Proklamasi 17 Agustus 1945 membekali bangsa dengan dasar negara (Pancasila) dan konstitusi (UUD 1945) sebagai pandu mengelola seluruh urusan (Re)publik, tak terkecuali ekonomi. Jatuh bangun pembangunan ekonomi dijalani demi memastikan mandat proklamasi ditunaikan.
Di era Orde Lama (1945-1965) di bawah kekuasaan Soekarno tak bisa seutuhnya disebut telah berlangsung pembangunan ekonomi seperti sekarang. Rencana dan konsep pembangunan bukannya tak ada (justru sangat kaya dan visioner), tetapi akibat keterbatasan sumber daya dan persoalan politik segala pikiran tak menjelma jadi perbuatan.
Banyak program pemerintah untuk memajukan ekonomi, seperti rencana ”Panitia Siasat Pembangunan Ekonomi” yang dibentuk Kabinet Sjahrir 1947, ”Rencana Urgensi Ekonomi” 1951, ”Rencana Djuanda” 1955, dan ”Pembangunan Nasional Semesta Berencana” 1961 (Sjahrir, 1986); tetapi sebagian besar tak meninggalkan jejak akibat situasi politik tak mendukung.
”Sosialisme revisionis”
Salah satu yang laik dicatat pada kurun Orde Lama ialah kebijakan nasionalisasi perusahaan asing (Belanda), khususnya di bidang perkebunan. Ratusan perusahaan milik Belanda dikuasai negara.
Di luar perkebunan, sektor lain yang diambil alih adalah perbankan. Langkah ini adalah pedoman strategis yang menjadi cagak penyangga peran negara dalam perekonomian, yang kemudian dipegang BUMN. Ini juga tiang konstitusi apabila dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Selebihnya, program-program yang lain kurang ada tapak karena turbulensi situasi politik. Tujuan ideal ekonomi berdikari terhambat banyak rintangan. Negara di awal kemerdekaan disibukkan serba-serbi perkara pengakuan kedaulatan kemerdekaan dan masalah daerah (Irian Barat/Papua). Umur pemerintahan (kabinet) tak panjang sehingga tiap rencana tak cukup waktu dikemudikan. Dinamika idealitas konseptual dan defisit dukungan politik jadi latar di masa itu.
Secara lugas, salah satu teknokrat Orde Baru, M Sadli (1987), mendeskripsikan empat karakter pembangunan masa Orde Lama. Pertama, tak ada stabilitas politik memadai. Kedua, orientasi dan prioritas kebijakan pemerintah terlalu mengejar sasaran politik dan idiil.
Ketiga, relasi dengan negara Barat tak terlalu baik. Bantuan ekonomi luar negeri lebih banyak dari Blok Timur. Keempat, kecenderungan ideologis pemerintah untuk mengatur ekonomi dengan campur tangan langsung yang luas (ekonomi terpimpin), misalnya menentukan harga, mengatur produksi (sistem lisensi), dan lain-lain.
Ciri terakhir itu sekaligus menunjukkan posisi berdiri rezim Orde Lama, yang oleh banyak ekonom disebut lekat dengan ”sosialisme”. Opini ini tentu tak salah, tetapi tak sepenuhnya betul karena para pendiri bangsa (sebagai perumus konstitusi) lebih tepat disebut kaum ”sosialisme revisionis” (memberi tempat yang lapang bagi rakyat lewat koperasi dan usaha swasta dalam berniaga).
Trilogi Pembangunan
Periode awal Orde Baru situasi yang berat bagi siapa pun yang berkuasa. Di masa itu seperti tak ada harapan bagi Indonesia meraih kemajuan, apalagi apabila perubahan diinginkan secara cepat. Menurut Anne Booth dan Peter McCawley (1990), tingkat produksi dan investasi di berbagai sektor menunjukkan kemunduran sejak 1950. Pendapatan riil per kapita 1966 sangat mungkin lebih rendah dari 1938.
Industri menyumbangkan hanya sekitar 10 persen PDB dan dihadapkan pada pengangguran kapasitas yang serius. Di awal dasawarsa itu, defisit anggaran belanja mencapai 50 persen dari pengeluaran total negara, penerimaan ekspor sangat menurun, dan selama 1964-1966 hiperinflasi mengakibatkan lumpuhnya perekonomian. Deskripsi muram ini tentu saja tak meniadakan capaian pembangunan yang telah diakumulasi selama 20 tahun meski dengan hasil kurang impresif.
Arah kebijakan pemerintah Orde Baru sebagian besar dapat diendus dari pernyataan pada konferensi kreditor di Paris (Desember 1966). Pokok-pokok terpentingnya [Muhaimin, 1991]: (i) kekuatan-kekuatan pasar akan memainkan peran vital dalam stabilisasi ekonomi; (ii) perusahaan-perusahaan negara akan beroperasi berdasarkan persaingan dengan sektor swasta.
Pemberian kredit dan alokasi devisa yang berdasarkan preferensi akan dihentikan dan di pihak lain perusahaan-perusahaan itu akan dibebaskan dari keharusan menjual hasil produksinya dengan harga rendah, yang ditetapkan dengan semaunya; (iii) sektor swasta diberi dorongan dengan jalan menghapuskan pembatasan lisensi impor terhadap bahan baku perlengkapan; dan (iv) penanaman modal swasta asing akan dirangsang dengan UU penanaman modal yang baru, yang memberikan keringanan pajak dan insentif lainnya.
Pada durasi Orde Baru, bendera pembangunan ekonomi dikibarkan dengan jahitan ”Trilogi Pembangunan”: stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Diproduksi pedoman pembangunan jangka panjang (GBHN) dan menengah (Repelita). Sepanjang tiga dekade Orde Baru, tiga kelompok elite pemerintah bersaing ”memperdagangkan” konsep pembangunan ekonomi (Zaidi, 1991).
Pertama, kaum teknokrat (dominan pada 1966-1973 dan 1986-1996), yakni para ekonom yang dipercaya Soeharto. Mereka mempromosikan strategi pembangunan pragmatis (pertumbuhan ekonomi) dan penerapan sistem ekonomi pasar.
Kedua, kelompok nasionalis-merkantilis (berpengaruh 1974-1983) yang mendorong gagasan pembangunan industri yang lebih dinamis, kebijakan proteksi industri besar (teknologi tinggi), dan peran BUMN yang eksesif. Ketiga, gerbong patrimonialis (eksis tiap masa), yakni para politisi di sekitar Presiden yang ingin melanggengkan perlindungan atas berbagai kesempatan bisnis bagi pendukung Orde Baru.
Belum lama Orde Baru berkuasa, pada 1974 terjadi Peristiwa Malari (15 Januari 1974) [yang gemanya disuarakan sangat nyaring oleh para mahasiswa dan intelektual], berisi penolakan investasi asing dan menyodorkan formulasi kebijakan baru yang lebih memihak kepentingan rakyat kecil. Investasi dari Jepang dipandang begitu dominan.
Kebijakan yang ditelurkan seusai kejadian ini antara lain: (i) kebijakan investasi asing jadi lebih restriktif. Seluruh investasi asing diharuskan berbentuk joint venture dan penyertaan nasional harus ditingkatkan dalam periode tertentu; (ii) pemerintah meluncurkan sejumlah program kredit bagi pengusaha pribumi yang didanai APBN. Pada 1974 digulirkan Kredit Mini, Kredit Candak Kulak (KCK), juga Inpres Pasar pada 1978; dan (iii) pemerintah menerapkan tindakan protektif terhadap sektor industri kecil, lewat Proyek Bimbingan dan Pengembangan Industri Kecil (BPIK) yang dimulai pada 1975 (Zaidi, 1998).
Arifin Siregar (1987), seorang teknokrat lainnya, melaporkan pada 1982 harga minyak dunia tiba-tiba jatuh (oil shock) sehingga memengaruhi penerimaan dana pembangunan. Saat itu hampir 70 persen penerimaan anggaran pembangunan pemerintah dari penjualan minyak. Akibatnya, permintaan dalam negeri melemah dan pertumbuhan ekonomi turun ke 2,3 persen (1982). Pada 1982/1983 neraca transaksi berjalan defisit 7 miliar dollar AS.
