Sejarah ekonomi Indonesia adalah kisah pertarungan gagasan atas dua pokok soal penting: kepantasan subsidi dan nasib kemakmuran ekonomi. Kerap kali kedua ide tersebut bertemu dalan satu komoditas utama: minyak. Pada awal 1980-an Indonesia pernah mendapatkan rezeki minyak (oil boom) akibat harga minyak melesat menjadi US$ 30/barrel, dari harga sebelumnya dikisaran US$ 10/barrel. Bonanza minyak itu diperoleh karena Indonesia menjadi eksportir minyak, sehingga tiap kenaikan harga minyak internasional merupakan berita gembira karena penerimaan negara meningkat. Tapi, sejak 2003 Indonesia telah menjadi importir neto minyak sehingga kenaikan harga minyak internasional menimbulkan petaka yang panjang. Pengalaman 2005 dan 2008 lalu merupakan cerita pahit betapa menderitanya masyarakat akibat kenaikan harga BBM. Pemerintah tidak mampu melindungi rakyatnya dari situasi tersebut, meskipun dana kompensasi sudah diberikan (BLT)
Tiga Catatan
Belanja pemerintah pusat yang termaktub dalam APBN bisa dibagi dalam delapan pos penting, yakni belanja pegawai, barang, modal, pembayaran bunga utang, subsidi, belanja hibah, sosial, dan lain-lain. Pada RAPBN 2012, porsi belanja pegawai mengambil bagian terbesar, yaitu 22,37%. Setelah itu pos subsidi menempati urutan kedua, sebanyak 20,64%. Jika dibandingkan dengan APBN 2011 urutan ini terbalik, di mana pada periode tersebut subsidi mengambil porsi belanja pemerintah pusat yang terbesar (26,12%), diikuti dengan belanja pegawai 20,14%. Jadi, dalam rancangan RAPBN 2012 subsidi sudah relatif berkurang, bahkan dalam jumlah yang lumayan besar, sekitar 5%, dibandingkan 2011. Ini artinya, seandainya harga BBM internasional meningkat seharusnya pemerintah tidak tergesa-gesa meningkatkan harga BBM sebab masih ada ruang fiskal sekitar 5% (dibandingkan 2011). Catatan pertama ini menjadi argumen penting untuk menunda kenaikan harga minyak.
Berikutnya, secara nominal belanja subsidi 2012 ini turun sekitar 11,95% ketimbang 2011, dengan rincian subsidi energi turun 13,69% dan subsidi non-energi 3,86%. Total, pada 2011 subsidi energi mencapai Rp 195,2 triliun dan subsidi non-energi Rp 41,9 triliun. Sementara itu, total subsidi dalam RAPBN 2012 sebesar Rp 168,5 triliun dan subsidi non-energi Rp 40,2 triliun (jika dibagi porsi subsidi energi sekitar 80% dan subsidi non-energi 20%). Jika subsidi 2011 dijadikan patokan, maka sebenarnya masih ada ruang penambahan subsidi sebesar Rp 30 triliun dalam APBN Perubahan nanti. Ini pun masih dengan catatan porsi subsidi belum akan mencapai 26% seperti tahun lalu karena ada penambahan total belanja pusat pada 2012 ini. Fakta ini juga mesti dibuka agar publik mengetahui hal yang sebetulnya mengenai subsidi energi ini. Catatan kedua ini juga penting untuk dirujuk pemerintah.
Setelah itu, catatan ketiga menyangkut proporsi subsidi energi terhadap penerimaan migas (minyak dan gas). Meskipun subsidi energi tiap tahun terus meningkat, tapi penerimaan migas nasional juga bertambah tiap tahun. Pada 2005, penerimaan migas baru mencapai Rp 138,9 triliun, namun pada 2010 penerimaan tersebut sudah melesat menjadi Rp 220 triliun. Apabila dibuat rata-rata, selama kurun 2005-2010 persentase subsidi energi terhadap penerimaan migas mencapai 64% (minyak sebesar 44% dan listrik 20%). Persentase yang sangat tinggi tercatat pada 2005 yang mencapai 75,2% dan 2008 sebesar 77,2%. Persentase yang sangat tinggi pada tahun itu disebabkan oleh lonjakan harga minyak internasional, meskipun di pasar domestik sudah dilakukan kebijakan kenaikan harga BBM. Jadi, sebetulnya selama persentase itu tidak melebihi 65% masih tergolong sehat karena ada ruang 35% dari peneriman migas yang bisa dipakai untuk keperluan lain.
Mengawal Kebijakan Pemerintah
Di luar argumen-argumen di atas, terdapat sekurangnya dua catatan lain yang perlu mendapatkan klarifikasi secara memadai agar tidak terjerumus dalam kesalahan statistik. Pertama, pengurangan subsidi BBM oleh pemerintah dianggap sebuah pilihan yang masuk akal demi penyelamatan APBN dan keadilan ekonomi. Disebut keadilan ekonomi karena dipandang subsidi minyak sebagian besar dinikmati oleh golongan masyarakat berpendapatan menengah-atas. Tapi jika dilihat dari sumber lain, misalnya data struktur pengeluaran masyarakat di pedesaan dan perkotaan yang dikeluarkan oleh BPS (2010, diolah), maka akan dijumpai fakta yang berbeda. Di perkotaan, masyarakat yang berpendapatan Rp 200.000-299.000 konsumsi perumahan, bahan bakar, listrik, dan air sekitar 17,67%; sedangkan yang berpendapatan di atas Rp 1 juta mengkonsumsi 24,31% dari total pendapatan. Di pedesaan selisihnya lebih sedikit lagi, di mana golongan yang pertama menghabiskan 14,98% dan yang kedua 16,27%. Artinya, proporsi konsumsi BBM antara golongan menengah-bawah dan menengah-atas tidak terlalu beda, sehingga data pemerintah perlu diklarifikasi.
Kedua, Indef memiliki kalkulasi yang berlainan dari versi pemerintah. Pemerintah meyakini bahwa apabila BBM dinaikkan sebesar Rp 1500 maka inflasi akan naik sebesar 1,5% (sehingga asumsi inflasi dinaikkan dari 5,3% menjadi 6-7%) dan pertumbuhan ekonomi turun 0,2% (menjadi 6,5% dalam revisi asumsi APBNP). Sebaliknya, tanpa kenaikan BBM pun Indef memproyeksi pertumbuhan ekonomi hanya 6,1-6,3%. Jika BBM naik Rp 1500, maka inflasi diperkirakan akan naik 3-3,5% dan pertumbuhan ekonomi akan merosot sebesar 0,6% (menjadi 5,5%-5,7%). Kemerosotan pertumbuhan ini disebabkan oleh daya beli masyarakat yang turun dan investasi yang jatuh (akibat kenaikan suku bunga kredit). Selanjutnya, dengan skema ini penghematan yang diperoleh hanya sekitar Rp 30 triliun, padahal dengan merosotnya pertumbuhan ekonomi sebesar 0,6% itu sama halnya dengan kehilangan PDB sekitar Rp 70 triliun. Dengan begitu, jika skenario ini berjalan maka kebijakan kenaikan BBM memakan ongkos yang besar ketimbang manfaat yang dipetik.
Meskipun tulisan ini secara substantif memberikan argumen agar pemerintah menunda kenaikan BBM terlebih dulu (selama porsi subsidi tidak melebihi 25% dari total belanja pemerintah pusat), namun dapat memahami bila pemerintah mengambil kebijakan yang berbeda. Hanya saja, pemerintah harus membikin skema kompensasi yang lebih matang dan kredibel ketimbang masa lalu. Harapannya, skema kompensasi lebih fokus dan terukur. Fokus di sini maksudnya agar skema kompensasi langsung menuju sasaran, seperti kaum miskin, petani, nelayan, buruh, sektor informal, dan UMKM. Mereka harus diberikan skema kompensasi yang berlainan sesuai dengan karakteristik keadaan sosial-ekonomi dan jenis pekerjaan. Lebih penting lagi, skema kompensasi itu dapat diukur hasilnya, seperti berapa persen akan meningkatkan daya beli, kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, atau penambahan lapangan kerja. Cuma dengan ini jalan inilah pemerintah akan dikenang sebagai pembela hidup rakyat, bukan sekadar kumpulan birokrat yang terampil menyengsarakan hidup rakyat.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef