Ibarat sebuah drama, akhir cerita perombakan kabinet (reshuffle) mudah diduga: antiklimaks. Jika banyak kalangan kecewa dengan hasil perombakan kabinet, mestinya perlu belajar dari sejarah reshuffle yang pernah dilakukan SBY pada KIB I lalu (2004-2009). Saat itu juga terjadi resuffle kabinet dengan komposisi yang juga mengecewakan. Kali ini, antiklimaks itu bersumber dari dua soal pokok. Pertama, di luar dugaan SBY justru mengisi banyak sekali pos wakil menteri (wamen), sebuah langkah yang justru bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi. Presiden menambah pos 13 wamen sehingga total ada 19 kementerian yang ada wamen-nya), yang menjadikan kabinet ini sangat tambun dan diperkirakan sulit bergerak lincah. Kedua, menteri-menteri (ekonomi) yang diganti atau dirotasi tidak meyakinkan sama sekali, sehingga target perbaikan kinerja rasanya seperti bertepuk sebelah tangan.
“Disguise Unemploymentâ€
Figur-figur yang ditunjuk presiden untuk mengisi pos wamen sebagian merupakan individu yag memiliki reputasi bagus di bidangnya masing-masing. Bayu Krisna Murti, Eko Prasodjo, dan Widjajono Partowidagdo merupakan beberapa wamen yang memiliki rekam jejak cukup bagus, sehingga berpotensi membantu perbaikan kinerja para menteri di kementeriannya masing-masing. Tapi menyimak pengalaman beberapa kementerian yang sebelumnya telah ada wamen-nya, seperti Bappenas, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Perdagangan ternyata tidak ada korelasi perbaikan kinerja dengan adanya pos wamen. Kementerian-kementerian tersebut tidak menunjukkan perbaikan kinerja, bahkan kementerian perhubungan malah memburuk pencapaiannya. Pola yang sama juga terjadi di Kementerian Keuangan, penyerapan anggaran tidak membaik meskipun ada wamen di situ.
Ada beberapa kemungkinan mengapa penambahan posisi wamen tidak lantas memerbaiki kinerja kementerian. Pertama, tidak ada pekerjaan spesifik yang bisa dibantu oleh wamen karena sebetulnya sebagian besar sudah dapat ditangani oleh struktur birokrasi, seperti sekjen, dirjen, deputi, dan lain-lain. Dengan kata lain, para wamen itu sebetulnya menjadi “pengangguran tersembunyi†(disguise unemployment), seperti kasus yang terjadi di sektor pertanian sekarang. Kedua, munculnya perbedaan visi, kebijakan, dan sikap antara menteri dan wamen dalam melihat suatu persoalan sehingga malah menambah rumit proses pengambilan keputusan. Perbedaan sikap itu bisa bersumber dari kerangka pemikiran maupun kepentingan politik, terutama jika menterinya berasal dari partai politik. Ketiga, tidak ada lini otoritas yang kuat sehingga selalu tidak mudah bagi wamen memberikan instruksi kepada pejabat di bawahnya, misalnya pada level dirjen.
Masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain yang menjadi sebab tidak efektifnya peran wamen dalam memerbaiki kinerja kabinet. Di luar itu semua, gemuknya postur kabinet sekarang menodai spirit reformasi birokrasi yang sedang dijalankan pemerintah. Meskipun bukan satu-satunya jalan untuk menjalankan reformasi birokrasi, namun perampingan birokrasi merupakan elemen penting dalam menyukseskan reformasi birokrasi. Dalam 5 tahun terakhir telah terjadi peningkatan kurang lebih 1 juta PNS (pegawai negeri sipil), sehingga mulai tahun ini pemerintah hendak melakukan moratorium penerimaan PNS. Di beberapa daerah, alokasi APBD bahkan 80-90% habis untuk gaji dan belanja pegawai, sehingga tidak tersisa lagi bagi dana pembangunan. Oleh karena itu, penambahan pos wamen ini justru mengasikan rencana reformasi birokrasi yang dirancang pemerintah. Ini tentu ironi dan seperti menampar muka sendiri.