Perhelatan akbar berupa World Economic Forum (WEF) on East Asia yang diselenggarakan di Jakarta, 12-13 Juni 2011 sudah barang tentu memiliki makna yang strategis bagi Indonesia, meskipun sekian banyak kritik layak juga untuk dilayangkan. Beberapa hal laik dianalisis untuk menyikapi peristiwa besar ini. Pertama, Indonesia layak menjadi tuan ramah karena dianggap kinerja ekonominya dinamis di kawasan ini, bersanding dengan India, China, Vietnam, dan lain-lain. Kedua, banyak soal-soal mendasar yang terjadi di kawasan Asia Timur sebetulnya berkaitan dengan aspek sosial (tidak terkecuali di sini), sehingga menjadi tuan rumah World Social Forum (WSF) mempunyai makna yang jauh lebih strategis. Ketiga, peran global seperti apa yang seharusnya dikerjakan Indonesia sehingga memiliki relevansi dengan situasi sosial-ekonomi-politik kekinian, khususnya bagi negara berkembang.
Liberalisasi dan Jejak Indonesia
Jika Indonesia memiliki kinerja ekonomi (pertumbuhan) yang dinamis, rasanya penilaian itu tidaklah salah. Pada saat krisis ekonomi global menghantam sebagian besar ekonomi dunia pada 2008 lalu, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2009 masih tetap relatif tinggi (4,5%) disaat negara-negara lain pertumbuhannya negatif. Indonesia, bersama dengan China, India, dan Vietnam mencatat pertumbuhan positif ketika negara-negara maju tengah terkapar. Pertumbuhan ekonomi itu terus meningkat pada 2010 menjadi 6,1% dan sangat mungkin pada tahun ini mencapai sekitar 6,5%. Namun, saya tidak yakin faktor itu yang menjadi pemantik terpilihnya Indonesia menjadi tuan rumah. Komitmen Indonesia yang sangat kuat terhadap agenda WEF merupakan faktor penting yang justru menjadi pertimbangan utama pemilihan Indonesia sebagai tuan rumah. Agenda WEF itu tidak lain ialah globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan.
Indonesia merupakan negara yang sejak awal terlibat aktif dalam perundingan-perundingan liberalisasi ekonomi, yang berpuncak pada kesertaannya meratifikasi World Trade Organization (WTO) di Marakesh pada 1994. Setelah itu, seperti bola salju yang terus bergulir, Indonesia memiliki prakarsa yang menonjol dalam pembentukan APEC (Asian Pacific Economic Cooperation), dilanjutkan dengan Asean Free Trade Area (AFTA), dan Asean-China Free Trage Agreement (ACFTA). Dalam forum WEF pun Indonesia selalu hadir untuk menyemangati penguatan-penguatan agenda liberalisasi ekonomi dengan menempatkan korporasi kakap (dunia) sebagai aktor terpenting. Keterlibatan dalam panggung globalisasi itu juga disertai dengan perombakan kebijakan ekonomi domestik, seperti deregulasi sektor keuangan (perbankan) sejak 1983 dan pembukaan investasi asing (lewat PP maupun UU).
Oleh karena posisi yang semacam itu, rasanya sulit mengharapkan munculnya sikap kritis Indonesia terhadap forum tersebut mengingat dukungan mutlak Indonesia terhadap agenda-agenda WEF. Pada titik ini, dugaan saya ada tiga poin yang hendak dibidik Indonesia pada forum ini. Pertama, meminta negara maju untuk lebih membuka pasar negaranya, khususnya sektor pertanian, sebagai kompensasi atas dibukanya pasar negara berkembang, baik sektor pertanian, industri, maupun jasa. Kedua, meminta komitmen korporasi asing untuk masuk ke Indonesia sebagai penyokong pertumbuhan ekonomi. Negosiasi fasilitas yang diberikan bakal mendominasi pertemuan formal/informal antara pemerintah dan petinggi korporasi dunia. Ketiga, melanjutkan peran IMF dan Bank Dunia sebagai konsultan ekonomi maupun penyalur utang, khususnya apabila terdapat negara yang hendak ambruk diterjang krisis ekonomi.