Debat pertama dan kedua antara Obama dan McCain yang berlangsung beberapa waktu secara umum kurang memberi daya dobrak bagi pencitraan masing-masing calon. Namun, dalam isu ekonomi terdapat sudut pandang yang menarik saat kedua kandidat presiden diminta menanggapi krisis keuangan AS saat ini. McCain menyebut faktor keserakahan/ketamakan sebagai sumber krisis keuangan yang menghancurkan ekonomi AS. Sebaliknya, Obama secara simbolik menunjuk sistem ekonomi yang dikembangkan oleh AS hanya menguntungkan Wall Street (merujuk pelaku ekonomi yang bermain di pasar keuangan) ketimbang Main Street (pelaku ekonomi kebanyakan). Kedua jawaban itu memberikan “nyawa” yang kuat untuk menyebut sumber krisis, sehingga upaya untuk mengatasinya merupakan jalan panjang yang mesti dilakukan. Sedangkan langkah jangka pendek yang akan dikerjakan, seperti bailout (menalangi), hanya akan meredakan sementara waktu bila langkah sistematis tidak dilakukan.
Kebutuhan dan Keserakahan
Mahatma Gandhi sudah sejak lama merumuskan persoalan pembangunan ekonomi dalam sebuah kalimat yang bernas. Menurutnya, “sumber daya ekonomi yang ada di bumi sangat berlimpah untuk mencukupi kebutuhan manusia, tapi jelas tidak memadai untuk memuaskan keserakahan manusia”. Jadi, keserakahan merupakan sumber masalah ketimpangan kesejahteraan dan kemiskinan yang terjadi di seantero dunia. Keserakahan menyebabkan alokasi sumber daya ekonomi tidak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga sebagian besar manusia tidak dapat mengaksesnya. Sebaliknya, sebagian kecil individu bisa menguasai sumber daya ekonomi nyaris tanpa batas, yang dengan modal itu mereka menumpuk kekayaan hingga menyentuh langit. Tidak mengherankan apabila sebagian megakorporasi di AS, Jepang, dan Eropa memiliki aset melebihi kekayaan suatu negara. Dengan kata lain, sebuah korporasi memiliki kekuasaan yang jauh lebih besar ketimbang kekuatan satu negara.
Itulah yang terjadi pada korporasi kakap semacam Lehman Brothers, Merrill Lynch, Washington Mutual (WaMu), Fannie Mae, dan Freddie Mac. Perusahaan-perusahaan investasi/keuangan raksasa itu memiliki aset yang sulit dibayangkan jumlahnya. Sekadar contoh, WaMu –bank simpan pinjam terbesar di AS- memiliki aset senilai US$ 307 miliar dan deposito sebanyak US$ 188. Kekayaan tersebut lebih besar dari PDB Indonesia yang saat ini sekitar Rp 4300 triliun. Naasnya, perbankan yang sedemikian hebat itu luluh lantak hanya dalam hitungan hari akibat tidak tahan dengan rush (penarikan uang secara bersamaan dalam jumlah besar) sebagai dampak dari hilangnya kepercayaan terhadap lembaga keuangan AS. Hal yang sama juga menimpa Lehman Brothers, Merrill Lynch, Fannie Mae, dan Freddie Mac. Kerakusan yang disuapi terus-menerus menyebabkan para pengelolanya tidak berhitung atas seluruh risiko keuangan yang bakal terjadi. Bahkan, bila perlu, kinerja keuangan ‘dipompa’ untuk memuluskan praktik keserakahan.
Celakanya, tabiat menyimpang individu itu dibiarkan secara bebas berbiak tanpa regulasi untuk mencegahnya. Kerja ekonomi dijalankan dengan basis mekanisme pasar yang mengharamkan regulasi. Prinsip liberalisasi itu didorong oleh para ekonom terkemuka di negara-negara maju (sebagian di antaranya dihadiahi nobel ekonomi), di mana AS sebagai sponsornya, agar ekonomi berjalan dengan cepat. Mereka beranggapan regulasi ekonomi cuma akan menghambat sirkulasi ekonomi sehingga akumulasi kekayaan tidak dapat dilakukan secara cepat. Sayangnya, mereka tidak sadar bahwa aset ekonomi hanya digenggam oleh sekelompok kecil individu sehingga kebebasan hanya milik mereka, sedangkan sebagian besar pelaku ekonomi lainnya justru berhadapan dalam ketidakbebasan dalam sistem ekonomi pasar. Praktik inilah yang dengan tepat dibahasakan oleh Obama dengan menyebut ekonomi AS didesain hanya untuk menafkahi kepentingan Wall Street (pemilik modal) dan bukan Main Street (tunakapital).
Brutalisme Ekonomi
Dengan mudah kasus di AS bisa dibaca sebagai masalah bersama, sebab watak ekonomi yang serakah dan cuma menyantuni kepentingan segelintir pelaku ekonomi hidup di sekitar kita. Di Indonesia, kisah yang mirip juga terjadi pada medio 1997/1998 di mana segerombolan konglomerat dan pemilik perbankan memompa ekonomi secara cepat tanpa mengindahkan rambu-rambu yang dibikin. Hasrat keserakahan ditunjukkan dengan cara membuat bank dengan tujuan memberi kredit kepada korporasi satu induk. Sebagian besar konglomerat (saat itu) punya bank dengan tugas mengucurkan ke perusahaan miliknya sendiri. Jadi, sebenarnya mereka merampok uang rakyat (nasabah) untuk diberikan ke perusahaan sendiri, tentu tanpa rambu-rambu kredit yang laik. Hasilnya, bank-bank tersebut memberikan sampai 70% total kreditnya kepada perusahaan satu induk, padahal aturan cuma membolehkan maksimal 20%. Ketika perusahaan ambruk, maka bank itu juga ikut gulung tikar.
Pada saat situasi sudah rusak, tiba-tiba negara diminta menalangi seluruh kerugian korporasi dengan dalih agar tidak terjadi pendalaman krisis. Cara pikir ini persis seperti yang dilakukan AS sekarang, di mana pemerintah AS akan menggelontorkan dana sekitar US$ 700 miliar untuk menjamin kredit korporasi yang kolaps. Logika pikir ini tampak sangat logis, tapi jika ditelusuri sebetulnya terjadi sesat pikir yang laten. Soalnya, saat korporasi beroperasi mereka meminta negara keluar dari arena karena dianggap mengganggu proses akumulasi kapital. Namun, begitu korporasi bangkrut, negara diminta mengongkosinya dengan memakai uang rakyat yang berasal (antara lain) dari pajak. Sistem ekonomi seperti ini mempecundangi pelaku ekonomi kebanyakan (main street) dalam dua hentakan sekaligus: menutup kesempatan ekonomi (karena keterbatasan modal) dan membebani biaya bila terjadi kritis. Rasanya, tidak ada peradaban (ekonomi) yang lebih brutal dari model ini.
Seputar Indonesia, 17 Oktober 2008
*Ahmad Erani Yustika, Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef