Pada hari ini pemerintah mengajukan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013 (RAPBN 2013). Selama ini kami (Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejahteraan) menganggap terdapat banyak persoalan mendasar dalam penyusunan APBN sehingga merasa perlu menghadirkan APBN Alternatif sebagai instrumen pembanding. Sekurangnya terdapat enam masalah dari APBN yang selama ini disusun pemerintah: (i) APBN selalu didesain defisit sehingga memberi kesempatan adanya inefisiensi dan praktik koruptif: (ii) desain APBN hanya dipahami sebagai proses teknokratis, bukan sebagai instrumen ideologis untuk mendekatkan tujuan konstitusi; (iii) asumsi ekonomi makro yang disusun hanya mendasarkan kepada tujuan sempit; (iv) alokasi anggaran tidak mencerminkan permasalahan pembangunan nasional; (v) amanah UU tidak semuanya dijalankan dengan baik, misalnya anggaran kesehatan; dan (vi) penerimaan negara dihitung sangat rendah.
Kerangka Ekonomi Makro
Dalam penyusunan kerangka ekonomi makro, APBN Alternatif tetap menganggap pertumbuhan ekonomi penting, tapi bukanlah segala-segalanya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tak perlu diberi tepuk tangan jika malah memunculkan kemiskinan, ketimpangan pendapatan, pengangguran, dan eksploitasi sumber daya alam. Oleh karena itu, asumsi pertumbuhan ekonomi pada APBN Alternatif 2013 tidak dirancang setinggi pemerintah (6,8-7,2%). Selanjutnya, terkait dengan kualitas pertumbuhan ekonomi, perlu ditambahkan asumsi ketimpangan pendapatan (yang diukur dengan Gini Rasio) dan proporsi tenaga kerja/TK yang bekerja di sektor informal (juga tax ratio) dalam APBN. Asumsi ini dimasukkan dalam APBN Alternatif untuk memastikan agar pertumbuhan ekonomi benar-benar jatuh ke sebagian besar masyarakat. Gini Rasio pada 2011 sangat tinggi (0,41) dan proporsi tenaga kerja yang bekerja di sektor informal pada Februari 2012 sebesar 62,71% (BPS, 2012).
Tabel: Asumsi APBN Alternatif dan Versi Pemerintah (2013)
No | Uraian | APBN Alternatif | Pemerintah |
1 | Pertumbuhan ekonomi (%) | 6,56 | 6,8-7,2 |
2 | Ketimpangan pendapatan (Gini Rasio) | 0,35 | – |
3 | Kemiskinan (%)* | 20,5 | 9,5-10,5 |
4 | Pengangguran (%)* | 11,0 | 5,8-6,1 |
5 | Pekerja sektor informal (% total TK) | 55 | – |
6 | Inflasi (%) | 5,5 | 4,5-5,5 |
7 | Nilai tukar (Rp/US$) | 9.250 | 8.700 – 9.300 |
8 | Suku bunga SPN (%, 3 bulan) | 5,5 | 4,5-5,5 |
9 | Harga minyak (US$) | 115 | 100 – 120 |
10 | Lifting minyak (ribu barrel per hari) | 910 | 910-940 |
11 | Lifting gas (mboepd) | 1290 | 1290 |
12 | Tax ratio (%) | 14 | – |
Catatan: *penentuan angka kemiskinan dan pengangguran menggunakan dasar ukuran yang berbeda antara pemerintah dan versi APBN Alternatif
Asumsi berikutnya adalah kemiskinan dan pengangguran. Kami berpandangan definisi penduduk miskin yang dinilai setara Rp 248.704 ribu/bulan jauh dari spirit nilai-nilai kemanusiaan. Dengan dasar itu, kami menggunakan data BPS (2012) dengan menggabungkan penduduk sangat miskin, miskin, dan hampir miskin sebesar 55,52 juta (22,8%), dengan pendapatan minimal Rp 298.448/bulan/kapita (hampir Rp 10.000/orang/hari). Patokan ini pun sebetulnya masih tergolong sangat rendah. Pada 2013 ditargetkan kemiskinan turun menjadi 20,5%. Sementara itu, pengangguran terbuka tidak menggunakan ukuran bekerja satu jam per minggu, tapi kurang dari 15 jam per minggu. Pertimbangannya, mereka yang bekerja kurang dari 15 jam per minggu pendapatannya masih jauh dari laik. Pada Februari 2012 jumlah pengangguran terbuka dan yang bekerja antara 1-14 jam per minggu jumlahnya 12,5%, yang kami tergetkan pada 2013 turun menjadi 11,0% (lihat tabel).
Politik Fiskal
Dalam penyusunan APBN Alternatif ini, penting disampaikan politik fiskal yang menjadi dasar alokasi anggaran: (a) sebagian besar alokasi APBN tidak boleh dipakai untuk kepentingan birokrasi; (b) alokasi sektoral diarahkan untuk mengatasi problem kemiskinan, pengangguran, ketimpangan pendapatan: (c) bunga obligasi rekap tidak sepatutnya dibebankan lagi kepada APBN (pada 2013 dianggarkan bunga obligasi rekap sekitar Rp 8,52 triliun); (d) beban pembayaran cicilan pokok dan bunga utang perlu direnegosiasikan agar beban fiskal tidak terlalu berat. Jika pemerintah tidak memilih cara ini, maka opsi lainnya adalah menaikkan tax ratio menjadi 15% agar tidak terjadi defisit anggaran (dalam APBN Alternatif tax ratio ditetapkan sebesar 14%); dan (e) pemerintah harus memiliki komitmen menjalankan UU, sehingga alokasi kesehatan besarannya mesti menyesuaikan dengan amanah UU tersebut (5%).
Dengan pertimbangan itu, maka dalam penyusunan alokasi anggaran APBN Alternatif ini sektor pertanian (dalam pengertian luas), perindustrian, UMKM, dan ketenagakerjaan mendapatkan prioritas dalam alokasi anggaran. Anggaran sektor pertanian nantinya antatra lain dipakai untuk: (1) membuka lahan sawah 500.000 – 1 juta hektar lahan dan perbaikan infrastruktur pertanian, seperti irigasi, jalan desa, jembatan, waduk, bendungan, dan lain sebagainya. Berikutnya, anggaran untuk sektor perindustrian diharapkan dipakai untuk mengembangkan industri pengolahan yang memanfaatkan bahan baku domestik, seperti perkebunan dan perikanan. Di luar itu, industri tekstil, alas kaki, dan kulit yang banyak menyerap TK perlu direvitalisasi sehingga menjadi pemain besar dunia. Satu lagi, belanja modal juga diarahkan untuk pembangunan infrastruktur terkait dengan prioritas tersebut, termasuk pemihakan terhadap wilayah Indonesia bagian timur (75% belanja modal diarahkan ke sana).
Prinsip-prinsip inilah yang menjadi napas dari APBN Alternatif. Sebagai konsekuensi dari pemihakan terhadap sektor pertanian dan perindustrian, maka pertumbuhan sektor-sektor tersebut jauh lebih tinggi ketimbang dari yang didesain pemerintah. Sekadar contoh, pada 2013 pemerintah memproyeksikan pertumbuhan sektor pertanian sebesar 3,7-4,1, namun dalam APBN Alternatif sektor pertanian diproyeksikan tumbuh 4,5%. Demikian pula di sektor industri, pemerintah menargetkan pertumbuhan 2013 sebesar 6,5-6,9%, sementara dalam APBN Alternatif pertumbuhannya sebesar 7,2%. Sebaliknya, sektor pertambangan dan penggalian pertumbuhan lebih rendah dari pemerintah (2,5%) dengan harapan eksploitasi SDA bisa dikurangi. Di luar itu, APBN Alternatif mematok pertumbuhan sektor non-tradeable (telekomunikasi, perdagangan, keuangan, jasa-jasa, perhotelan, dan lain-lain) lebih rendah dari rancangan pemerintah.
Misi Kesejahteraan
Akhirnya, secara keseluruhan format APBN Alternatif ini akan mengusung besaran APBN Rp 1.650 triliun. Dengan asumsi PDB 2012 sebesar Rp 8.600 triliun dan tax ratio 14%, maka penerimaan pajak miminal Rp 1200. Jika ditambahkan dengan penerimaan PNBP sebesar Rp 450 triliun, maka total pendapatan APBN mencapai Rp 1650. APBN itu dialokasikan untuk belanja pemerintah pusat Rp 1.100 triliun dan dana transfer Rp 550 triliun, dengan asumsi seluruh dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah menjadi transfer daerah dan alokasi DAU dilaksanakan sesuai Undang-undang. Dari jumlah tersebut akan digunakan untuk subsidi (energi dan non-energi) sebesar Rp 250 triliun, sehingga masih tersisa Rp 850 triliun yang akan dialokasikan untuk belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, belanja hibah, pembayaran utang, belanja K/L, dan lain-lain.
Jika postur dan alokasi APBN 2013 disusun dengan prinsip-prinsip tersebut, maka anggaran menunjukkan pemihakan yang kuat terhadap amanah konstitusi (pemberian lapangan kerja yang layak bagi kemanusiaan), menjalankan perintah UU (pendidikan dan kesehatan), meningkatkan kualitas pembangunan (asumsi standar kemiskinan dan pengangguran dinaikkan, memasukkan gini rasio, dan proporsi pekerja informal), bersemangat kepada kemandirian dan kedaulatan anggaran (tidak menambah utang), fokus kepada pelayanan publik (mengurangi porsi anggaran birokrasi), asas penghematan anggaran (anggaran berimbang), menyantuni keadilan ekonomi (orientasi kepada sektor pertanian, industri pengolahan, subsidi nonenergi yang diperbesar, penghapusan bunga obligasi rekap, dan lain-lain), dan pencegahan kebocoran penerimaan negara (meningkatkan tax ratio). Dengan paradigma baru inilah APBN menjadi lebih dekat kepada misi kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial!
*Ahmad Erani Yustika, Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejahteraan (Seknas FITRA, INDEF, KAU, IHCS, Perkumpulan Prakarsa, P3M, ASPPUK, YAPPIKA, TURC, KIARA, SNI, dan KERLIP)