Pernyataan ini menggambarkan keadaan pasar secara tepat: pasar adalah refleksi dari eksistensi kekuasaan, sehingga pasar tidak hanya mengontrol tetapi juga dikontrol (Miller, 1988). Pasar mengontrol keseimbangan pasokan dan permintaan lewat sinyal harga. Jika harga naik, itu tanda pasokan mesti ditambah; demikian sebaliknya. Seluruh proses itu bisa dikoordinasi secara rapi oleh pasar, tanpa perlu intervensi negara, jika situasi pasar bersaing sempurna. Tapi, mengandaikan situasi pasar seperti deskripsi itu acap membuat frustrasi, karena pasar persaingan sempurna lebih layak disebut fatamorgana. Di dalam pasar kerap kali bagian hulu (produksi) dikerjakan oleh segelintir pelaku ekonomi, distribusi dikuasai kelompok kecil kawanan, dan pemasaran dibekap oleh sedikit pemain kakap, sehingga pada kondisi inilah pasar dikontrol oleh pemilik kuasa tersebut.
Situasi itulah yang sekarang terjadi pada pasar beras nasional. Berikut ini kronologisnya. Pemerintah sementara waktu menghentikan pasokan beras untuk warga miskin (raskin) sejak akhir 2014. Pemerintah kemudian mengumumkan panen raya tahun ini mundur menjadi sekitar Maret/April 2015. Setelah itu, Bulog juga membuka data bahwa beras yang ada di gudangnya hanya 1,4 juta ton. Kisah itu bagi orang awam mungkin tak memiliki banyak arti, tapi bagi pelaku ekonomi (pedagang beras) merupakan informasi yang sempurna untuk melakukan atraksi spekulasi. Jika diperas, rangkaian data itu punya dua bunyi: pasokan beras di pasar akan segera mengering (jumlahnya menyusut) dan Bulog tak memiliki kekuatan yang besar untuk intervensi. Celakanya lagi, telah lama diketahui, pasar distribusi beras (juga pangan lainnya) adalah oligopolistik.
Tak perlu waktu yang lama, destruksi pasar akhirnya terjadi. Dalam tempo yang cepat harga beras melonjak tak terkendali. Pada November 2014 harga beras medium masih Rp 8.544, Desember 2014 Rp 9.343, Januari 2015 Rp 9.646, Februari Rp 9.943, dan Maret 2015 Rp 10.591 (Kemendag, 2015). Jadi, kenaikan harga beras itu sebetulnya keniscayaan yang seharusnya bisa diantisipasi. Pertama, pemerintah terlambat mengantisipasi masuk ke pasar saat pasokan terindikasi berkurang, baik oleh sebab tidak adanya raskin maupun panen yang telat. Pemerintah panik dan baru siuman ketika harga melesat. Kedua, pedagang leluasa menahan pasokan karena mengharap marjin yang lebih tinggi. Mereka mampu melakukan itu karena menguasai stok dalam jumlah besar. Kapasitas Bulog untuk melakukan intervensi juga mudah dibaca sehingga pedagang bisa mengukurnya.
Kenaikan harga beras sebesar 30% itu tentu meluluhlantakkan daya tahan ekonomi rumah tangga miskin. Studi yang dilakukan Dawe dan Timmer (2012) menyebutkan 25-40% pendapatan kaum miskin digunakan untuk konsumsi beras. Â Jika dipakai angka 40%, maka kenaikan harga beras 30% bakal menggerogoti pendapatan riil rumah tangga miskin sebesar 12%. Apabila pendapatan rumah tangga hanya 10% di atas garis kemiskinan, maka status mereka langsung jatuh sebagai kelompok papa baru. Dengan begitu, stabilisasi harga beras merupakan keharusan demi menyelamatkan tiga hal sekaligus: stabilitas ekonomi warga miskin, pendapatan petani (beras), dan makroekonomi. Pendapatan petani turut terjaga apabila harga stabil, khususnya saat panen raya. Ketika harga naik petani juga sering tak menikmati karena sebagian besar marjin diambil pedagang.
Lantas, apa yang mesti disiapkan agar peristiwa serupa tak seperti cerita berseri? Bulog sebaiknya menambah stok minimal 10% dari kebutuhan domestik. Dengan kekuatan itu, Bulog bisa berperan sebagai penentu harga, khususnya ketika pasar bergejolak. Bulog tak perlu pula mengumumkan jumlah stoknya karena akan menjadi informasi empuk pedagang. Berikutnya, titik-titik baru jalur distribusi dan pemasaran harus diciptakan, sehingga tata niaga tidak didominasi segelintir pelaku yang punya kuasa kontrol pasokan. Selebihnya, pemerintah mesti terus berada di pasar untuk mengukur suhu harga dan pasokan. Informasi pasokan wajib diperbaiki dari hari ke hari dan proyeksi pasokan mingguan/bulanan harus valid. Kredibilitas/proyeksi data dan kesigapan eksekusi merupakan modal yang dibutuhkan Bulog untuk menguasai keadaan.
Kualitas beras yang dipegang Bulog juga tak bisa lagi jenis rendah. Di lapangan, beras semacam itu (raskin) sebagian tak dikonsumsi langsung (tapi dijual kembali ke pedagang eceran dan dioplos). Ketika operasi pasar diperlukan, beras kualitas rendah juga tak efektif menurunkan harga secara cepat. Pertanyaan yang acap diulang, apakah impor dibutuhkan dalam situasi seperti sekarang? Impor tak diperlukan ketika kondisi pelonjakan harga sudah terjadi (dan Bulog masih pegang stok), sehingga sikap Menteri Perdagangan tak mengimpor beras sudah tepat. Namun, langkah itu perlu dilengkapi operasi pasar untuk memastikan tak ada beras yang ditahan oleh pemain kakap. Jadi, dua jenis operasi pasar dilakukan sekaligus untuk memastikan pasokan bertambah. Jika masih ditemukan pelaku ekonomi yang mengeruk laba dengan cara jahat, maka pemerintah wajib mengeksekusinya. Pasar harus dijinakkan, jangan dibiarkan membinasakan.
Â
*Ahmad Erani Yustika, Ekonom Universitas Brawijaya;
Direktur Eksekutif Indef