Minggu-minggu ini diperkirakan merupakan puncak kesibukan partai politik untuk menentukan penyusunan koalisi dalam laga pilpres (pilihan presiden). Di tengah hingar bingar berita koalisi tersebut, tersembul satu harapan yang menarik di mana beberapa waktu lalu salah satu petinggi partai menyatakatan partainya tidak mungkin bersekutu dengan partai penguasa (ruling party) karena platform ekonomi yang bertolak belakang. Ini menarik, sebab pola koalisi yang hendak dibangun selama ini hampir menihilkan soal platform (dan ideologi) tersebut. Koalisi yang dilakukan selama ini semata soal kecocokan pembagian kekuasaan sehingga begitu tiba dalam masa memerintah kerap terjadi ketidaklaziman: sesama anggota koalisi di pemerintahan berlainan sikap dalam kebijakan (ekonomi) tertentu, misalnya soal kenaikan harga minyak. Aib semacam itu mestinya tidak bakal terjadi bila alas koalisi berbasis ideologi dan platform (apapun jenis platform atau ideologi yang dipilih).
Kuadran Koalisi
Meskipun secara umum tulisan ini hendak mendorong terjadinya koalisi yang berbasis platform, namun dalam operasionalisasi tidaklah mungkin secara absolut hal itu dilaksanakan. Sebab, koalisi juga butuh kekuatan (politik) agar efektivitas pemerintahan dapat berjalan. Oleh karena itu, koalisi yang ideal harus dibangun dengan memertimbangkan dua variabel itu, yakni platform dan kekuataan. Dengan dua alas variabel itu, sekurangnya terdapat empat blok (kuadran) yang bisa diciptakan: (i) koalisi dengan bobot platform dan kekuatan yang relatif rendah; (ii) koalisi dengan volume platform yang bagus, tapi minim kekuataan; (iii) koalisi dengan kuantitas platform yang sedikit, namun maksimal kekuatannya; dan (iv) koalisi dengan muatan platform dan kekuatan yang sama-sama besar. Tentu saja model koalisi keempat adalah arah yang hendak dituju, namun realitas di lapangan politik sangat tidak mudah untuk merealisasikan hal itu.
Jika koalisi model pertama yang terjadi, maka peta koalisi bisa digambarkan sebagai berikut. Sembilan partai yang mendapatkan suara di atas 2,5% merasa masing-masing bisa mencalonkan jagoannya untuk bertarung dalam presidential race, tanpa memertimbangkan kekuataan dan platform yang dimiliki. Jika ini yang terjadi, maka mungkin akan muncul tiga blok koalisi, misalnya PD, PKS, dan PKB; PDIP dan Golkar; dan gabungan PAN, PPP, Hanura, dan Gerindra. Peta koalisi ini kurang dibangun berdasarkan platform maupun kekuatan yang realitis, namun bisa saja terjadi bila terdapat banyak figur yang ingin maju. Selanjutnya, jika koalisi model kedua yang terjadi, maka arah koalisi akan menumpuk pada dua blok. Meskipun tidak mudah membedakan platform antarpartai, tapi koalisi ini seharusnya akan mempertemukan PD, Golkar, dan PPP menjadi satu blok koalisi; sedangkan PDIP, PKB, PAN, PKS, Gerindra, dan Hanura berada di blok yang berseberangan.
Sementara itu, model koalisi ketiga sangat mementingkan kekuatan politik. Di sini PD, Golkar, PKS, PPP, PAN, dan PKB menjadi satu koalisi besar; sedangkan PDIP, Gerindra, dan Hanura berada di blok lainnya. Koalisi ini sangat mungkin terjadi, namun sesungguhnya memiliki masalah besar bagi formulasi platform ekonomi yang konsisten di masa depan. Terakhir, model koalisi yang memiliki keberpihakan membangun kesamaan platform dan efektivitas pemerintah. Pada model ini diharapkan blok itu mengerucut menjadi dua bangunan koalisi sebagai berikut. PD, Golkar, PKB, dan PPP berada di blok pertama; blok berikutnya berisi PDIP, PKS, PAN, Gerindra, dan Hanura. Jika blok koalisi ini yang hendak dibangun, maka peluang kedua blok memenangkan persaingan sama-sama besar dan –yang lebih penting- anggota koalisi akan solid karena memiliki platform (ekonomi) yang sebangun. Masalahnya, bagaimana mendorong terbentuknya koalisi yang ideal ini?
