Sistem ekonomi dibangun berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dari ideologi negara. Berbeda dengan teori ekonomi yang relatif “bebas nilaiâ€, sistem ekonomi dengan sengaja merupakan turunan dari ideologi dan konstitusi di suatu negara, sehingga dengan begitu sarat dengan “nilai.†Oleh karena itu, jika teori ekonomi bersifat universal (bisa berlaku di manapun), maka sistem ekonomi sifatnya sangat partikular pada masing-masing negara. Tidak ada satu negarapun yang memiliki sistem ekonomi persis sama dengan negara lain. Hal itu terjadi tak lain karena keberadaannya yang muncul bersumber dari ideologi/konstitusi negara. Dalam konteks Indonesia, sistem ekonomi tentu saja harus merujuk kepada dasar negara (Pancasila) dan konstitusi (UUD 1945). Di dalam konstitusi itu pula secara tersurat disebutkan bahwa soko guru perekonomian adalah koperasi. Secara otomatis, eksistensi koperasi akan hidup bila berada di bawah naungan sistem ekonomi konstitusi.
Sistem Ekonomi Konstitusi
UUD 1945 secara jelas telah memberikan panduan menyusun sistem ekonomi berdasarkan konstitusi, yakni lewat Pasal 33. Sekurangnya terdapat 3 ayat dalam pasal tersebut yang harus dioperasionalisasikan dalam sistem ekonomi. Ketiga ayat itu adalah: (Ayat 1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (Ayat 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan  (Ayat 3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketiga ayat tersebut memberikan 2 pesan penting, yakni (i) asas kekeluargaan merupakan pondasi kegiatan ekonomi (bukan persaingan ekonomi); dan (ii) negara memiliki peran aktif dalam kegiatan ekonomi karena diberi hak penguasaan ekonomi dalam bidang-bidang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, serta sumber daya alam.
Makna kata “dikuasai oleh negara†sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dengan penjabaran “Rakyat secara kolektif memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.†Oleh sebab itu, saat ini sudah tidak perlu ada perdebatan interpretasi menyangkut istilah tersebut. Selanjutnya, dalam Pasal 33 di atas sebetulnya termaktub dasar pemikiran “demokrasi ekonomiâ€. Dalam penjelasan UUD 1945 demokrasi ekonomi itu tak lain adalah “produksi dikerjakan oleh semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.â€
Jabaran demokrasi ekonomi berdasarkan konstitusi itu sekurangnya mengandung tiga hal pokok (Baswir, 2013). Pertama, partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi nasional. Dengan jalan pikiran ini tidak boleh ada anggota masyarakat yang tidak bekerja, seluruhnya harus bekerja dan melakukan kegiatan produksi sehingga menghasilkan nilai ekonomi. Secara sosial, orang yang bekerja akan memiliki martabat dan harga diri sehingga menjadi pribadi yang merdeka. Kedua, demokrasi ekonomi itu juga dimengerti sebagai partisipasi masyarakat untuk turut menikmati hasil produksi nasional. Meskipun sudah bekerja, tidak lantas mereka secara otomatis dapat menikmati hasil produksi, baik secara langsung maupun tidak langsung, apabila upah yang diberikan tidak memertimbangkan nilai “kemanusiaan yang adil dan beradabâ€. Ketiga, kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi nasional harus berlangsung di bawah pimpinan dan penilikan anggota masyarakat. Dengan kata lain, seluruh anggota masyarakat harus turut memiliki faktor produksi nasional.
Pertanyaannya, mengapa koperasi dianggap sebagai bangun usaha yang sesuai dengan konstitusi? Sebab, di dalam koperasi mengandung praktik-praktik usaha yang seusai dengan jiwa dan nilai konstitusi. Pertama, koperasi merupakan kumpulan gagasan/ide mengenai suatu gerakan atau organisasi usaha ekonomi dan berisi prinsip-prinsip perjuangan ekonomi. Ini tentu berbeda dengan badan usaha lain, seperti PT atau CV yang berbasis individu dan berorientasi profit. Kedua, prinsip gerakan ekonomi dan perjuangan ekonomi itu antara lain terlihat dari karakter koperasi yang merupakan kumpulan orang (bukan modal), kesetaraan suara, dan cita-cita kesejahteraan bersama. Ketiga, hakikat ekonomi itu sebetulnya interaksi antarmanusia, bukan hubungan modal. Implikasinya, posisi tawar tidak ditentukan oleh jumlah modal, namun relasi kebersamaan yang dibingkai dalam kesejahteraan bersama. Koperasi dengan jelas menunjukkan aksentuasi terhadap hubungan manusia tersebut.
Jiwa Koperasi
Lantas, di mana letak asas kekeluargaan apabila dikaitkan dengan praktik usaha koperasi? Ruh Pasal 33 ayat 1 tersebut sebenarnya tidak mengizinkan praktik persaingan ekonomi/competition, namun sebuah kegiatan ekonomi yang mendorong munculnya “kerjasama†ekonomi†(co-operation). Kerjasama ekonomi pada unit terkecil adalah bergabungnya orang-orang dalam suatu bangun usaha, persis seperti yang dipraktikkan koperasi. Dengan praktik usaha seperti ini, maka tidak pernah muncul dikotomi relasi antara pekerja dan pemilik yang di dalam praktik ekonomi saat ini kerap kali terlibat dalam perselisihan. Berikutnya, kerjasama ini dalam konteks meso dan makro secara operasional mempertemukan poros berikut ini: hubungan antarusaha (koperasi) skala kecil/menengah dan besar (dalam kegiatan produksi, distribusi, dan lain-lain), serta koperasi dengan BUMN/BUMN dan sektor swasta. Seluruh hubungan itu dibingkai dalam urusan yang sudah dibagi sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945.
Terakhir, ruh koperasi itu tak lain adalah kebersamaan. Secara singkat, kebersamaan itu terpantul dalam tiga hal ini, yakni kepemilikan, penentuan, dan tanggung jawab (Swasono, 2013). Kepemilikan bersama (co-operative ownership) tak lain adalah setiap anggota merupakan pemilik usaha (koperasi), yang tidak terbagi dalam istilah pemilik saham mayoritas atau minoritas. Sementara itu, penentuan atau keputusan bersama (co-operative determination) merupakan penjelmaan bahwa setiap keputusan diambil secara bersama-sama dan setiap anggota memiliki hak suara yang sama. Hak suara ditentukan berdasarkan orang, bukan jumlah saham. Ujungnya, tanggung jawab bersama (co-operative responsibility) adalah konsekuensi dari proses kepemilikan dan keputusan bersama tersebut. Seluruh manfaat dan risiko dari gerakan usaha koperasi itu dipikul bersama-sama. Seluruh manifestasi berusaha inilah yang  merupakan ciri khas koperasi dan tidak dijumpai kepada badan usaha yang lain.
Sayangnya, ruh koperasi itu sebagian telah hilang dalam UU Perkoperasian No. 17/2012. Pada Pasal 1 ayat 1 dinyatakan koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang-perseorangan, padahal tegas dinyatakan pentingnya menggunakan prinsip orang-seorang sebagai penekanan sifat kolektivisme koperasi. Dengan memakai istilah orang-perseorangan, maka jati diri kolektivisme menjadi luntur. Semangat individualisme menjadi lebih terlihat dengan penggunaan istilah tersebut. Padahal, seperti dikatakan Mohammad Hatta, cita-cita koperasi Indonesia menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental (2005:81). Hal itu diperkuat dengan Pasal 1 (ayat 9) dan Pasal 68-72 dengan adanya penyebutan sertifikat modal koperasi yang bisa dilakukan pemindahan, sehingga eksistensi seorang anggota ditentukan oleh keberadaan sertifikat modal tersebut. Itulah yang membuat motif laba menjadi lebih dominan ketimbang ikatan solidaritas untuk menyelenggarakan suatu gerakan ekonomi.
Seterusnya, Mohammad Hatta mengangankan koperasi bisa bergerak dalam lapangan usaha apapun tanpa pembatasan. Namun, spirit itu tidak ditangkap oleh pembuat UU NO. 17/2012 yang justru memerangkap koperasi dalam unit usaha tertentu (konsumen, produsen, jasa, dan simpan pijam) sehingga ruang geraknya menjadi sempit.  Mohammad Hatta justru mengingatkan pentingnya koperasi produksi (bukan sekadar produsen) yang meliputi koperasi pertanian, perikanan, peternakan, pertukangan, kerajinan yang lambat laun menjadi koperasi industri (2005:82). Jadi, inilah bangun usaha yang dicita-citakan oleh para pendiri negara, sehingga mendesain koperasi sesuai dengan prinsip tersebut merupakan suatu keniscayaan sebagai amanah konstitusi. Pada titik ini, sekarang merupakan momentum yang tepat untuk membuat/merevisi aturan yang betul-betul sesuai dengan karakter konstitusi agar tujuan kemakmuran bersama segera dapat direalisasikan di bumi Indonesia. Wallahu ‘alam bissawab.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef