Pemerintah dan DPR akhirnya menyepakati RAPBN 2012 setelah sempat dicemaskan tertunda gara-gara pemanggilan KPK kepada pimpinan Banggar (Badan Anggaran) DPR. Dengan persetujuan ini, berarti jadwal pengesahan RAPBN tidak molor dan siap dijalankan seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun, melihat postur RAPBN 2012 ada keganjilan soal komposisi anggaran di dalamnya yang berkenaan dengan adaptasi krisis ekonomi yang sekarang berjalan. Diperkirakan krisis ekonomi sendiri akan bertahan sekurangnya sampai akhir 2012, sehingga desain anggaran perlu betul-betul menyasar aspek tersebut. Pemerintah dan DPR sebenarya sangat paham dengan soal ini, tapi kesadaran itu sayangnya tidak terpantul dalam RAPBN 2012. Kekeliruan ini barang kali tidak akan menimbulkan masalah yang serius, namun pasti mengganggu upaya mitigasi yang ideal dalam penanganan krisis ekonomi.
Postur RAPBN 2012
Pada pembahasan beberapa bulan sebelumnya, pemerintah dan DPR sebenarnya telah menyepakati beberapa asumsi makroekonomi RAPBN 2012. Beberapa asumsi makroekonomi yang sudah disepakati itu adalah: pertumbuhan ekonomi 6,6-7%; inflasi 3,5-5,5%; kurs (rupiah/US$) 9000-9300; SBI 3 bulan 5,5-7,5%; harga minyak mentah US$ 75-95; dan produksi minyak 950-970 ribu barrel per hari. Namun, dalam RAPBN 2012 yang final, sebagian asumsi-asumsi tersebut berubah. Pertumbuhan ekonomi berubah menjadi 6,7%; inflasi 5,3%; kurs (rupiah/US$) 8800; SPN 3 bulan 6,5%; harga minyak mentah US$ 90; dan produksi minyak 950-ribu barrel per hari. Perubahan ini sebagian telah menunjukkan ke arah yang lebih realistis, tetapi beberapa asumsi lainnya belum sesuai dengan situasi pada tahun depan. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR mesti memberi ruang perubahan pada pembahasan APBN-P berikutnya.
Pertama, pemerintah dan DPR terlalu berani memasang target pertumbuhan ekonomi 6,7% dalam situasi perekonomian global yang lesu seperti sekarang. Pada tahun depan, pemerintah hanya bisa mengandalkan konsumsi domestik dan pengeluaran pemerintah untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi, sedangkan pasar ekspor dan investasi diperkirakan akan tumbuh datar (jika tidak turun). Dalam situasi ini hampir tidak mungkin pertumbuhan ekonomi dikerek setinggi itu. Bahkan, jika tahun depan perekonomian bisa tumbuh 6% saja sudah prestasi yang bagus. Kedua, pemerintah sudah cukup realistis dengan memasang inflasi 5,3%, ketimbang asumsi 3,5-5,5% seperti kesepakatan sebelumnya. Secara teoritis inflasi 2012 memang akan tertekan rendah akibat krisis ekonomi. Namun, rencana kenaikan tarif dasar listrik dan gangguan harga pangan harus tetap diperhitungkan sebagai faktor pendongkrak inflasi.
Ketiga, nilai tukar rupiah yang dipatok Rp 8800/dolar AS juga cukup rasional. Perekonomian AS, Eropa, dan negara maju lainnya belum akan pulih tahun depan sehingga turut menekan mata uangnya. Jika tidak ada faktor non-ekonomi yang berperan, mata uang dolar AS belum akan terlalu kuat sampai akhir 2012. Oleh karena itu, patokan nilai tukar Rp 8800 kemungkinan akan bisa dicapai. Walaupun begitu, pemerintah dan BI perlu melakukan koordinasi yang intensif agar pasar sektor keuangan, khususnya SUN dan SBI, dapat dikontrol supaya fluktuasi nilai tukar tidak terjadi. Keempat, harga minyak kemungkinan tidak akan setinggi itu, US$ 90/barrel. Penyebabnya adalah kelesuan ekonomi di negara maju sehingga permintaan minyak tidak akan terlalu tinggi. Di sini ada ruang untuk menurunkan harga minyak ke level US$ 80/barrel, sehingga nantinya akan memengaruhi komposisi penerimaan minyak dan subsidi BBM.