang sesungguhnya. Setelah itu, masalah lainnya yang menghadang ialah soal sampel yang jumlahnya hanya 68.000. Pertanyaannya, apakah pengambilan sampel itu sudah menggunakan kaidah statistik yang benar? Maksudnya, apakah setiap daerah sudah memeroleh representasi sampel sesuai dengan karakteristik sosial-ekonomi dan jumlah penduduk.
Kemiskinan dan Makro Ekonomi
Terlepas dari permasalah patokan garis kemiskinan dan metode pengambilan data, soal serius lainnya adalah kaitannya dengan data-data makro ekonomi lainnya. Pertama, pada periode Maret 2010-Maret 2011 kemiskinan di pedesaan turun dari 19,93 juta menjadi 18,97 orang, padahal sektor pertanian pada 2010 hanya tumbuh 2,9% (bandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 6,5%). Kontroversinya, kurang realistis angka kemiskinan di pedesaan turun sedemikian banyak disaat sektor pertanian tumbuh sangat rendah (karena sebagian besar penduduk di pedesaan kerja di sektor pertanian). Kedua, penduduk miskin mengkonsumsi sekitar 70% pendapatannya untuk pangan, sementara pada 2010 inflasi pangan mencapai 17,7%. Dengan dasar ini, alih-alih kemiskinan turun, maka sangat boleh jadi seharusnya jumlah penduduk miskin di pedesaan malah naik. Hal ini dapat terjadi, karena sebagian besar penduduk miskin (dan hampir miskin) merupakan net consumers pangan. Bahkan buruh tani malah sama sekali tidak memegang barang (misalnya beras) karena hanya menerima upah harian.
Sumber pertanyaan lainnya berasal dari gugatan Prof. M. Arsjad Anwar yang melihat adanya kejanggalan penurunan kemiskinan dalam tahun-tahun terakhir ini. Menurutnya, pada periode 1984-1996 angka kemiskinan rata-rata turun 1 juta/tahun dengan petumbuhan ekonomi rata-rata 7%/tahun. Sementara itu, pada periode 2006-2010 rata-rata angka kemiskinan turun 2 juta penduduk, padahal pertumbuhan ekonomi rata-rata kurang dari 6%/tahun. Kerisauhan itu menemukan klarifikasi yang kuat apabila melihat struktur pertumbuhan ekonomi dari dua periode itu. Pada 1984-1996 pertumbuhan ekonomi banyak disokong sektor riil (pertanian dan industri), sebaliknya pada periode 2006-2010 sumber pertumbuhan ditopang oleh non-tradeable sector (telekomunikasi, keuangan, jasa, perdagangan, dll). Sektor riil memiliki daya serap tenaga kerja yang jauh lebih tinggi ketimbang sector non-tradeable, sehingga membuat penurunan angka kemiskinan akhir-akhir menjadi tidak realistis dan kontroversial.
Dengan menimbang pemikiran tersebut, rasanya pemerintah mesti berbenah untuk mendesain pengukuran penduduk miskin secara utuh sehingga mampu memantulkan fakta yang sebenarnya, di samping secara internasional data itu juga dapat diperbandingkan. Berikutnya, pengurangan kemiskinan hanya mungkin dilakukan apabila rakyat bisa masuk ke pasar kerja secara permanen. Pemerintah boleh saja mendesain program-program ad-hoc pengurangan kemiskinan, semacam KUR dan PNMP, tapi keberadaan program itu kurang memiliki dimensi jangka panjang. Langkah paling realistis yang dapat dilakukan adalah memerkuat pembangunan sektor pertanian dan industri (berbasis pertanian, termasuk maritim) karena kedua sektor itulah yang sebetulnya menjadi endowment factor perekonomian nasional. Ide ini sudah dipahami pemerintah dengan baik, sekarang tinggal ditunggu komitmen untuk mengeksekusinya.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef