BPS telah mengumumkan kinerja ekonomi sepanjang semester I 2010, yang hasilnya bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Berita bagusnya, pertumbuhan ekonomi semester I 2010 mencapai 5,9%. Pertumbuhan yang cukup tinggi ini disumbang oleh kuartal IIÂ 2010 yang tumbuh 6,2% dibandingkan kuartal II 2009 (yoy). Hasil ini memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi 2010 akan lebih tinggi dari asumsi pemerintah yang hanya 5,7%. Saya sendiri sejak awal telah menyampaikan bahwa asumsi pertumbuhan ekonomi yang dibuat pemerintah itu sangat konservatif. Berita buruknya, tiga sektor penyumbang pertumbuhan ekonomi tertinggi (yoy) adalah pengangkutan dan telekomunikasi (12,9%); perdagangan, hotel, dan restoran (9,6%); dan konstruksi (7,2%) [Jawa Pos, 6/8/2010]. Sektor itu dikenal sebagai non-tradeable, yang elastisitas penyerapan tenaga kerjanya rendah (dibandingkan pertanian dan industri/tradeable sector).
Perangkap Pertumbuhan
Secara lebih lanjut, jika dipilah berdasarkan sumber jenis pertumbuhannya, maka konsumsi rumah tangga tumbuh 4,5%, konsumsi pemerintah turun 8,9%, pembentukan modal tetap bruto 7,9%, ekspor 17,2%, dan impor 20,1% (yoy). Turunnya konsumsi pemerintah terkait masih rendahnya penyerapan anggaran (APBN) yang tercatat sampai Juni 2010 berkisar pada angka 36%. Pola konsumsi pemerintah memang selalu begitu, di mana nantinya penyerapan akan berjalan cepat pada kuartal IV. Laju pertumbuhan ekspor juga sudah bagus, namun ternyata masih lebih rendah ketimbang pertumbuhan impor. Apalagi, terdapat tendensi peningkatan impor itu terjadi pada impor bahan konsumsi, bukan bahan baku. Fakta inilah yang menjadi salah satu sebab peningkatan impor tidak diimbangi dengan peningkatan pertumbuhan ekspor dalam jumlah yang proporsional, atau bahkan dengan proporsi yang lebih besar.
Konstruksi pertumbuhan ekonomi semacam itu membuat perekonomian nasional tetap berada dalam zona “perangkap pertumbuhanâ€. Maksudnya, pertumbuhan ekonomi yang dicapai tidak mampu meningkatkan kesejahteraan sebagian besar masyarakat karena lapangan kerja yang diciptakan tidak terlalu banyak. Pandangan ini dikonfirmasi oleh kajian yang dilakukan Indef (2010), yang mengolah data dari ILO dan IMF, yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2001-2008 rata-rata mencapai 5,4%, namun pertumbuhan kesempatan kerjanya hanya 1,7%. Padahal, di Filipina pada periode yang sama pertumbuhan ekonominya rata-rata lebih rendah (5,3%), tapi pertumbuhan kesempatan kerjanya sangat tinggi (2,8%). Implikasinya, jumlah tenaga kerja (TK) di Indonesia yang bekerja di sektor informal melonjak dari semula 63,82 juta (61,3%) pada 2008 menjadi 67,86 juta (64,7%) pada 2009.
Sementara itu, sektor ekonomi yang diharapkan tumbuh bagus, yakni pertanian dan industri, sepanjang Semester-I 2010 hanya tumbuh 3,0% dan 4,0% (yoy). Jika dilihat tiap kuartal, pertumbuhan sektor industri sebenarnya menunjukkan tren peningkatan, karena pada kuartal I sempat minus 0,9% dibandingkan dengan kuartal IV 2009. Tapi, dengan pertumbuhan tahunan yang hanya 4,0% sangat sulit mengharapkan terjadinya peningkatan kesempatan kerja secara lebih meyakinkan. Sedangkan sektor pertanian sejak lama berada dalam pola yang “unikâ€. Saat ekonomi berada dalam situasi krisis, pertumbuhan sektor pertanian melonjak, namun begitu ekonomi pulih pertumbuhannya justru merosot. Jadi, ketika perekonomian terpuruk sektor pertanian menjadi katub pengaman. Namun, begitu tahap konsolidasi ekonomi berjalan, sektor pertanian kembali diabaikan. Pola inilah yang juga terjadi pada semester I 2010.
Membelokkan Arah Kemudi
Rasanya kita tidak bisa lagi berputar-putar dengan model pertumbuhan seperti ini karena tidak akan mampu menyelesaikan problem mendasar perekonomian, yaitu memberi lapangan kerja yang layak bagi seluruh warga negara. Saat ini kita diberi anugerah dengan struktur usia TK yang tergolong produktif, sehingga ini merupakan modal bagus untuk menggerakkan perekonomian. Namun, kesempatan ini pasti akan menguap apabila TK produktif tersebut tidak memiliki kesempatan masuk ke ruang ekonomi formal. Jumlah pekerja informal yang hampir mencapai 65% dari total TK merupakan gambaran paling suram dari masa depan kesejahteraan TK (masyarakat), sebab sektor informal kurang mempunyai prospek dalam jangka pendek dan kepastian dalam jangka panjang. Sekaligus, ini merupakan kegagalan paling serius yang dilakukan pemerintah dalam penataan ekonomi.
Dua opsi dapat dipilih untuk membelokkan arah kemudi ekonomi. Pertama, secara drastis mengalokasikan anggaran negara untuk mendorong pembangunan sektor pertanian dan industri (sebagai satu-kesatuan yang tidak terpisahkan), sambil disaat yang bersamaan melakukan moratorium insentif kebijakan yang berpotensi mengerek pertumbuhan sektor non-tradeable. Kebijakan ‘diskriminatif’ ini mungkin pahit bagi sebagian pelaku ekonomi, tapi memberi sinyal yang jelas terhadap arah dan pembelaan pembangunan ekonomi nasional. Kedua, secara gradual otoritas moneter dan fiskal mendesain kebijakan yang mengarahkan sektor keuangan (perbankan) dan fiskal bertindak bukan untuk tujuan stabilitas makrekonomi semata, tapi berpihak terhadap perkembangan sektor riil. Model ini tidak terlalu melukai sebagian pelaku ekonomi, namun harus ekstra sabar menunggu hasilnya.
Akhirnya, apapun pilihannya, pemerintah tidak boleh menunda lagi amanah konstitusi negara, yakni memberi warga negaranya pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Jika ini yang terjadi, maka pertumbuhan ekonomi akan memiliki makna bagi rakyat, bukan pertumbuhan ekonomi yang banyak komanya (baca: banyak catatan buruknya).