Regulasi Politik
Teori ekonomi politik selama ini terus mencari celah menemukan cara terbaik mengatasi trade-off antara mutu dan kuantitas koalisi. Di sini, kualitas koalisi yang bagus sering tidak diimbangi dengan kuantitas kekuatan politik; demikian sebaliknya. Mula-mula teori ‘insentif’ yang dipakai untuk menyelesaikan perkara ini, tapi kemudian terbukti gagal memberi solusi. Pada titik ini, menurut saya, perlu dikembangkan alternatif pasokan regulasi sebagai jalan keluarnya. Masalah kelangkaan regulasi bukan cuma terjadi di politik, tapi juga soal serius di bidang ekonomi. Oleh karena itu, regulasi politik harus didesain sehingga model koalisi yang lebih memertimbangkan kesamaan platform dapat diwujudkan. Format regulasi itu adalah: Pertama, membatasi penguasaan “pasar politik†sehingga tidak tercipta monopoli akibat koalisi yang dibangun. Kedua, mewajibkan pembukuan platform ekonomi yang komprehensif (juga spesifik) antarblok koalisi sehingga terlihat jelas perbedaannya.
Kedua desain regulasi itu secara teknis mudah dilakukan, walaupun dari aspek politik mungkin relatif rumit. Format desain yang pertama sebetulnya bukan hal yang asing, sebab regulasi semacam itu sudah dilakukan sejak lama di bidang ekonomi. Intinya, penguasaan pasar yang terlalu besar berpotensi mematikan kekuatan yang lebih kecil sehingga tidak mendorong munculnya kualitas produk. Jika elemen kunci ekonomi itu diaplikasikan ke bidang politik, maka koalisi yang dibangun di atas kekuatan yang amat dominan akan berpotensi menafikan kekuatan politik lain. Implikasinya, kualitas kebijakan menjadi buruk dan kontrol kebijakan menjadi sangat lemah karena tidak ada mekanisme check and balances. Oleh karena itu, harus didorong agar koalisi yang terbangun dalam pemerintahan mendatang tidak terlalu besar, tapi cukup untuk memuluskan kebijakan. Pengalaman pada masa Orde Baru merupakan pelajaran yang baik, betapa kekuasaan yang begitu dominan telah mematikan sendi-sendi kehidupan, khususnya di bidang ekonomi dan politik.
Sementara itu, format desain yang kedua dipilih untuk menghindari transaksi koalisi yang cuma dihidupi oleh insentif kekuasaan, bukan naluri memberi kepastian platform yang hendak diusung. Jalan ini juga untuk menutup pintu sesama anggota koalisi berbeda sikap pada saat memerintah. Persyaratan ini mungkin menggelikan dalam politik kekinian, tapi regulasi ini cukup rasional untuk mendorong partai politik berpihak terhadap mutu koalisi. Oleh karena itu, perlu diregulasi agar partai politik-partai politik yang ada sekarang membangun koalisi dengan dasar kesamaan platform tersebut. Rendahnya efektivitas implementasi kebijakan ekonomi pemerintah kerap kali muncul dari aspek ini dan bukan sekadar karena kapasitas birokrasi yang lemah. Tentu saja, kesamaan platform itu harus dirinci sampai ke hal yang detail, bukan cuma berhenti pada slogan makro yang kurang memberi informasi yang jelas kepada khalayak. Dengan cara ini, rakyat akan mendapatkan kompensasi yang setimpal atas setiap pilihan yang telah diberikan di bilik suara.
Seputar Indonesia, 23 April 2009
*Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Indef;
Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya