Secara teoritis pemerintah memiliki kekuatan yang besar untuk menstimulasi perekonomian suatu negara. Salah satu kekuatan yang dipunyai pemerintah adalah membuat kebijakan yang kredibel melalui sumber daya fiskal. Kebijakan fiskal sendiri merupakan rangkaian sumber daya pemerintah terkait anggaran (APBN). Dengan begitu, kebijakan fiskal akan berpengaruh terhadap kondisi perekonomian dalam negeri, karena pada intinya kebijakan fiskal diarahkan untuk memerkuat ekonomi domestik lewat pendapatan negara dan pengeluaran publik. Melalui kebijakan fiskal pemerintah dapat mengontrol segala permasalahan perekonomian yang terjadi di sebuah negara. Kenyataan ini sebetulnya mudah dipahami, namun agak mengherankan apabila hingga sekarang pemerintah cenderung mengabaikan potensi tersebut.
Konservatisme dan Inefisiensi
Teori ekonomi standar menyatakan bahwa pada saat ekonomi normal anggaran bisa didesain seimbang, bahkan surplus. Dalam situasi normal, fungsi APBN lebih banyak didorong untuk memerbaiki fungsi alokasi dan distribusi. Peran sektor swasta lebih besar karena mereka berada dalam posisi bagus untuk melakukan ekspansi. Sebaliknya, pada saat ekonomi mengalami krisis, sektor swasta melemah sehingga dibutuhkan pendorong dari sisi pemerintah. Dalam situasi ini APBN bisa dibuat defisit untuk menjalankan fungsi stabilisasi perekonomian. Dalam kasus Indonesia, baik pada saat ekonomi berada dalam posisi stabil maupun darurat, APBN selalu dibuat defisit, yang tentu berkebalikan dengan dasar teori tersebut. Lebih mencemaskan lagi, defisit anggaran itu disusun dengan semangat konservatisme di sisi penerimaan dan inefisiensi pada sudut belanja.
Pada sisi penerimaan, khususnya terkait pajak, kebijakan harus dikaitkan dengan amanah konstitusi yang salah satunya berporos kepada cita-cita keadilan sosial. Di negara-negara Eropa penganjur welfare state, kebijakan pajak didesain progresif karena meletakkan keadilan sosial di atas kesejahteraan individu. Di luar itu, pajak juga menempati posisi strategis karena alasan: (i) penerimaan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan dasar bagi warga (revenue); (ii) pemerataan sumber daya keuangan negara untuk pengurangan kemiskinan dan pemerataan (redistribution); (iii) salah satu bidang bagi pemerintah untuk membangun akuntabilitas kepada warga dan ruang bagi warga terlibat dalam kebijakan (representation); dan (iv) membatasi barang-barang publik yang buruk dan memperbanyak barang-barang yang baik (repricing) [Sucipto dkk, 2014].
Selain itu, hal yang tak kalah penting adalah strategi penguatan penerimaan negara dengan cara menggali potensi pendapatan negara bukan pajak. Selama ini pendapatan dari hasil sumber daya alam (minyak, gas, batu bara, ikan, hutan, dan lain-lain) melayang karena tata kelola yang buruk. Isu tata kelola ini juga terjadi di BUMN sehingga laba yang diperoleh jauh dari titik optimal. Jadi, sumber pendapatan negara sebetulnya sangat banyak, namun jalan yang harus ditempuh memang berliku. Kekayaan alam dapat menjadi sumber pendapatan negara bukan pajak. Potensi alam mulai dari minyak, bahan tambang, perkebunan, perikanan, sampai kehutanan dapat menjadi sumber peningkatan pendapatan negara. Di sini perlu dipahami, bahwa titik tekannya bukan eksploitasi alam, namun memastikan setiap eksplorasi diterima sesuai dengan nilai yang sebenarnya.
Politik Anggaran
Pilar penting APBN adalah asumsi makroekonomi, yang dibuat sebagai panduan arah kebijakan dan program. Jika asumsi makroekonomi hanya berisi harapan atau target tanpa diimbangi dengan program dan alokasi anggaran yang mendukung, maka dipastikan harapan tersebut tidak akan bisa dicapai. Pada titik inilah salah satu kelemahan APBN yang dirancang pemerintah selama ini. Program dan alokasi anggaran tidak mencerminkan keselarasan asumsi makroekonomi yang dibuat, sehingga kinerja ekonomi yang dihasilkan meleset dari asumsi tersebut. Setidaknya, apabila asumsi makroekonomi itu (sebagian) tercapai, namun kinerja secara mikro tidak mendeskripsikan impian yang sebetulnya. Misalnya, pertumbuhan ekonomi hasilnya sesuai target, tapi angka kemiskinan turun sangat lambat. Lebih menyedihkan lagi, pertumbuhan ekonomi dicapai dengan menyertakan tingkat ketimpangan pendapatan yang tinggi pula.
Di luar itu, di masa depan keberhasilan alokasi dan kualitas anggaran perlu dilihat dari sejauh mana program-program itu dijalankan. Kinerja keberhasilan pelayanan sektor publik tersebut mesti dilihat dari sisi efisiensi dan efektivitas. Efisiensi mendeskripsikan seberapa baik pengorganisasisan pemanfaatan sumber daya dalam memproduksi pelayanan. Sementara itu, efektivitas adalah derajat kesanggupan sebuah sistem untuk mencapai tujuan program yang telah ditentukan. Tujuan-tujuan dari program itu antara lain: (i) aksesibilitas (aspek-aspek semacam kesanggupan, representasi di antara kelompok-kelompok yang menjadi prioritas, dan keterjangkauan fisik); (ii) kesesuaian (menyocokkan pelayanan dengan kebutuhan masyarakat); dan (iii) kualitas (proses pertemuan standar yang dibutuhkan atau timbulnya kegagalan pelayanan) [Dollery dan Wallis, 2001].
Terakhir, anggaran bukan hanya cermin alokasi teknokratis, baik dari sisi penerimaan maupun belanja, namun yang jauh lebih penting adalah makna politiknya, yaitu politik anggaran. Politik anggaran harus dimaknai sebagai keberpihakan kebijakan dan alokasi anggaran yang secara sadar ditujukan untuk menjalankan mandat konstitusi. Sampai hari ini aspek itu nyaris diabaikan sehingga politik anggaran tidak memantulkan cahaya yang terkandung dalam konstitusi. Pasal-pasal ekonomi yang terkait dengan kesejahteraan dan keadilan terpinggirkan karena didesak oleh kepentingan sempit dan jangka pendek. Akibatnya, fungsi APBN sebagai pengungkit kesejahteraan dan keadilan masyarakat menjadi sirna. Jadi, sudah saatnya APBN dilihat sebagai instrumen teknokratis yang bersandar kepada aspek efisiensi dan efektivitas tanpa harus mengubur mandat konstitusi.
Â
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef