Semula krisis ekonomi yang terjadi di negara-negara maju, seperti AS, Jepang, dan sebagian negara Eropa (Yunani, Spanyol, Italia) dianggap tidak akan mengulang masa buram ekonomi pada medio 2008 lalu. Setidaknya dua sebab menjadi penyangga anggapan tersebut. Pertama, krisis 2008 lalu bersumber dari sektor swasta, khusususnya sektor keuangan, sehingga interaksi di antara korporasi privat cepat menyebar akibat pertautan yang erat di antara perusahaan-perusahaan yang ada. Kedua, krisis saat ini bersumber dari soal ketidakhatian-hatian negara mengelola utang publik sehingga mengganggu kredibilitas dan ekspektasi ekonomi. Sampai taraf tertentu, kredibilitas dan ekspektasi ekonomi itu bisa ditangani lebih mudah seandainya terdapat komitmen dan kebijakan yang jelas dari pemerintah untuk mengelola utang tersebut. Dengan argumentasi tersebut seharusnya membuat penanganan krisis kali ini menjadi lebih sederhana.       Â
Ekspektasi Negatif
Dalam perkembangannya, ternyata dugaan itu banyak melesetnya, meskipun sebagian ada benarnya. Faktor yang tidak diduga dan menjadi sebab meyakinkan krisis ini menjadi lebih rumit ditangani bermula dari penurunan rating utang AS boleh lembaga pemeringkat S&P. Selama ini lembaga rating merupakan “nabi†bagi pelaku ekonomi di pasar (keuangan) sehingga begitu peringkat utang turun, ekspektasi pelaku ekonomi kakap terhadap ekonomi AS langsung merosot. Akibatnya, kinerja lembaga keuangan (pasar saham) dunia langsung anjlok, meskipun untuk sementara waktu dapat dikendalikan. Seterusnya, upaya-upaya serius yang dilakukan The Fed dan pemerintahan Obama sebagian juga direspons negatif, di antaranya kebijakan quantitavive easing (QE) dan anggaran defisit pemerintah AS yang luar biasa besar. Dua kebijakan itu malah menimbulkan persepsi yang ambigu di pasar.
Kebijakan QE secara teoritis dibenarkan pada saat krisis/resesi ekonomi, karena gelontoran uang (melalui penjualan surat berharga maupun peningkatan jumlah uang beredar) bisa memicu pergerakan kegiatan ekonomi, plus kebijakan suku bunga rendah. Asumsinya, dengan jumlah uang beredar yang bertambah dan penurunan suku bunga, maka terdapat kesempatan bagi korporasi untuk melakukan ekspansi usaha dan warga negara meningkat daya belinya, sehingga ekonomi akan bergulir kembali (melalui pertemuan antara permintaan dan penawaran). Sayangnya, kebijakan itu di lapangan tidak bekerja dengan baik. Faktanya, investor tidak lantas mau melakukan kegiatan investasi atau ekspansi karena mereka justru mengalihkan sumber daya ekonominya ke negara lain yang dianggap aman. Ini yang menjadi sebab mengapa capital inflow terus mengalir ke negara-negara berkembang.
Lebih dari itu, pelaku ekonomi di pasar juga tidak percaya terhadap komitmen pemerintah negara maju, khususnya AS, untuk mengurangi utangnya. Pemerintah AS, misalnya, mengalami dilema yang besar. Jika tidak melakukan desain anggaran defisit yang besar (dengan cara melakukan utang), maka perekonomian tidak akan cepatpulih, sesuai dengan resep Keynes. Namun, konsekuensinya, kebijakan ini memperbesar lagi utang pemerintah sehingga rasionya terhadap PDB menjadi membengkak (yang sekarang sudah sekitar 100%). Sebaliknya, jika tidak membuat anggaran defisit, perekonomian tidak bergerak maju karena sektor swasta tidak dapat diharapkan. Prospek ekonomi yang serba gelap inilah yang ditangkap oleh para pelaku ekonomi di sana sehingga menimbulkan ekspektasi yang tidak menguntungkan terhadap perekonomian, bahkan sampai pada level global.