Sektor pertanian adalah cerita kebesaran Indonesia, setidaknya pada masa lalu. Indonesia pernah menjadi eksportir gula nomor 2 terbesar dunia, sebelum menjadi importir sejak 20 tahun terakhir. Komoditas buah juga sempat berjaya dan pelan-pelan mengalami penurunan sehingga sebagian besar pasar buah domestik diisi oleh produk impor. Pada sektor perkebunan, seperti kelapa sawit dan karet, Indonesia masih menjadi pemain besar dunia dan amat diperhitungkan hingga kini.
Masalah sektor pertanian mulai muncul sejak reformasi ekonomi ketika IMF mencopoti kewenangan Bulog dan meliberalisasi sektor pertanian sebagai paket yang harus ditelan untuk mengucurkan utang saat krisis ekonomi besar masa itu. Sejak itu kinerja sektor pertanian mengalami kemerosotan dan coba diangkat kembali akhir-akhir ini.
Situasi muram itu menjadi deskripsi sektor pertanian dan para pelakunya. Jadi, kisah petani adalah cerita soal kekalahan. Kita adalah para penyaksi hal tersebut dan telah menjadi keyakinan yang sulit dicabut. Saat panen harga jatuh ke sumur yang paling dalam, ketika masa paceklik harga membumbung tapi barang sudah di tangan pengepul/pedagang, musim hujan kerap diterjang banjir, pada momen kemarau sawah puso karena tak ada sumber air, dan masih ditambah dengan aneka hama yang datang nyaris tiada jeda. Itu belum diperdalam dengan nestapa lain yang kerap mampir, seperti harga benih yang mahal, pupuk langka, tanah diserobot, lilitan utang ke rentenir, jebakan teknologi, dan segepok realitas pahit lainnya. Pendeknya, dunia petani adalah kesempurnaan nestapa.
Kisah pedih itu juga menyergap Pak Kasnari, petani jambu getas merah di Kabupaten Kendal. Hanya sekitar 1,5 jam perjalanan dari Kota Semarang kita akan sampai di hamparan tanaman jambu di Kendal tersebut, termasuk lahan kecil milik Pak Kasnari.
Di ladang yang luas itu (total mencapai 2000 hektar), jambu yang eksotik dan manis dibiarkan jatuh dan membusuk tanpa ada upaya memanen karena harganya yang mengenaskan. Pada musim panen awal 2018 lalu, sekilonya hanya dihargai Rp 500, bahkan bisa anjlok menjadi Rp 200-300. Kata Pak Kasnari, ongkos memanen jauh lebih mahal ketimbang harga jual yang diperoleh. Nada suaranya lirih, seperti mewakili hatinya yang sedang perih. Nasib semacam itu dialami oleh ribuan petani jambu lainnya di Kabupaten Kendal tersebut.
Lelaki berumur sekitar 55 tahun itu berkisah. Tahun lalu (2017) pernah menjadi tempo paling indah dalam hidupnya selama 20 tahun menjadi petani jambu. Harga puncak jambu mencapai Rp 9.000/kg. Dia mendapatkan kesejahteraan yang hampir menyundul atap rumah. Masa yang indah untuk dikenang, tetapi kali ini menjadi cerita gersang. Tak cukup tenaga untuk tersenyum sebab beban hidup jauh dari ranum.
Untunglah jalan keluar bisa dicicil. Kami dari Ditjen PKP (Pembangunan Kawasan Perdesaan) Kemendes berikhtiar mengonsolidasikan ribuan petani jambu di Kendal itu untuk membangun organisasi ekonomi desa yang mapan, yakni Bumdesma (Badan Usaha Milik Desa Bersama). Pada tahap pertama 2017, sekitar 1400 petani dari 7 desa dulu yang sepakat bikin konsensus. Para pegiat desa dan staf di kantor turun ke lapangan untuk mendorong pengorganisasian sumber daya dan memapankan Bumdesma.
Kerjasama antardesa itu mesti disegerakan karena ribuan petani tadi terserak di banyak desa, sehingga pendekatan kawasan perdesaan adalah keniscayaan. Tidak bisa desa-desa dibiarkan berjuang sendiri untuk menyelesaikan masalahnya atau menyusun agenda pembangunanannya. Kolaborasi antardesa adalah keharusan agar sumberdaya terkonsolidasi dan orang-orang (khususnya petani) tersusun dalam jamaah yang rapi. Dengan cara ini skala ekonomi terbangun, posisi tawar terdongkrak, dan kompetisi yang saling mematikan antardesa terhindari. Ikhtiar inilah yang diinisiasi di Kabupaten Kendal tersebut agar para petani memiliki peta baru perjuangan dan kesejahteraan dapat ditegakkan. Jamaah ekonomi mesti berbaris rapi dan desa-desa berjajar menjadi rantai yang saling tersambung.
Petani wajib terkonsolidasi agar tak terpecah jadi kekuatan kecil yang rapuh. Mereka harus melantunkan ikrar bersama agar skala ekonomi digapai dan ikhtiar peningkatan nilai tambah (pengolahan) menjadi kenyataan. Pemapanan organisasi ekonomi menjadi perkara karena selama ini titik lemah ekonomi desa bermukim di sana. Jadi, sekurangnya terdapat lima lini konsensus yang harus dibangun oleh petani, yang tentu saja sebagian mesti dibantu pemerintah.
Lima lini itu adalah:Â (1) konsensus kepemilikan faktor produksi, di mana lahan pertanian sebanyak mungkin dimiliki petani; (2) konsensus organisasi ekonomi, yaitu lembaga ekonomi semacam koperasi dan Bumdes wajib menjadi jalur perjuangan; (3) konsensus skala ekonomi, di mana para petani terkonsolidasi memproduksi kegiatan ekonomi secara kolektif (khususnya terorganisir pada level kawasan perdesaan; (4) konsensus nilai tambah, yakni para petani tak boleh lagi hanya jualan bahan mentah, tapi menjangkau aktivitas sampai hilir (agroindustri); dan (5) konsensus rantai pasok, di mana desain jalur distribusi yang efisien harus diwujudkan sehingga tak merugikan dan melemahkan posisi tawar petani.
Mas Edi, petani jambu yang kemudian terpilih sebagai Ketua Bumdesma “Plasma Petik Sariâ€, sangat bersemangat membangun Bumdesma ini dan bertekad merawat dengan modal hati dan dedikasi. Para pengepul tidak disingkirkan, melainkan dibuka ruang hidup asal tak mengisap petani. Mereka diberi kewajiban beli Rp 2000/kg dari petani, lantas menjual Rp 2.400/kg kepada Bumdesma, dan akhirnya Bumdesma melepas Rp 3.000/kg ke perusahaan. Perusahaan yang diajak bermitra ini yang mengolah jambu tersebut menjadi minuman olahan (jus kemasan), yang berjanji akan berbakti dengan memberi sebagian saham ke Bumdesma setelah kerjasama ini makin teruji. Tentu, dalam jangka panjang peran Bumdesma diharapkan makin berkibar dan sanggup memiliki pabrik pengolahan sendiri. Pada jangka pendek ini sekurangnya kolaborasi yang bermartabat bagi seluruh pihak.
Pada 7 Maret 2018 hari bersejarah itu tiba, ketika ratapan diubah menjadi harapan. Bumdesma dan perusahaan tanda tangan kerjasama tepat di lapangan sebelah kebun jambu. Panggung sederhana didirikan, senapas dengan nasib pejuang kehidupan (petani) yang sedang ditegakkan. Para petani bertepuk tangan, berharap fajar baru berpihak kepada hajat hidup sejahtera yang selama ini hanya angan.
Mas Edi, yang sepantaran dengan saya, terlihat tak lagi murung dengan kemeja bersahaja lengan panjang yang digulung. Pak Kasnari saya cari tak ketemu, mungkin menghilang kembali ke ladang untuk mengabarkan cahaya baru kepada pohon jambu.
Tentu saja jalan ke depan tidak akan mulus dan lapang, pasti penuh tikungan dan tanjakan. Namun, pada hari itu kami bermunajat agar nasib buruk itu telah sampai pada tepi. Esok pagi berharap berganti menjadi takdir baru yang menandai mulainya musim semi.
Ahmad Erani Yustika
Staff Khusus Presiden, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya