Sekarang, hampir semua orang mengamini bahwa salah satu sumber terpenting krisis ekonomi adalah liberalisasi sektor keuangan yang tidak diimbangi dengan kelembagaan (aturan main) ekonomi yang lengkap. Liberalisasi, yang bermakna menyerahkan kedaulatan kegiatan ekonomi kepada pasar, dianggap menyimpan cacat bawaan berupa pemberian fasilitas kepada penguasa modal untuk mengeruk laba dengan memanfaatkan kelemahan pasar. Di sini, salah satu keterbatasan pasar itu berwujud dalam informasi asimetris antarpelaku ekonomi sehingga hanya para pemilik akses yang akan memeroleh profit. Pemilik akses itu tidak lain adalah penguasa modal. Oleh karena itu, liberalisasi pasar keuangan (financial sector) harus dibatasi untuk mencegah manipulasi dari pemegang modal. Faktor inilah, menurut Stiglitz, yang menjadikan China dan India tidak terlalu parah terimbas krisis ekonomi karena kontrol mereka yang cukup ketat terhadap pasar sektor keuangan.
Pasar Saham dan Obligasi
Sejarah liberalisasi sektor keuangan di Indonesia sebetulnya bisa dilacak jauh ke belakang, setidaknya sejak tahun 1983 ketika pemerintah mengeluarkan deregulasi perbankan (Pakjun 1983). Deregulasi tersebut dilanjutkan secara lebih progresif pada tahun 1988 (Pakto 1988). Intinya, deregulasi perbankan itu memberi ruang yang lebih besar bagi bank domestik dan asing untuk membuka bank maupun cabang baru di Indonesia. Setelah itu, liberalisasi bergerak ke pasar saham dan obligasi sehingga dalam 15 tahun terakhir ini terdapat kemajuan yang pesat dalam pasar keuangan tersebut. Pasar saham tahun 1990 nilainya baru 4,4%, tapi tahun 2004 sudah melesat menjadi 24,9% dari GDP. Demikian halnya dengan pasar obligasi, tahun 1990 baru 0,4% menjadi 24,1% dari GDP (2004) [Finance and Development, 2006]. Walaupun dominasi deposito bank masih kuat dalam pasar, tetapi perkembangan itu menyiratkan percepatan pasar saham dan obligasi dalam menggerakkan kegiatan ekonomi.
Di sisi lain, percepatan pasar saham dan obligasi itu tidak diiringi dengan laju penanaman modal asing langsung (foreign direct investment) yang memiliki efek terhadap penambahan output dan penyerapan tenaga kerja. Setelah krisis ekonomi, perekonomian Indonesia sudah pulih bila dilihat dari indikator pertumbuhan ekonomi. Tapi, pertumbuhan ekonomi tersebut hanya ditopang oleh pergerakan sektor finansial (antara lain pertumbuhan pasar saham dan obligasi). Akibatnya, meskipun pertumbuhan ekonomi berada dalam kisaran 5-6%/tahun, namun relatif tidak memiliki implikasi terhadap penyerapan tenaga kerja. Hal ini bisa terjadi karena sektor riil nyaris tidak bergerak, baik yang berasal dari domestik maupun asing. Hasilnya, pengangguran dan kemiskinan tetap menyeruak di tengah pencapaian pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Deskripsi itu menggambarkan dengan baik terjadinya selisih jalan antara sektor finansial dan sektor riil.
Tapi, itu hanya sebagian kecil masalah yang ditinggalkan dari pergerakan liberalisasi sektor finansial. Perkembangan yang lebih mengkhawatirkan dari liberalisasi sektor finansial adalah munculnya tabiat spekulasi yang tidak bisa dibendung karena kurangnya restriksi terhadap arus keluar masuk uang (capital inflow-outflow). Modal ini silih berganti keluar masuk (di antaranya lewat pasar saham dan obligasi) sekadar untuk mencari tempat yang paling menguntungkan. Dengan karakter ini, arus modal itu jarang yang bertahan lama di suatu tempat. Inilah yang dikenal dengan istilah ‘hot money’, sehingga ketika terdapat peluang profit di tempat yang berbeda maka segera dialihkan ke tempat tersebut. Bagi negara yang pertumbuhan ekonominya sangat ditopang dari keberadaan hot money, tentu menjadi masalah besar jika sewaktu-waktu secara serentak uang itu dibawa kabur. Bisa dibayangkan cadangan devisa negara akan jebol dan kurs mata uang domestik kembali bergejolak.
Menjinakkan Pasar
Menyikapi fenomena itu, seluruh negara (berkembang) wajib membentengi sektor keuangannya dengan instrumen restriksi yang memadai. Di sini, yang pertama-tama harus dipahami, pasar (termasuk pasar keuangan) tidaklah bersifat netral dan paling efisien dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi. Pasar selalu mengandaikan adanya kekuatan salah satu pihak (biasanya para pemodal kakap) yang memanfaatkan informasi asimetris untuk mereguk keuntungan. Pandangan inilah yang mengantarkan ekonom kelembagaan berkeyakinan bahwa pasar tidak dapat dilihat sebagai mekanisme yang netral untuk melakukan alokasi yang efisien dan kesederajatan distribusi. Dalam hal ini pasar dianggap sebagai refleksi dari eksistensi kekuasaan, sehingga pasar tidak hanya mengontrol tetapi juga dikontrol. Jadi, instrumen restriksi itu tidak ditujukan untuk menggantikan peran pasar, melainkan untuk memastikan bahwa mekanisme pasar tidak dikontrol oleh segelintir pihak yang berkuasa (pemodal).
Seterusnya, sejalan dengan pandangan Rodrik dan Subramanian (2003), strategi kelembagaan yang bisa dilakukan untuk menjinakkan pasar dapat dipilah dalam tiga klasifikasi berikut: (i) meregulasi pasar (market regulating), khususnya untuk mengatasi persoalan-persoalan ekternalitas (externalities), skala ekonomi (economies of scale), dan informasi yang tidak sempurna (imperfect information). Contoh dari regulasi pasar termasuk peraturan di bidang telekomunikasi, transportasi, dan jasa keuangan; (ii) menstabilisasi pasar (market stabilizing), yang bertujuan untuk menurunkan inflasi, minimalisasi volatilitas makro ekonomi, dan mencegah krisis keuangan. Contoh dari stabilisasi pasar ini adalah pemapanan bank sentral, rezim nilai tukar, serta aturan fiskal dan anggaran; dan (iii) melegitimasi pasar (market legitimizing), yakni kebijakan untuk menopang kegagalan pasar, seperti asuransi dan perlindungan sosial, redistribusi, dan manajemen konflik.
Kompas, 2 Oktober 2007
*Ahmad Erani Yustika, Ketua Program Studi Magister
Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan FE Unibraw