Krisis ekonomi global telah menjadi mimpi buruk ekonomi banyak negara karena penjalarannya begitu cepat. Ini efek yang tidak bisa dihindari akibat integrasi sektor perdagangan dan keuangan yang telah sedemikian pekat. Jadi, instabilitas ekonomi bisa dikatakan salah satu sisi mata uang, sedangkan sisi lainnya tak lain adalah integrasi ekonomi via globalisasi. Indonesia juga bukan merupakan perkecualian, di mana krisis ekonomi membuat pertumbuhan ekonomi menurun, meskipun tidak separah yang dialami China atau India. Bagi Indonesia, jalur krisis ekonomi global itu paling terasa dari sisi perdagangan internasional (ekspor-impor). Akibat pertumbuhan ekspor melambat (dan impor tumbuh jauh lebih tinggi) menyebabkan neraca perdagangan tertekan (defisit). Di luar itu, defisit neraca transaksi dan neraca pembayaran juga mengintai akibat sektor jasa dan modal yang tekor. Sampai akhir tahun rasanya defisit perdagangan, transaksi neraca berjalan, dan pembayaran akan menjadi duri perekonomian.
Kinerja Ekspor dan Impor
Krisis ekonomi global rasanya masih akan terus berlangsung cukup lama, meskipun tahun depan ada tanda-tanda yang lumayan menggembirakan. Pada tahun ini diperkirakan negara-negara maju di Eropa rata-rata pertumbuhannya -0,1%. Memang negara seperti Jerman, Perancis, Swedia, Swiss, dan Inggris tumbuh positif; namun negara-negara lain tumbuh suram, misalnya Spanyol, Belanda, Yunani, Italia, dan Portugal. Tapi pada 2013 suasana sudah agak berbeda, karena menurut estimasi IMF (2012) pertumbuhan di negara-negara Eropa rata-rata tumbuh 1,1%. Hampir seluruh negara maju di Eropa akan tumbuh positif, kecuali Italia (-0,3%). Tiga negara besar di Eropa, yakni Jerman, Inggris, dan Perancis masing-masing diproyeksikan tumbuh 1,5%; 1,0%; dan 2,0%. Dengan gambaran seperti itu, maka diharapkan tekanan ekspor pada tahun depan akan mereda sehingga terdapat peluang bagi negara berkembang, seperti Indonesia, memacu perekonomiannya.
Jika dirinci menurut kawasan, sebetulnya problem penurunan ekspor Indonesia di pasar global bukan hanya mengalami penurunan di AS dan Eropa. Berdasarkan data sampai Triwulan II 2012 penurunan pertumbuhan ekonomi yang paling besar memang ke pasar Eropa sebesar 19,07%, sedangkan ke AS tumbuh -7,57%. Di luar itu, ekspor ke Asia Timur dan Tengah -6,02%, Asean -1,07, Australia -2,22%, dan Afrika -7,29% (BPS, 2012). Ini artinya, penurunan ekspor itu tidak hanya terjadi ke negara tujuan Eropa dan AS. Sungguh pun begitu, penurunan ekspor ke kawasan lainnya ada kaitannya dengan krisis di Eropa dan AS. Intinya, pertumbuhan ekonomi kawasan lain turun akibat krisis Eropa dan AS, yang selanjutnya mengakibatkan permintaan barang/jasa negara kawasan lain itu juga menurun. Jadi, penurunan ekspor Indonesia ke negara selain Eropa dan AS itu merupakan efek berantai dari krisis global (second round effect). Fakta ini mesti dipahami secara detail agar tidak keliru dalam perumusan kebijakan.
Sebaliknya, dari sisi impor terdapat kinerja yang justru sangat berbeda. Pada saat kinerja pertumbuhan ekspor mengalami pertumbuhan negatif ke seluruh kawasan, impor Indonesia justru tumbuh positif. Sampai Triwulan II 2012, impor dari AS tumbuh 0,68% (yoy). Impor dari kawasan Eropa malah lebih spektakuler, yaitu mencapai (11,65%). Di samping itu, pertumbuhan ke Asia dan Timur tengah 8,10%, China 10,2%, dan Afrika tumbuh fantastis sebesar 48,6%. Tercatat cuma impor dari Australia saja yang tumbuh negatif sebesar 3,3% (BPS, 2012). Data inilah yang memperjelas mengapa neraca perdagangan nasional mengalami defisit. Pada saat ekspor mengalami perlambatan yang cukup besar, impor justru mengalami pertumbuhan pesat. Beberapa pihak meramalkan situasi ini akan terus terjadi sampai akhir tahun. Tapi berita agak baik datang baru saja ketika BPS mengumumkan neraca perdagangan Agustus 2012 mengalami surplus tipis (US$ 248,7 juta), meskipun belum tentu jaminan kondisi ini akan sampai akhir tahun.
Mengerem Liberalisasi
Jika dikuliti lebih dalam, struktur impor Indonesia berdasarkan golongan penggunaan barang sampai Semester I 2012 terbagi dalam tiga jenis: bahan baku/penolong 72,63%, barang modal 20,34%, dan barang konsumsi 7,03% (BPS, 2012). Komposisi seperti itu menerbitkan dua hal sekaligus. Pertama, hal itu merupakan berita baik karena dengan proposi barang konsumsi hanya sekitar 7% berarti ketergantungan barang jadi dari negara lain tidak terlalu besar. Dengan kata lain, kebutuhan barang jadi sebagian besar bisa dicukupi oleh produksi domestik, meskipun sebagian bahan bakunya harus diimpor. Kedua, hal itu merupakan warta buruk sebab porsi impor bahan baku yang mencapai 72% menunjukkan bahwa sektor industri/jasa dikembangkan tanpa pijakan sumber daya ekonomi domestik. Dengan struktur seperti ini, maka Indonesia kehilangan kesempatan untuk meningkatkan daya saing komoditas dan penciptaan lapangan kerja di sektor hulu. Seharusnya, Indonesia lebih memprioritaskan industri/jasa berbasis bahan baku domestik sehingga mengurangi ketergantungan impor bahan baku.
Sementara itu, struktur ekspor Indonesia sampai semester I 2012 juga bisa dikelompokkan dalam tiga sektor: sektor pertanian 2,74%, sektor industri 60,34%, dan sektor migas 20,40% (BPS, 2012). Catatan yang perlu disampaikan terhadap struktur ekspor itu sebagai berikut. Pertama, proporsi ekspor sektor pertanian yang kecil sebetulnya menggembirakan apabila dibaca sebagai tren penurunan ekspor bahan mentah. Tapi yang terjadi di Indonesia sebaliknya, keterbatasan ekspor pertanian bukan diakibatkan diolah menjadi bahan jadi (yang kemudian dihitung sebagai komoditas sektor industri), tapi disebabkan kemerosotan produksi sehingga ekspor tak lagi dimungkinkan dalam jumlah besar, bahkan sebagian malah impor. Kedua, proporsi sektor industri yang cukup besar sebetulnya juga harus disyukuri, namun lagi-lagi ini patut disesali karena sebagian (besar) komoditas ekspornya tidak berbasis bahan baku domestik, tapi impor.
Dengan deskripsi tersebut, bisa dikatakan ada problem struktural menyangkut defisit perdagangan Indonesia. Krisis global itu hanya faktor pemicu dan penambah tingkat keterparahan, sehingga menganggapnya sebagai penyebab utama merupakan sebuah kesalahan. Di luar itu, faktor lain yang perlu dicermati adalah ketergesaan Indonesia untuk meliberalisasi perekonomian secara massif sehingga mematikan insentif produksi domestik, termasuk di sektor pertanian. Impor komoditas bak air bah tanpa bisa dibendung, sehingga makin menyulitkan upaya mencetak surplus perdagangan. Matinya sektor pertanian tidak dapat dilihat sekadar sebagai angka-angka dampak ekonomi yang ditimbulkannya, namun juga pudarnya nilai-nilai sosial dan pelampung solidaritas ketika perekonomian diguncang krisis. Oleh karena itu, perubahan kebijakan industrialisasi dan sikap terhadap liberalisasi merupakan agenda pemerintah yang paling mendesak untuk memerbaiki neraca perdagangan internasional.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef