Pada 16 Agustus 2011 Presiden SBY sudah menyampaikan Nota Keuangan RAPBN 2012 di depan DPR dan DPD RI. Secara umum tidak ada perubahan komposisi yang mengejutkan dari alokasi RAPBN 2012. Kekuatan RAPBN 2012 mencapai Rp 1418,5 triliun, atau meningkat 7,4% (Rp 97,7 triliun) dibandingkan APBN-P 2011. Pendapatan negara dan hibah ditargetkan sebesar Rp 1.292,9 triliun, atau meningkat sebesar 10,5% (123 triliun) ketimbang APBN-P 2011. Dengan begitu, selisih antara pendapatan dan belanja akan ditutup dengan utang (dalam negeri maupun luar negeri), di mana defisit anggaran diperkirakan sebesar 1,5% (menurun ketimbang rencana defisit APBN-P 2011 sebesar 2,1%). Secara lebih detail, APBN 2012 itu akan dialokasikan untuk transfer daerah sebesar Rp 464,4 triliun, belanja kementerian dan lembaga Rp 476,6 triliun, dan belanja non-kementerian dan lembaga Rp 477,5 triliun. Dengan postur RAPBN 2012 yang seperti itu, kira-kira bagaimana dampaknya terhadap perekonomian nasional tahun depan?
Melanggengkan Anggaran Defisit
Hal pertama yang harus dikritisi adalah besarnya defisit yang harus ditutup dengan utang, baik dalam negeri maupun luar negeri. Meskipun persentase defisit sudah turun menjadi 1,5%, namun secara nominal masih sangat besar karena kenaikan ukuran RAPBN 2012. Dengan melihat selisih pendapatan dan belanja, maka pemerintah harus menambah utang lagi sekitar Rp 125,6 triliun untuk menutup defisit anggaran. Jumlah ini tentu sangat besar dan pasti akan memengaruhi beban APBN dalam jangka panjang, utamanya lewat bunga dan cicilan pokok yang harus dibayar. Pada 2011 saja, pemerintah harus menyisihkan sekitar Rp 116 triliun untuk membayar bunga dan cicilan pokok utang sehingga kemampuan APBN untuk membiayai belanja pembangunan menjadi merosot. Seharusnya tahun depan pemerintah berani menurunkan defisit hingga 1% dan tinggal 0,5% pada 2013. Dengan jalan ini pada 2014 nanti pemerintah sudah dapat mendesain anggaran berimbang.
Pemerintah juga masih menganggarkan Rp 123,6 triliun untuk subsidi bahan bakar minyak (dari total subsidi Rp 208,9 triliun). Dengan subsidi sebesar itu berarti pemerintah tahun depan diperkirakan tidak akan menaikkan harga minyak, kecuali ada kenaikan harga minyak mentah yang drastis, misalnya di atas US$ 120 per barrel. Melihat kebutuhan pembangunan yang kian banyak dan problem perekonomian yang makin berat, seperti kemiskinan dan pengangguran, maka saat ini sudah waktunya memikirkan ulang penurunan subsidi BBM secara bertahap sehingga pada 2014 subsidi sudah dapat dilepas (apabila memang peningkatan lifting minyak tidak mungkin dilakukan). Misalnya, mulai 2012 harga premium dinaikkan Rp 500 – Rp 750/liter/tahun sehingga pada 2014 harga premium berkisar Rp 6000 – Rp 7000/liter.
Dengan cara itu subsidi BBM bisa dikurangi sekitar Rp 40 triliun/tahun, yang kemudian dialihkan peruntukannya bagi program peningkatan kesejahteraan kaum miskin, di antaranya dengan membangun sektor pertanian secara serius.
Catatan penting lainnya adalah soal dana trasfer ke daerah yang juga mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Presiden sudah mengingatkan agar daerah makin efisien dan tidak mengalokasikan untuk belanja yang tidak penting, seperti pembelian mobil dinas, perjalanan dinas, dan lain sebagainya. Sungguh pun begitu, pemerintah mulai tahun depan mestinya melakukan kontrol yang lebih ketat terhadap alokasi anggaran daerah, khususnya terhadap alokasi yang sensitif terhadap korupsi, seperti bantuan sosial dan pembangunan infrastruktur. Pertama, pemerintah perlu membuat aturan teknis bantuan/pengeluaran sosial apa saja yang diperbolehkan, sehingga tidak ada potensi penyimpangan dalam pelaksanaannya. Kedua, khusus alokasi untuk infrastruktur, riset yang dilakukan Bank Dunia (2011) harus dijadikan rujukan karena diperkirakan pembangunan infrastruktur (jalan) dikorupsi sekitar 40% (melalui praktik mark-up).