Gelombang liberalisasi yang telah berjalan sejak era 1980-an sebetulnya tidak mengubah keadaan apapun di dunia ini, khususnya dalam pengertian kemakmuran bersama. Negara yang dianggap maju selama ini, seperti AS, Eropa (Barat), dan Jepang tetap memegang kendali perekonomian dunia. Cuma segelintir negara yang berubah posisinya akibat liberalisasi ini, di antaranya China, Brazil, Korsel, dan Rusia. Selebihnya, sekian ratus negara tetap terjerembab dalam kemiskinan akut, bahkan dalam situasi yang lebih buruk. China, Brazil, Korsel, dan Rusia pun meraih kemajuan tersebut tidak semata karena liberalisasi, tapi sebagian karena mengamalkan kebijakan domestik yang protektif dari pasar persaingan negara lain. Pada titik inilah kita dihadapkan pada sikap Indonesia yang antusias menerima liberalisasi sebagai jalan menuju kesejahteraan, tentu saja yang terdekat adalah komitmen terhadap liberalisasi di Asean.
“The Big 5â€
Bagi Indonesia, soal liberalisasi bukanlah masalah takut atau berani. Banyak ekonom yang mengambil sudut pandang “ketakutan†kalah dalam persaingan sebagai titik pijak untuk menolak liberalisasi. Namun, buat saya, liberalisasi harus dilihat apakah secara teoritis maupun filosofis merupakan jalan terbaik untuk meraih kemakmuran bersama? Jika jawabannya ya, maka itu harus diterima tanpa catatan apapun. Tapi, jika jawabannya tidak, maka harus ada keberanian untuk mengoreksinya. Pada level domestik, liberalisasi telah meminggirkan pelaku ekonomi kecil dan lemah. Pada level internasional, liberalisasi makin menguatkan negara-negara maju dalam dominasi perekonomian. Jadi, praktik yang sudah dijalankan selama kurang lebih 30 tahun ini tidak memberi bukti adanya kemakmuran bersama tersebut. Oleh karena itu, mestinya kenyataan itu yang perlu disadari oleh perumus kebijakan di Indonesia.
Terlepas soal aspek empiris tersebut, jika berbicara dalam konteks Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), maka potensi Indonesia memeroleh manfaat ekonomi sangatlah besar. Neraca perdagangan Indonesia dengan negara-negara Asean dalam beberapa tahun ini meraih surplus yang terus meningkat. Sejak 2007 Indonesia mencatat surplus perdagangan yang terus meningkat dan pada 2010 lalu surplus tersebut mencapai US$ 3,5 miliar. Oleh karena itu, jika hanya melihat soal manfaat yang diperoleh, saya rasa Indonesia tidaklah salah menyepakati perjanjian perdagangan bebas dengan Asean. Dalam percaturan dengan negara-negara Asean tersebut Indonesia bisa bersaing bukan semata karena keunggulan yang dimiliki, tapi juga disebabkan “kelemahan†yang negara-negara tetangga. Di level Asean, hanya 5 negara yang kemampuan ekonominya relatif bagus, yakni Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Sementara itu, negara-negara Asean lainnya, seperti Kamboja, Myanmar, Laos, Brunei, dan Filipina, mereka dipastikan akan tergusur oleh “the big 5†tadi. Bila ditilik satu per satu, dengan Singapura, Thailand, Malaysia, dan Vietnam, Indonesia juga masih membukukan surplus perdagangan (data 2010). Sungguh pun begitu, surplus itu makin menciut pada tahun-tehun terakhir sehingga ini patut diwaspadai. Singapura bukan negara yang perlu diperhatikan secara serius karena portofolio ekonomi mereka yang jauh berbeda dengan Indonesia, sehingga sifat ekonominya lebih ke arah komplementer. Tapi Malaysia, Vietnam, dan Thailand mesti diwaspadai karena struktur ekonominya nyaris sama, dengan mengandalkan sektor pertanian dan industri. Jika menginginkan permainan diakhiri dengan kemenangan, maka tidak ada cara lain bagi Indonesia untuk melakukan penguatan sektor pertanian dan industri tersebut.
Kemakmuran Bersama
Jadi, secara umum -berbeda dengan beberapa ekonom lainnya- saya sama sekali tidak cemas dengan posisi Indonesia dalam persaingan ekonomi pada level Asean. Apalagi bila pemerintah dalam beberapa aspek mau secara konsisten menerapkan perubahan struktur ekonomi secara konsisten. Pertama, dukungan terhadap sektor pertanian dan industri merupakan harga mati yang tidak ditawar. Jika kedua sektor itu tumbuh dengan kuat, maka bukan saja produktivitas dan nilai tambah yang akan meningkat, tetapi juga lapangan kerja bisa dibuka lebih lebar. Pembesaran dan penguatan kedua sektor itu secara otomatis akan mengurangi pengangguran dan pekerja yang beroperasi di sektor informal (yang tanpa perlindungan dan kesejahteraannya rendah). Di sini, dukungan sektor perbankan menjadi sangat strategis, karena selama periode 2000-2010 kredit terhadap kedua sektor itu merosot sebesar 50%.
Kedua, selama ini berbicara soal iklim investasi dan percepatan pembangunan infrastruktur seakan telah klise, karena telah diungkapkan di banyak forum dan media, tetapi tetap saja tidak ada perubahan yang meyakinkan. Saya menganggap ini memang menjadi penyumbat perkembangan ekonomi nasional, tapi tidak lantas bila kedua soal itu diperbaiki maka meniscayakan perbaikan ekonomi. Jika investasi meningkat, maka tidak ada artinya bila pemain utamanya tetap asing dan bergerak di sektor non-tradeable. Ini justru menjadi sumber ketimpangan dan kerapuhan struktur ekonomi di masa depan. Demikian pula, bila infrastruktur yang dibangun tidak berkorelasi dengan pembangunan sektor pertanian dan industri, maka keberadaannya lebih menyerupai toksin dalam darah perekonomian nasional. Jadi, iklim investasi dan infrastruktur diperbaiki dan dihubungkan dengan prioritas perbaikan struktur ekonomi.
Di luar soal itu, seperti yang disampaikan di muka, MEA kemungkinan hanya akan bermanfaat bagi 5 negara besar saja, sedangkan 5 negara lainnya kemungkinan akan terpuruk, khususnya Kamboja, Laos, Myanmar, dan Filipina. Oleh karena itu, MEA harus mengakomodasi kepentingan negara-negara “kecil†tersebut agar tidak terperangkap dalam liberalisasi ini. Perlu disiapkan mekanisme perdagangan yang adil bila suatu negara terus mengakumulasi defisit perdagangan dengan negara lain. Kasus ACFTA memberi pelajaran yang baik, betapa hanya China yang relatif mendapatkan kemanfaatan besar dari kesepakatan tersebut, sedangkan yang lainnya menjadi pecundang. Jika MEA bisa mendesain mekanisme bagi kemakmuran dan keuntungan bersama, maka di masa depan hal ini menjadi model bagi penciptaan blok perdagangan regional yang lebih efisien dan bermartabat: tidak saling memangsa satu dengan yang lain.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef