Pemerintah dan DPR akhirnya menyepakati beberapa asumsi makroekonomi penting dalam RAPBN-P 2013 (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara – Perubahan). Proses kesepakatan tersebut berlangsung alot, karena di luar soal asumsi makroekonomi, juga terkait dengan rencana pemerintah menaikkan harga minyak. Sampai saat ini masih ada beberapa fraksi yang menolak kenaikan harga minyak itu, misalnya PDIP dan PKS (juga Hanura), dengan beragam argumen. Di luar asumsi makroekonomi, postur pendapatan dan belanja juga mengalami perubahan. Misalnya, penerimaan dalam negeri berkurang dari Rp 1.529,7 triliun menjadi Rp 1.488,3 triliun (berkurang Rp 41,4 triliun). Penerimaan ini berkurang sebagian besar disebabkan oleh penurunan penerimaan pajak (Rp 55,1 triliun) dan bea dan cukai (Rp 29,4 triliun). Untungnya, penurunan itu sebagian masih bisa ditutup dari kenaikan penerimaan negara bukan pajak sekitar Rp 12,3 triliun.
Asumsi Makroekonomi
Asumsi makroekonomi merupakan pondasi penyusunan anggaran negara karena di dalamnya berpengaruh terhadap penerimaan yang bakal diperoleh, cara belanja dialokasikan, dan ke arah mana ekonomi sedang berjalan. Dalam asumsi makroekonomi juga termaktub prioritas yang hendak diutamakan oleh pemerintah, khususnya persoalan ekonomi yang hendak diselesaikan. RAPBN-P sekurangnya telah menyepakati 7 poin asumsi makroekonomi: (i) pertumbuhan ekonomi dipatok 6,3%, turun dari target semula yang sebesar 6,8%; (ii) inflasi naik menjadi 7,2% akibat rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM pada pertengahan Juni ini (jika tidak ada perubahan lagi); (iii) nilai tukar ditargetkan Rp 9.600/US$; (iv) International Crude Price (ICP) sebesar US$ 108/barel; (v) suku bunga SPN (Surat Perbendaharaan Negara) 3 bulan 5%; (vi) lifting minyak sebanyak 840 ribu barel/hari; dan (vii) lifting gas bumi 1,24 juta barel setara minyak per hari.
Menyangkut asumsi makroekonomi itu terdapat beberapa hal krusial yang perlu dicermati. Pertama, asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3% itu jelas merupakan kesepakatan politis yang kurang didasarkan kepada rasionalitas kalkulasi ekonomi. Pada Triwulan – I 2013 pertumbuhan ekonomi hanya 6,02%. Lazimnya, jika pertumbuhan ekonomi pada awal tahun sebesar itu, maka pertumbuhan pada triwulan berikutnya paling tinggi hanya ada pada kisaran 6,2-6,3%. Jika pola itu terjadi pada masa berikutnya, maka pertumbuhan ekonomi sepanjang 2013 hanya akan sekitar Rp 6,1-6,2%. Itu pun hanya mungkin dicapai bila pemerintah tanpa menaikkan harga minyak. Masalahnya, pemerintah menyusun pertumbuhan ekonomi itu dengan asumsi kenaikan harga minyak. Dalam situasi seperti ini, pertumbuhan ekonomi potensinya akan lebih rendah dari 6%, tergantung dari persentase kenaikan harga minyak. Jadi, asumsi pertumbuhan ekonomi itu pasti akan meleset lagi dan menghancurkan kredibilitas pemerintah.
Kedua, asumsi inflasi juga berpotensi tidak tercapai karena tekanan kenaikan harga pada tahun ini cukup tinggi, meskipun tanpa kenaikan harga minyak. Pada Januari– Maret 2013 dihajar inflasi yang tinggi akibat kenaikan beberapa komoditas pertanian, seperti daging, cabai, bawang merah, dan lain-lain sehingga kemungkinan inflasi sampai akhir tahun berada pada kisaran 5,5%. Jika ini ditambah dengan kenaikan harga BBM, maka kemungkinan inflasi akan bertambah sekitar 3%, sehingga inflasi menjadi 8,5%. Tidak mudah bagi pemerintah mengendalikan inflasi karena masih buruknya infrastruktur, pasar distribusi yang oligopolistik (bahkan terindikasi kartel), dan eratnya kaitan BBM dengan banyak sektor lainnya (belum lagi faktor spekulasi). Intinya, jika pemerintah gagal dalam meramalkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi, maka akan berakibat lebih fatal: proyeksi terhadap angka kemiskinan dan pengangguran (dan juga variabel sosio-ekonomi lainnya) juga akan salah dan ini amat berbahaya.
Motif BLSM
Di luar asumsi makroekonomi, hal yang penting lainnya adalah soal bentuk kompensasi yang diberikan untuk kelompok miskin. Pemerintah kembali mendesain program semacam BLT dengan nama baru, yakni BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat). Rencananya, kaum miskin diberi uang tunai tiap bulan selama 4-5 bulan untuk menahan dampak kenaikan harga (inflasi). Secara teknis langkah ini sah-sah saja dikerjakan untuk menghindarkan kelompok tersebut dari kemerosotan daya beli, namun kehidupan mereka akan kembali sulit setelah bantuan dihentikan. Di luar itu, para ahli sosiologi menganggap program seperti itu menempatkan mereka dalam kedudukan yang “tergantung†sehingga tidak menambah penguatan pemberdayaan dalam jangka panjang. Secara ideal pemerintah mestinya menyusun program yang lebih memiliki dimensi menengah, seperti penciptaan lapangan kerja, agar kehidupan mereka bisa ditopang dalam jangka waktu yang lebih lama.
Terakhir, pemerintah nampaknya tidak punya kalkulasi yang matang untuk memitigasi dampak dari kenaikan BBM tersebut. Seperti yang disampaikan di muka, kenaikan BBM itu akan memicu inflasi dan menggoyahkan sendi-sendi perekonomian. Investasi merosot, perusahaan yang berorientasi ekspor akan jatuh, pelaku UMKM yang menyerap banyak tenaga kerja mudah terkoyak, dan lain-lain. Seyogyanya terdapat program-program yang fokus kepada pelaku ekonomi tersebut agar tetap terjaga kehidupannya. Stimulus fiskal dan non-fiskal mesti disusun untuk memastikan supaya sektor dan pelaku ekonomi itu tetap bertahan. Tapi, nampaknya itu semua tidak terekam dalam RAPBN-P, hanya pembahasan soal BLSM saja yang menyembul ke lapangan. Ini tentu saja makin menguatkan dugaan bahwa kebijakan kenaikan BBM ini dimanfaatkan untuk kepentingan pemilu 2014 (lewat BLSM). Tentu saja ini menyedihkan karena kenaikan harga BBM selalu saja ditelikung oleh syahwat politik, tak pernah menjadi pembelajaran untuk mewujudkan kedaulatan energi di masa depan.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef