Sejarah ekonomi nasional mengenal tiga zona tabu kebijakan: beras, minyak, dan tanah. Maksudnya, ketiga “komoditas†itu mesti dipastikan terjaga secara adil, terjangkau, dan stabil. Beras adalah kebutuhan pangan primer seluruh kelompok masyarakat, khususnya kaum miskin. Minyak memengaruhi sebagian besar struktur produksi dan harga (khususnya pangan), tak hanya di sektor transportasi. Sementara itu, tanah (lahan pertanian/perkebunan) merupakan penanda kepemilikan faktor produksi terpenting bagi sebagian besar rakyat yang bekerja di sektor pertanian. Implikasinya, jika harga beras meroket, minyak melesat, dan tanah petani diserobot (oleh negara maupun korporasi), maka rakyat akan bergolak. Sebabnya, kehidupan paling pokok mereka telah direnggut/diusik. Sehingga, tabu bagi pemerintah membiarkan tiga soal itu tak terurus dengan laik.
Pengambil kebijakan ekonomi mesti paham peta dan implikasi atas seluruh kebijakan yang diproduksi, terutama menyangkut tiga perkara di atas. Sektor pertanian, misalnya, mengalami guncangan hebat sejak 1998 lalu karena pemerintah menggadaikan kedaulatannya dengan meliberalisasi sektor pertanian, baik produksi maupun perdagangan (impor). Penurunan subsidi produksi dan tarif impor membuat banjir barang dan menekan insentif produksi petani. Produksi komoditas utama, seperti jagung dan kedelai, langsung anjlok. Peran Bulog pun dibabat nyaris habis, dari semula mengurus 9 komoditas pangan strategis hingga tinggal 1 barang (beras). Itu pun masih ditambah dengan orientasi Bulog yang tak hanya menjamin stabilitas pasokan dan harga, tapi juga memertimbangkan keuntungan. Hasilnya, sektor pertanian menjadi teramat ringkih.
Cara pandang yang sama sekarang hendak dipakai untuk mengelola kebijakan minyak. Pengurangan subsidi minyak secara besar-besaran tanpa disertai kapasitas pengelolaan yang mapan pada aspek yang lain (misalnya mengisolasi transmisi kenaikan harga kepada barang lainnya) telah melantakkan sendi-sendi ekonomi rakyat. Dengan demikian, sumbu soalnya bukan sekadar berapa banyak subsidi yang harus dialokasikan, namun mesti dilacak juga bagaimana tata laksana produksi dan tata niaga migas, rasio belanja energi rumah tangga terhadap total pengeluaran, dan dampak kenaikan harga minyak terhadap komoditas lainnya (terutama pangan). Hal serupa berlaku untuk kepemilikan tanah, di mana sampai hari ini belum terbit regulasi yang kokoh demi melindungi penguasaan lahan yang lebih besar kepada petani (gurem), di samping masih berlanjutnya praktik perampasan tanah.
Kasus kenaikan harga beras semenjak awal tahun menunjukkan beberapa pelajaran pokok. Pertama, pemerintah tak memeriksa rinci dampak keseluruhan rantai kebijakannya sehingga telat mengantisipasi. Awalnya, pemerintah menaikkan harga minyak, kemudian beras untuk rakyat miskin (raskin) tak dibagikan sepanjang akhir 2014, dan proyeksi panen padi molor. Tanpa analisis yang rumit, harga beras pasti terkerek (meskipun tak ada spekulan yang berulah). Kedua, Bulog bukan hanya terlambat melakukan operasi, namun ternyata juga tak memiliki cadangan yang layak. Pada situasi ini, sepenuhnya harga dikendalikan oleh para pedagang kakap yang mendominasi pasokan. Ketiga, sistem informasi yang canggih tak dimiliki sehingga operasi kurang efektif. Perangkat teknologi yang masif kurang dimanfaatkan untuk menambah daya pemetaan sebaran pasokan beras.
Belajar dari hikmah masalah itu, apa pembenahan yang bisa dilakukan? Perubahan kebijakan pasti menimbulkan riak pada titik tertentu, tak terkecuali kebijakan minyak. Pemerintah patut menelaah ulang kebijakan penentuan harga minyak sesuai dengan perkembangan harga internasional. Kapasitas yang dipunyai pemerintah tak memadai untuk mengisolasi instabilitas harga minyak kepada komoditas lainnya, seperti beras. Selanjutnya, Bulog harus memegang cadangan beras dalam jumlah yang besar, paling tidak 3-5 juta ton. Ini membutuhkan 2 syarat: anggaran dan manajemen penyerapan beras (saat panen). Saat ini kita cemas, ketika panen tiba kemampuan Bulog menyerap beras belum tentu bagus karena anggaran yang cekak. Oleh karena itu, presisi ketersediaan anggaran dan kapabilitas manajemen Bulog mesti dikontrol oleh seluruh pemangku kepentingan.
Akhirnya, Bulog harus dikelola layaknya mega-korporasi yang beroperasi disetiap jengkal wilayah Indonesia. Keakuratan data produksi, kuantitas yang dibutuhkan masing-masing wilayah, sebaran produksi, siklus konsumsi mingguan/bulanan, peta jalur distribusi, struktur dan perilaku distributor (kakap), sinyal harga di pasar (induk), dan lainnya mutlak dikuasai Bulog. Teknologi informasi yang canggih mestinya tak sulit diadopsi, apalagi pemerintah memiliki perusahaan (BUMN) yang bergerak di bidang tersebut. Selebihnya, pemerintah wajib meletakkan seluruh kapasitas teknokratik dan panggilan moral untuk mengangkat kembali daya hidup sektor pertanian. Pemerintah tidak boleh takluk berhadapan dengan regulasi internasional dan penetrasi korporasi multinasional, sambil pada saat yang sama tegas memproduksi kebijakan domestik yang bernas pemihakannya.
Â
Â
*Ahmad Erani Yustika, Ekonom Universitas Brawijaya;
Direktur Eksekutif Indef
Â