Seiring berakhinya Pertemuan Komisi Bersama (Joint Commission Meeting) Indonesia dan Tiongkok di Yogyakarta beberapa waktu lalu, maka usai pula kemungkinan renegosiasi dalam menyikapi ACFTA. Banyak pihak yang menilai bahwa kegagalan tersebut akan membawa kehancuran denyut ekonomi Indonesia, sementara di lain pihak terdapat pihak yang kurang menganggap penting hal ini. Intinya, pandangan yang belakangan ini menyatakan tak perlu terlalu lama menekuri ‘kegagalan’ ini, bahkan melakukan tindakan brutal sebagai upaya balas dendam. Bagaimana sebetulnya sikap yang harus diambil Indonesia dalam kasus ini? Poin yang hendak disampaikan di sini, Tiongkok sangat dibutuhkan sebagai negara yang mampu mengimbangi dominasi Negara maju (Eropa, Jepang, dan AS). Dalam beberapa aspek, Indonesia masih dapat memetik manfaat dari kerja sama ini, apalagi dengan melihat rekam geoekonomi-politik Indonesia yang telah lama dibina dengan (khususnya) Tiongkok.
ACFTA dan Neraca Perdagangan
Mayoritas kalangan industri nasional menuntut adanya renegosiasi 228 pos tarif karena cemas dengan kiprah Tiongkok yang terus merangsek menyerbu pasar Indonesia. Banyak pihak yang memperkirakan penetrasi Tiongkok melalui ACFTA ke Indonesia akan menurunkan harga delapan produk di pasar dalam negeri, yakni tekstil, alat manufaktur, alat kendaraan, produk metal, produk kulit, minuman dan tembakau, serta sayur dan buah (Bisnis Indonesia, 01/04/2010). Penurunan harga ini akibat membanjirnya barang dari Tiongkok. Ditambah bea masuk nol persen semakin mendongkrak produktivitas Tiongkok sekitar 10%. Merunut tampilan ekspor-impor Indonesia ke negara-negara dunia, pada 2009 lalu, ekspor Indonesia didominasi ke Eropa (13,9%), Jepang (12,3%), AS (10,7%), dan Tiongkok (9,1%). Jika dilihat dari net ekspor, maka kinerja yang baik ditunjukkan oleh Eropa (2,8%), AS (1,7%), Tiongkok (-3,5%), dan disusul Jepang (-5%).
Sementara itu, setelah ACFTA digelar, terdapat beberapa data berikut yang dapat membantu menunjukkan posisi Indonesia dan Tiongkok dalam perekonomian dunia. Ekspor nonmigas Indonesia Februari 2010 ke Jepang mencapai angka terbesar, yaitu US$ 1,07 miliar, disusul Tiongkok US$ 986,2 juta, dan Amerika Serikat US$ 907,3 juta, dengan kontribusi ketiganya mencapai 32,72 persen. Sementara ekspor Indonesia ke Uni Eropa sebesar US$ 1,42 miliar. Negara eksportir nonmigas terbesar selama Januari-Februari 2010 masih ditempati oleh Tiongkok dengan nilai US$ 2,79 miliar dengan pangsa 18,58 persen, diikuti Jepang US$ 2,16 miliar (14,43 persen) dan Singapura US$1,51 miliar (10,09 persen). Sementara itu, impor nonmigas Indonesia dari ASEAN mencapai 22,81 persen dan Uni Eropa sebesar 8,66 persen. Peta itu sedikit banyak menggambarkan konfigurasi posisi Tiongkok dalam perekonomian dunia, khususnya dilihat dari perspektif perdagangan internasional.
Keadaan itu memang membuat beberapa pihak bersikap pesimistis, antara lain ditunjukkan oleh  pelaku usaha. Namun,  masih ada sejumlah pelaku ekonomi (misalnya pelaku hilir sektor pertanian) maupun pejabat yang menyambut baik perjanjian ACFTA. Mereka optimis ACFTA dapat memberikan keuntungan karena membuka peluang bagi industri hilir pertanian lebih berkembang. Bagi mereka, dengan keberadaan bahan baku dan tenaga kerja yang melimpah, maka ACFTA lebih menjanjikan keuntungan. Apalagi Atase Perdagangan Tiongkok meyakinkan bahwa pengusaha mereka sedang melakukan pemindahan industrinya ke ASEAN karena biaya produksi di Tiongkok mulai menanjak, sedangkan prospek yang diincar adalah Indonesia (selain Vietnam dan Kamboja). Hal ini tentu merupakan berita baik bagi iklim ekonomi di Indonesia karena dengan keberadaan investasi ini akan mendongkrak kegiatan ekonomi nasional.
Geoekonomi-politik Tiongkok
Fakta terpenting yang perlu dipahami adalah perubahan konfigurasi pemain ekonomi dunia saat ini. Tiongkok, dalam beberapa tahun terakhir, telah melakukan lompatan ekonomi yang luar biasa besar. Bayangkan, pada 2008 mereka telah menjadi eksportir kedua terbesar di dunia, bahkan pada 2009 mereka telah menaklukkan Jerman sehingga menjadi eksportir terbesar di dunia (cadangan devisa mereka sekarang sekitar 2,4 triliun dolar AS!). Oleh karena itu, secara Geoekonomi-politik posisi Tiongkok begitu penting saat ini, apalagi di tengah-tengah hegemoni ekonomi dunia yang dikuasai oleh beberapa gelintir negara, seperti AS, Jerman, dan Jepang. Implikasinya, Tiongkok bisa menjadi “lawan tanding†yang kuat bagi negara-negara tersebut (bersama dengan Brazil, Rusia, dan India), baik secara ekonomi maupun politik. Jika ini berjalan, maka negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) akan diuntungkan, khususnya dalam konteks mendesain tata ekonomi internasional yang lebih adil.
Dengan pemahaman seperti itu, Indonesia harus menempatkan diri dalam kacamata yang lebih luas. Maksudnya, jika memang ada potensi kerugian yang diderita Indonesia dari pedagangan dengan Tiongkok (dalam konteks ACFTA), maka secara terhormat harus dinegosiasikan secara bermartabat. Tekanan terhadap Tiongkok yang terlalu berlebihan akan membuat kontraproduktif bagi kepentingan Indonesia secara lebih luas. Sebaliknya, Indonesia harus memanfaatkan peran ekonomi dan politik Tiongkok yang kian besar tersebut untuk menyuarakan kepentingan negara berkembang. Pemerintah harus sadar bahwa keterpurukan ekonomi nasional bukan semata akibat perdagangan dengan Tiongkok, tetapi disumbang dari hubungan dengan negara-negara maju dan lembaga multilateral yang eksploitatif. Skenario inilah yang harus dibangun sehingga kepentingan ekonomi nasional ke depan menjadi lebih diakomodasi dalam panggung dunia. Pendeknya, Tiongkok harus dijadikan sekutu, bukan dianggap sebagai benalu.
Jawa Pos, 19 April 2010
*Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Indef;
Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya