Kebijakan fiskal dan moneter merupakan jangkar terpenting dalam menjaga stabilitas ekonomi dan memacu pertumbuhan ekonomi. Kebijakan fiskal fokus kepada alokasi sumber daya ekonomi yang termaktub dalam anggaran negara (APBN), sedangkan kebijakan moneter berjibaku memegaruhi kegiatan ekonomi melalui instrumen uang beredar, inflasi, suku bunga, neraca pembayaran, nilai tukar, dan yang lain. Di sini berlaku kecenderungan umum yang diyakni, bahwa kebijakan fiskal memiliki peran yang terbatas karena anggaran negara jumlahnya amat kecil dibandingkan kebutuhan ekonomi secara keseluruhan. Oleh karena itu, kebijakan moneter diharapkan menjadi tumpuan yang kuat untuk mengisi keterbatasan kebijakan fiskal tersebut. Lebih-lebih dalam situasi ekonomi yang tidak stabil (baca: krisis), peran kebijakan moneter itu menjadi kian strategis untuk memulihkan perekonomian. Dalam situasi inilah kita kembali harus mencari sosok pengganti Boediono sebagai Gubernur Bank Indonesia.
Tindakan Afirmasi
Tidak bisa dimungkiri bahwa persoalan ekonomi dalam 10 tahun terakhir ini sangat kompleks. Dalam beberapa indikator perekonomian nasional memang mulai menunjukkan arah yang baik, seperti pertumbuhan ekonomi dan pengendalian inflasi. Namun, di balik indikator-indikator tersebut masih menyembul banyak patologi ekonomi yang belum ditangani secara baik, salah satunya lambannya pergerakan sektor riil sebagai pemacu kegiatan ekonomi. Dengan begitu, harus disadari saat ini begitu banyak pekerjaan rumah di sektor moneter yang harus diselesaikan sebagai solusi menggerakkan sektor riil. Di sini setidaknya terdapat tiga tugas penting yang harus diemban oleh BI: (i) mencari sumber selisih jalan (decoupling) antara sektor finansial dan sektor riil; (ii) mendesain kelembagaan yang membuat sektor perbankan ramah terhadap pelaku usaha, khususnya UMKM; dan (iii) memanfaatkan independensi BI sebagai instrumen melakukan tindakan pemihakan (affirmative action).
Menyangkut keterpisahan antara sektor finansial dan sektor riil memang telah banyak analisis yang disampaikan, namun sesungguhnya intinya adalah terjadinya pergeseran misi sektor perbankan dari semula sebagai lembaga penopang sektor riil (institusi intermediasi) menjadi organisasi pencari rente dan spekulasi. Dugaan bahwa sektor riil lesu sehingga perbankan memiliki risiko yang tinggi untuk menyalurkan pinjaman dalam banyak kasus tidak terbukti kebenarannya. Kenyataannya, perbankan lebih banyak tidak mau keluar “keringat†untuk mengidentifikasi sektor-sektor yang prospektif sekaligus melakukan monitoring sehingga layak diberikan kredit. Sektor perbankan justru menempatkan sebagian DPK (dana pihak ketiga) ke dalam instrumen SBI (Sertifikat Bank Indonesia) atau jual beli valuta asing (valas). Perilaku itu membuat fungsi perbankan tidak lebih sebagai “makelar†atau “money changer†yang jelas tidak berdampak terhadap pergerakan sektor riil.
Selanjutnya, sekitar 99,9% jenis usaha di Indonesia adalah sektor UMKM, namun hingga kini mereka hanya menyerap dana sekitar 55% dari total kredit perbankan. Data lainnya, UMKM yang memiliki akses terhadap perbankan cuma 25%, sehingga sebagian besar lainnya (75%) tidak bankable. Soal ini tentu tidak bisa diserahkan begitu saja kepada dunia perbankan, tapi secara sistematis BI harus mendesain aturan main yang membuat sektor perbankan ramah terhadap UMKM. Jika ini terjadi, maka secara otomatis sektor riil akan jalan. Kemudian, independensi BI bukan hanya dimaksudkan agar setiap kebijakan yang diputuskan tidak didikte pemerintah, tetapi juga memanfaatkan independensi tersebut bagi pemihakan pelaku ekonomi yang tidak disantuni oleh kebijakan pemerintah. Di luar soal UMKM, pemerintah selama ini abai dengan kepentingan sektor pertanian sehingga terbuka bagi BI melakukan pemihakan terhadap sektor itu, bila perlu dengan cara menginisiasi pembuatan bank pertanian.
Katak Dalam Tempurung
Narasi di atas menunjukkan kebutuhan terhadap figur Gubernur BI sekarang bukan seperti yang diopinikan selama ini, di mana figurnya harus cakap di sektor moneter. Tentu saja opini itu absah, tetapi jika hanya kapabel dalam bidang moneter, maka dia cuma akan berjibaku dengan urusan yang sempit, seperti mengendalikan inflasi, nilai tukar, jumlah uang beradar, dan suku bunga. Dalam situasi saat ini yang diperlukan adalah figur Gubernur BI yang memiliki kecakapan makroekonomi sehingga dia mengenali dengan baik postur persoalan di sektor finansial dan sektor riil. Jika kapabilitas itu dipunyai, maka bank sentral dapat mendesain kebijakan-kebijakan moneter yang berbarengan dengan kebutuhan sektor riil. Selebihnya, dengan penguasaan makroekonomi yang mumpuni diharapkan bank sentral menjadi lokomotif yang sanggup menggerakkan sektor ekonomi yang selama ini tertinggal, seperti UMKM dan sektor pertanian.
Perlu juga dimengerti, sejak beberapa tahun terakhir fokus pekerjaan BI yang terpenting adalah mengendalikan inflasi (inflation targeting). Pekerjaan ini tentu penting, namun jika dilakukan secara membabi buta, maka BI akan menjadi institusi “katak dalam tempurungâ€, alias tidak memiliki perspektif yang luas terhadap persoalan ekonomi. Kasus pada 2008 menunjukkan secara baik bahwa sumber inflasi adalah kenaikan harga minyak dan pangan, tapi tetap saja BI memakai instrumen (menaikkan) BI rate untuk menurunkan inflasi. Hasilnya, bukan saja inflasi tidak bisa dikendalikan, tetapi sektor riil malah ikut tenggelam akibat kenaikan suku bunga kredit. Sekali lagi, di sini dibutuhkan figur Gubernur BI yang bukan saja ahli moneter, tetapi juga cakap mengenali masalah ekonomi secara utuh. Sebagian orang pesimis tidak banyak ahli dengan kualifikasi semacam itu, tapi yakinlah masih cukup banyak figur yang dapat memimpin lembaga ini dengan pengetahuan makroekonomi yang baik dan pemihakan yang jelas.
Jurnal Nasional, 28 Mei 2009