Menyikapi ini pemerintah mengambil kebijakan: (a) devaluasi rupiah 28 persen; (b) pengurangan subsidi pemerintah dan penjadwalan kembali proyek pembangunan; (c) reformasi perpajakan, menyangkut penyederhanaan dan perasionalan pajak pendapatan, penggantian pajak penjualan dan bea impor yang berlaku dewasa ini dengan pajak pertambahan nilai; (d) deregulasi perbankan, yang menghapuskan sistem pagu perkreditan dan pembebasan penentuan suku bunga deposito serta suku bunga pinjaman perbankan.
Secara umum, warisan pembangunan ekonomi telah dirasakan di era ini. Kerangka dan tahapan pembangunan dikelola dengan cukup terstruktur, termasuk sektor utama yang jadi prioritas. Kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan) diperjuangkan, demikian pula pendidikan (sekolah inpres) dan kesehatan (puskesmas dan posyandu).
Sektor pertanian dan industri tumbuh sesuai rencana, sekurangnya sampai Repelita III. Namun, ujungnya terdapat kritik keras atas capaian ekonomi Orde Baru: (i) ketimpangan pendapatan dan penguasaan aset (modal dan tanah) kian lebar; (ii) praktik monopoli dan perburuan rente kian membesar; (iii) pengabaian sektor pertanian (memasuki Repelita IV); (iv) utang luar negeri dan PMA diiringi konsesi kebijakan memberatkan; (v) sentralisasi politik kian menganakkan pemusatan pembangunan; (vi) liberalisasi dijalankan sejak dekade 1980-an, khususnya di sektor keuangan (perbankan); (vii) pengisapan SDA.
Stabilisasi ekonomi
Krisis moneter 1997/1998 jadi pemicu reformasi ekonomi dan politik yang menghidupkan ”Orde Reformasi”. Krisis itu melantakkan ekonomi, rupiah terdepresiasi 83 persen, indeks saham rontok hingga 35 persen, kapitalisasi pasar turun 88 persen, suku bunga meroket 65 persen, pertumbuhan ekonomi minus 13 persen (1998), inflasi mencapai 77 persen (1998), pengangguran melonjak.
Setelah itu, pemerintahan baru merancang reformasi ekonomi pada tiga level. Pertama, di level makro didesain desentralisasi ekonomi dan politik lewat produksi UU Otonomi Daerah. Kedua, di level meso terjadi perangkap liberalisasi perekonomian yang dipicu letter of intent dengan IMF.
Beberapa langkah menghentikan jebakan ini sebenarnya dilakukan. Namun, karena jepitan ekonomi dan politik yang cukup berat, ruang negosiasi jadi sempit. Ketiga, pada level mikro didesakkan larangan praktik monopoli dalam perekonomian (UU No 5/1999 yang melahirkan KPPU).
Pemulihan ekonomi coba dirancang di 1999-2004. Ikhtiar ini tak terlalu mudah karena terjadi ”destabilisasi politik” dengan adanya perubahan pimpinan negara/pemerintahan dalam tempo pendek (tiga kali). Sungguhpun begitu, hasil kerjanya tak mengecewakan.
Habibie berhasil memperkuat nilai tukar rupiah ke kisaran Rp 6.000 per dollar AS. Era Abdurrahman Wahid (1999-2001) pertumbuhan ekonomi jadi positif, utang diturunkan, ketimpangan menyusut, kesejahteraan PNS/TNI dinaikkan. Hubungan dengan luar negeri dilakukan secara intensif, baik dengan ”Blok Barat” maupun ”Blok Timur”.
Berikutnya, Megawati mengeluarkan kebijakan penundaan pembayaran utang, pendapatan per kapita meningkat, nilai tukar kembali menguat jadi Rp 8.500, peningkatan ekspor, dan di masa ini juga dilakukan privatisasi (Indosat).
Medio kedua zaman reformasi disuguhkan peragaan ”stabilisasi ekonomi” (2004-2014) yang dilakukan secara lebih runtut dan sesuai format baku (text-book). Beberapa kebijakan yang diinisiasi di era SBY antara lain: merancang dan membuat RPJP dan RPJMN (2005), disiplin fiskal dikawal saksama, investasi asing difasilitasi dengan baik (khususnya lewat UU Penanaman Modal No 25/2007), privatisasi BUMN cukup eksesif (khususnya 2009 dan 2013), perubahan sumber utang dari negara asing/lembaga multilateral ke utang domestik, sektor non-tradeable mulai merangkak meninggalkan sektor tradeable (awal masa deindustrialisasi), pertumbuhan ekonomi meningkat tetapi ketimpangan juga terus merangkak.
Investasi meningkat menjadi sumber pengurangan kemiskinan dan pengangguran secara bertahap. Legasi ini jadi modal bagi pemerintahan setelahnya.
Proposal pembangunan
Episode ketiga kurun Reformasi adalah Nawacita (2014-2019), yang sebagian diniatkan untuk menegakkan Indonesia dari pinggiran. Pemerintahan Jokowi melakukan perubahan mendasar kebijakan dan prioritas pembangunan demi mewujudkan ini.
Sepanjang lima tahun terakhir peran BUMN meningkat dalam perekonomian (khususnya dalam pembangunan infrastruktur dan pengelolaan SDA), pembangunan masif infrastruktur, inflasi selalu di bawah 4 persen, anggaran belanja untuk bantuan dan proteksi sosial meningkat, alokasi anggaran kesehatan ditingkatkan sesuai mandat UU Kesehatan, pembangunan desa dilakukan secara spartan (via Dana Desa), dan trisula patologi utama ekonomi (kemiskinan, pengangguran, ketimpangan) merosot serempak. Catatan atas rezim ini: utang secara nominal meningkat cepat (tetapi tetap dalam koridor disiplin fiskal) dan PMA dari China menyeruak.
Sampai pada titik ini bisa dirumuskan risalah pokok perjalanan 75 tahun pembangunan ekonomi. Pertama, konsep yang matang tak bisa dieksekusi dengan efektif tanpa topangan stabilitas politik. Kedua, pembangunan ekonomi menghendaki kerangka visi jangka panjang yang diturunkan dalam perencanaan jangka menengah dan pendek.
Ketiga, organisasi dan penahapan pembangunan mesti dikawal dengan disiplin tinggi agar gerak pembangunan makin maju dari periode ke periode. Keempat, krisis ekonomi selalu melantakkan bangunan yang telah dipancang sebelumnya (di samping menimbulkan petaka politik). Kekuatan ekonomi domestik yang bertumpu pada SDA dalam negeri jadi pertaruhan yang mesti sigap dimenangkan.
Kelima, hasrat kemajuan harus diurus berpayung kepada ketaatan terhadap konsensus bangsa (dasar negara dan konstitusi) sehingga bayangan masa depan mudah diimajinasikan sejak pembangunan dirancang dan dijalankan. Sketsa terakhir itu berarti menyerap pedoman dasar negara dan konstitusi sebagai proposal pembangunan.
Perekonomian wajib ”disusun” seperti termaktub dalam konstitusi lewat perencanaan yang efektif, tak dibiarkan didikte oligarki yang berkedok mekanisme pasar. Bangun usaha adalah gerakan ekonomi yang memajukan kerja sama melampaui persaingan. Di situlah makna koperasi mengatasi korporasi.
Negara melakukan penguasaan ekonomi hanya pada sektor strategis (cabang-cabang produksi yang penting bagi negara) dan SDA sebagai instrumen menyantuni kepentingan pemenuhan kehidupan dasar, distribusi kesejahteraan, dan keadaban pelestarian lingkungan.
Pemahaman itulah yang membentuk jati diri pembangunan dengan karakter negara yang aktif, ekonomi kolektif, dan aksi partisipatif (pemerataan kepemilikan faktor produksi, arena ekonomi yang adil, dan warga ikut memutuskan). Proposal pembangunan ini sekaligus proklamasi ekonomi menapaki anak tangga seabad umur Republik.
Ahmad Erani Yustika,
Guru Besar FEB Universitas Brawijaya dan Ekonom Senior Indef.