Data terbaru yang dipublikasikan BPS (Badan Pusat Statistik) minggu lalu semakin menunjukkan pokok soal perekonomian nasional. Pertama, data BPS menyebutkan bahwa sumber utama pertumbuhan pada triwulan II 2008 adalah sektor keuangan, jasa, realestat, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/hotel/restoran.
Kedua, data pertumbuhan triwulan II 2008 terhadap triwulan II 2007 mendeskripsikan, sektor tradable (yang dapat diperdagangkan) hanya tumbuh 3,2 persen, sedangkan sektor nontradable tumbuh 10,1 persen. Kesenjangan di antara dua sektor tersebut jauh lebih menganga ketimbang pertumbuhan triwulan II 2007 terhadap triwulan II 2006 (tradable 4,2 persen dan nontradable 8,5 persen). Padahal, sektor tradable itulah yang selama ini banyak menyerap tenaga kerja, seperti sektor pertanian, pertambangan dan galian, serta industri pengolahan (sektor riil). Permasalahan itu sangat serius karena bersinggungan dengan kemiskinan dan pengangguran.
Implikasi Ekonomi
Karaktersitik pertumbuhan ekonomi tersebut tentu menimbulkan implikasi ekonomi yang besar. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang mengerucut pada sektor nontradable menjadikan keuntungan ekonomi (pendapatan) mengerucut ke pelaku ekonomi yang bekerja di sektor itu. Padahal, jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam sektor tersebut tidak sebesar di sektor tradable. Implikasinya, terjadi ketimpangan ekonomi yang terus meningkat. Tercatat dalam empat tahun terakhir ini koefisien gini (gini ratio) meningkat dari semula 0,32 (2004) menjadi 0,36 (2007). Demikian pula porsi pendapatan 40 persen penduduk paling bawah berkurang dari sekiar 20,9 persen (2002) menjadi hanya 19,2 persen (2005).
Sebaliknya, 20 persen penduduk berpendapatan paling atas meningkat dari semula 44,7 persen menjadi 45,7 persen. Deskripsi itu dengan telanjang menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir ini hanya dinikmati oleh lapisan atas penduduk Indonesia.
Kedua, ciri pertumbuhan ekonomi kian kuat ditentukan oleh pertumbuhan sektor yang tidak menyerap tenaga kerja. Pertumbuhan sektor industri (pengolahan) yang pada masa Orde Baru menjadi salah satu sumber penyerapan tenaga kerja (di samping sektor pertanian) akhir-akhir ini terus menurun sehingga kemampuannya untuk menyerap tenaga kerja juga berkurang.
Alhasil, terjadi paradoks yang unik dalam perekonomian nasional, yakni pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan pengangguran yang tinggi. Pada masa Orde Baru, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi rata-rata menyerap 400 ribu tenaga kerja. Namun, saat ini setiap satu persen pertumbuhan ekonomi hanya menyerap kurang dari 200 ribu tenaga kerja.
Jadi, angka pertumbuhan yang selama ini selalu diungkapkan tanpa memberikan fakta di baliknya merupakan bagian dari distorsi informasi yang menyesatkan tentang kondisi perekonomian nasional yang sesungguhnya. Itulah yang disebut pertumbuhan minus kesejahteraan.
Ketiga, terjadi pendalaman informalisasi ekonomi. Ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga negara Asia lain. Di Thailand, pada 2002 sumbangan ekonomi informal terhadap pendapatan nasional (PDB) mencapai 52 persen, disusul Filipina 43,4 persen, Bangladesh 35,6 persen, Malaysia 31,1 persen, Korsel 27,5 persen, India 23,1 persen, Indonesia 19,4 persen, Vietnam 15,6 persen, serta India dan Singapura masing-masing 13,1 persen (Schneider, 2002). Di Indonesia saat ini sumbangan ekonomi informal tersebut kian membengkak, setidaknya dilihat dari penyerapan tenaga kerja. Sektor ini sekarang menyerap sekitar 70 persen dari total tenaga kerja di Indonesia.
Jadi, informalisasi ekonomi berjalan bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi. Itu hanya mungkin terjadi bila sektor yang tumbuh cuma nontradable (yang menyerap sedikit tenaga kerja); pada saat yang sama, sebagian pelaku ekonomi tidak mungkin masuk ke sektor pertanian dan industri karena pertumbuhan dua sektor tersebut stagnan.
Pendalaman Liberalisasi
Menariknya, pola ekonomi yang terjadi di atas bersamaan dengan pendalaman globalisadi dan liberalisasi yang dijalani Indonesia. Pada saat ekonomi nasional belum begitu tersentuh liberalisasi, mutu pertumbuhan ekonomi yang dicapai justru lebih bagus. Di situlah mata rantai masalah tersebut mesti diurai, sekaligus berani mengambil keputusan yang lebih radikal.
Janji bahwa liberalisasi akan memberikan pertumbuhan dan kemakmuran yang lebih baik ternyata hanya isapan jempol karena data menunjukkan hal yang meragukan. Studi Bank Dunia pada periode 1994-1998 menunjukkan tidak ada korelasi yang kuat antara kesertaan globalisasi dan pertumbuhan ekonomi.
Memang terdapat negara yang aktif dalam globalisasi, seperti Singapura, yang pertumbuhan ekonominya tinggi; namun juga terdapat negara yang pasif dalam globalisasi, misalnya Tiongkok dan India, dengan perolehan pertumbuhan ekonomi yang meyakinkan. Fakta-fakta itu yang sengaja digelapkan selama ini.
Deskripsi tersebut memberikan ilustrasi yang cukup jelas bahwa globalisasi memiliki dampak yang kurang bagus dalam perekonomian domestik karena hanya menumbuhkan sektor-sektor ekonomi yang dihuni oleh segelintir penduduk, seperti sektor keuangan dan komunikasi.
Jadi, persinggungan relasi sektor-sektor tersebut dengan ekonomi internasional mesti dibatasi karena berpotensi menciptakan instabilitas ekonomi, dalam wujud pengangguran dan ketimpangan pendapatan. Selebihnya, pemerintah harus mengembalikan pemihakan pembangunan ekonomi ke sektor pertanian dan industri pengolahan yang banyak menyerap tenaga kerja. Modernisasi dua sektor tersebut akan membuat kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi semakin meningkat, tanpa mengorbankan penyerapan tenaga kerja.
Jika langkah-langkah itu tidak dicicil mulai hari ini, pembusukan akan terus terjadi hingga saatnya nanti terjadi kelumpuhan ekonomi. [Jawa Pos]