Pagi hari, 4 April 2012, seorang kakek berusia 77 tahun, menembak kepalanya di area Gedung Parlemen Athena, Yunani. Dia terlilit utang dan sudah tidak tahan menghadapi situasi ekonomi Yunani yang kian memburuk. Dengan uang pensiun hanya 300 Euro sebulan, kakek itu merasa tidak mungkin menanggung beban hidup lagi. Peristiwa itulah yang kemudian memicu demonstrasi besar-besaran esok harinya di Athena dan menandai hari-hari serba gelap di Yunani. Calakanya, pemilu yang digelar tidak memunculkan satupun partai mayoritas, sementara koalisi yang berspektrum luas tidak mudah dibangun. Nampaknya pemilu akan digelar ulang, tapi hasil yang penuh ketidakpastian masih menyelimuti negara tersebut. Lebih dramatis lagi, bila nanti yang menjadi penguasa baru Yunani berasal dari partai oposisi kiri (leftish), maka sikap politik mereka adalah merekomendasikan keluar dari UE (Uni Eropa) dan ingin menentukan masa depannya sendiri.
Masa Suram Yunani
Sampai akhir 2011 lalu, kinerja ekonomi Yunani dapat diterangkan sebagai berikut. Pertumbuhan ekonomi minus 6,9 persen; rasio utang 145 persen terhadap GDP; defisit anggaran 10,6 persen terhadap PDB, dan inflasi 3 persen (Bloomberg, 2011). Dalam beberapa aspek, situasi Yunani ini masih lebih baik ketimbang Indonesia pada 1998 lalu, ketika megakrisis ekonomi/moneter menerjang Indonesia. Pada saat itu, pertumbuhan ekonomi indonesia anjlok menjadi minus 13,1 persen, inflasi melesat 77,6 persen, dan rasio utang terhadap PDB sekitar 89 persen. Pada level tertentu, penderitaan yang dialami Indonesia lebih parah daripada Yunani saat sekarang. Sungguh pun begitu, memang disadari tidak lantas mudah bagi Yunani memulihkan ekonominya karena di balik itu banyak jebakan yang mengintip, misalnya tanggungan anggaran untuk membayar gaji pensiun mencapai 12 persen dari PDB. Dari sisi ini saja bisa dibayangkan berapa anggaran yang harus disisihkan cuma untuk membayar uang pensiun abdi negaranya.
IMF dan UE (lewat European Central Bank/ECB) tentu tidak berpangku tangan melihat kondisi Yunani, sebab hal itu dapat menjalar ke negara Eropa lainnya yang ekonominya juga parah, misalnya Italia, Portugal, Irlandia, dan Spanyol. Sampai kini IMF sudah mengucurkan bantuan US$ 11 miliar ke Yunani dan ECB menyuntikkan US$ 1,3 triliun ke sistem perbankan Eropa demi mencegah perluasan krisis. Saat ini IMF dan ECB merencanakan memberikan tambahan modal ke Yunani sejumlah US$ 130 miliar, tapi dengan syarat harus ada penghematan anggaran yang radikal di Yunani. Syarat itu sudah coba dilakukan Yunani tahun lalu, seperti kenaikan pajak dan penurunan gaji pegawai negeri, namun disambut kecaman warga yang merasa tidak tahan dengan penderitaan akibat kebijakan tersebut. Lewat kebijakan itu, IMF dan ECB memberi target rasio utang Yunani terhadap PDB pada 2020 harus turun menjadi 117 persen. Ini sebetulnya moderat, karena selama 9 tahun rasio utang hanya turun 30%.
Tapi kebijakan itu memang tidak akan memberikan hasil cepat, karena pada 2012 ini diperkirakan pertumbuhan ekonomi Yunani masih minus 4,5 persen dan baru 2014 tumbuh positif. Seperti halnya Indonesia, proses pemulihan itu butuh waktu sekurangnya lima tahun. Sepertinya, elite politik dan warga Yunani tidak tahan dengan cara ini, sehingga sebagian dari mereka (yang ditunjukkan oleh hasil pemilu lalu) memilih keluar dari UE agar dapat mendesain kebijakan secara mandiri, seperti yang saat ini dikerjakan AS. Jika pilihan ini yang akan diambil Yunani, memang harga yang harus dibayar cukup besar, baik dari sisi Yunani maupun UE (walaupun ongkos itu tidak akan sampai meruntuhkan Uni Eropa). Justru yang patut disadari negeri para dewa ini, opsi mengikuti model penyelesaian krisis a la AS bukan berarti jalan yang lebih baik, terbukti strategi pelonggaran fiskal (deficit budget) dan moneter (quantitative easing) tak banyak menolong ekonomi negeri Paman Sam sampai kini.
Menciptakan Takdir
Jadi, pilihan ekonomi-politik Yunani tampaknya masih kabur sampai akhir tahun. Hanya Prancis dan Jerman yang memberi ketegasan, bila Yunani tidak mau melakukan pengetatan anggaran dipersilahkan keluar dari EU. Sebaliknya, poros lain sedang mengintip untuk merapat ke UE, yaitu Turki. Sudah lama Turki ingin bergabung ke UE tapi selalu ditolak dengan alasan keterbelakangan ekonomi, demokrasi, dan HAM. Tapi, argumen itu sekarang sudah gugur karena tampilan ekonomi Turki yang mengkilap, demokrasi tumbuh subur, dan tidak ada masalah mendasar soal HAM. Tahun lalu ekonomi Turki tumbuh 8,9 persen, hanya kalah dari Tiongkok. Pada 2012 ini ekonomi Turki diproyeksikan tumbuh 4,5 – 6 persen (disaat rata-rata UE tumbuh cuma 2%), pendapatan per kapita sekitar US$ 12.000, dan rasio utang terhadap PDB hanya 46 persen (2010). Dengan modal itu, kinerja ekonomi Turki jauh lebih sehat ketimbang banyak negara EU lainnya.
Jika Yunani keluar, maka potensi Turki masuk ke UE menjadi cukup besar. Halangannya hanya dari Jerman dan Prancis yang merasa keberadaan Turki bisa menyisihkan dominasi kedua negara itu. Diam-diam, dua negara tersebut sedang cemas melihat perkembangan ekonomi Turki yang begitu pesat, khususnya sejak terpilihnya Recep Tayyib Erdogan sebagai Perdana Menteri. Sebaliknya, Italia dan Spanyol mendukung bergabungnya Turki ke UE agar bisa mengimbangi hegemoni Jeman dan Prancis. Tentu saja selalu ada pokok soal di balik itu yang sulit diungkap ke panggung publik, seperti mayoritas warga Turki yang beragama Islam (90 persen), yang merintangi Turki diterima UE. Lepas dari itu, saya melihat keberadaan UE sudah tidak relevan lagi karena bobot strategisnya yang mulai meredup. Lebih baik Turki membangun aliansi dengan negara-negara yang diperkirakan akan menjulang abad ini, misalnya Tiongkok, India, Brazil, Rusia, Timur Tengah, dan Asia Timur. AS dan UE sedang meratapi nasib, sebaiknya Turki menciptakan takdir bersama para pemenang.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef;