Kebijakan Pasca Kenaikan Harga BBM
Pemerintah akhirnya mengambil opsi kebijakan kenaikan harga minyak, yang oleh sebagian ekonom maupun masyarakat awam dianggap mengandung cacat amat serius.
Dalam soal penyikapan kenaikan harga minyak ini, tampaknya pemerintah luput dari dua soal dasar. Pertama, fokus pemerintah terlalu tertuju kepada kenaikan harga minyak itu sendiri. Padahal, masalah tersebut mestinya dilihat secara luas sebagai persoalan tata ekonomi politik dunia dan dominasi pasar yang nyaris tidak dapat dikendalikan.
Kedua, tendensi kenaikan harga minyak itu sebetulnya bukan suatu hal yang mengejutkan, mengingat terjadi sejak 2005. Dengan demikian, pemerintah memiliki waktu cukup untuk menyiapkan strategi dan kebijakan antisipasinya. Kealpaan dalam meneropong dua soal dasar ini membuat kebijakan yang diambil pemerintah menjadi terlihat sangat reaktif, dangkal, serta merugikan sebagian besar masyarakat dan pelaku ekonomi kecil.
Ekonomi Politik Minyak
Dalam perspektif ekonomi politik, kebijakan menaikkan harga minyak sebenarnya bisa dihindari bila pemerintah memahami dua hal di atas. Kenaikan harga minyak di pasar dunia sekarang tidak bisa dipahami secara literer sebagai akibat tingginya permintaan (melebihi penawaran), tetapi jauh lebih kompleks dari hal itu.
Minyak sekarang telah menjadi perburuan rente pelaku ekonomi skala global dan para spekulan yang hendak meraup keuntungan dengan memanfaatkan kelemahan mekanisme pasar. Negara produsen minyak sendiri juga tidak mau menghentikan tindakan para spekulan tersebut karena situasi ini juga menguntungkan mereka.
Inilah yang menyebabkan harga minyak dunia melonjak tanpa bisa ditahan. Sayang, peta ekonomi politik semacam itu gagal dipahami, sehingga pemerintah gagal atau terlambat menciptakan kebijakan ekonomi yang memiliki konteks dengan situasi internasional tersebut.
Jika tahu persis dengan peta tersebut, mestinya pemerintah menyiapkan strategi untuk meningkatkan produksi minyak (lifting), sehingga minimal jumlahnya sesuai dengan kebutuhan domestik.
Jika hal itu dianggap sulit, pemerintah harus serius mengupayakan terobosan penggunaan energi alternatif sehingga ketergantungan terhadap minyak bisa dikurangi.
Sayang, kedua langkah itu nyaris tidak diupayakan secara serius oleh pemerintah. Produksi minyak cenderung menurun dan program penciptaan energi alternatif terbengkalai. Inilah yang menyebabkan kenaikan harga minyak dunia menempatkan pemerintah dalam posisi sulit karena alternatif untuk mengatasinya menjadi kian terbatas.
Setelah itu, posisi pemerintah juga sangat lemah berhadapan dengan pemegang kontrak karya minyak. Pemerintah tidak memiliki daya paksa untuk meningkatkan produksi minyak maupun memperbarui sistem bagi hasil yang merugikan negara.
Revolusi Kebijakan
Sekarang semuanya telah menjadi bubur, sehingga sulit membalik kebijakan harga minyak ini. Karena itu, pemerintah mulai saat ini harus didesak agar membelokkan arah kebijakan ekonomi yang lebih ramah terhadap kepentingan rakyat. Sebab, faktanya kebijakan ekonomi selama ini hanya difokuskan untuk menyantuni kepentingan kelompok penduduk kaya di perkotaan dan sektor industri/jasa (urban bias).
Sebaliknya, penduduk (miskin) di pedesaan dan sektor pertanian dibiarkan berjuang sendiri tanpa fasilitas pemerintah. Selanjutnya, agar pemerintah dianggap memiliki kepedulian dengan kaum miskin, lalu disusun beberapa kebijakan/program yang sifatnya karikatif, ad hoc, dan instan. Dengan demikian, wajah kebijakan itu seperti polesan lipstik yang mudah dihapus dari bibir.
Hasilnya, sekitar 50 persen penduduk berpendapatan terbawah di Indonesia sangat rentan dengan gejolak ekonomi, baik yang sumbernya dari eksternal (internasional) maupun internal (domestik).
Malaysia sebelum dekade 1960-an juga mengalami persoalan yang sama dengan Indonesia. Di sana terdapat pemusatan kesejahteraan ekonomi pada sedikit kelompok ekonomi. Pemerintah Malaysia segera tanggap dengan masalah itu, setelah sebelumnya diingatkan oleh peristiwa kerusuhan etnis empat dekade lalu. Malaysia pun segera mengeluarkan kebijakan ekonomi baru (new economic policy/NEP).
Kebijakan itu secara umum memiliki komitmen mengurangi ketimpangan kesejahteraan dengan jalan mereformasi kepemilikan aset ekonomi produktif. Sebab, sumber ketimpangan ekonomi memang selalu bersumber dari masalah struktural, yakni kepemilikan aset.
Karena itu, tujuan pemerataan pendapatan tidak mungkin dicapai bila kebijakan struktural tidak diintroduksi, semacam pemerataan aset produktif tersebut. Hasilnya, Malaysia sekarang jauh lebih kuat menghadapi guncangan ekonomi yang diakibatkan oleh kenaikan harga minyak dan pangan.
Belajar dari pengalaman itu, kepahitan ekonomi yang dijalani Indonesia saat ini mesti menjadi pemantik bagi berpijarnya api “revolusi kebijakan” agar format perekonomian menjadi lebih kuat dan berkeadilan. Pemerintah mulai sekarang harus menata tiga pilar ekonomi terpenting: reformasi lahan, sistem perpajakan, dan skema subsidi.
Seluruh kebijakan menyangkut tiga tiang ekonomi tersebut harus betul-betul mencerminkan keberpihakan pemerintah kepada sebagian besar masyarakat. Kepemilikan lahan harus disebar ke sebagian besar petani kecil dan tidak boleh dibiarkan ada individu yang menguasai ribuan hektare, kecuali kegiatan usaha yang menggandeng petani kecil.
Berikutnya, pajak harus menjadi alat pemangkas ketimpangan dengan jalan pengenaan pajak progresif yang eksplisit. Setelah itu, skema subsidi dibangun dengan tujuan tunggal, yakni mendesain sistem jaminan sosial. Last but not least, seluruh kontrak karya eksplorasi SDA mesti diperbarui dan dikelola secara transparan sehingga menguntungkan negara dan rakyat.
Ahmad Erani Yustika, ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya dan Direktur Eksekutif Indef. (Jawa Pos dotcom)