Sejak dekade 1980-an interaksi ekonomi antarnegara makin pekat, khususnya pada saat liberalisasi menjadi bahasa pergaulan ekonomi internasional. Indeks keterbukaan masing-masing negara makin besar, yang menunjukkan kesediaan negara tersebut untuk bekerjasama dalam kegiatan ekonomi secara lebih intensif. Pola ini juga diikuti Indonesia dengan derajat keterbukaan yang lumayan besar, bahkan dianggap yang paling terbuka pada level Asia. Sektor keuangan (perbankan) Indonesia sudah terbuka sejak dekade 1980-an ketika bank asing diberi kelonggaran untuk melakukan aktivitas di sini. Setelah itu, investasi juga juga dibuka mulai awal 1990-an, yang dilanjutkan secara formal dengan dikeluarkannya UU No. 25/2007. Liberalisasi perdagangan juga kian masif pasca-krisis ekonomi 1997/1998, di mana dengan panduan IMF Indonesia mulai mengurangi tingkat tarif perdagangan sehingga secara umum arus ekspor-impor menjadi lebih leluasa bergerak.
Posisi Indonesia
Secara ekonomi tidak bisa dipungkiri Indonesia telah berada dalam radar perekonomian global dalam banyak aspek. Ukuran ekonomi Indonesia termasuk yang paling besar di dunia, sekarang menempati ranking 16 (dari PDB) sehingga masuk G-20. Pada forum G-20 ini Indonesia menjadi satu-satunya wakil Asean. Tentu saja ini posisi yang menguntungkan karena Indonesia dapat melakukan pertemuan reguler dengan negara-negara maju lainnya, seperti AS, Jerman, Inggirs, Jepang, Korsel, China, India, Brazil, dan lain-lain. PDB Indonesia pada 2012 dalam forum G-20 di atas Turki, Belanda, Arab Saudi, dan Swiss. Kontribusi PDB Indonesia terhadap total PDB G-20 sekitar 1,5%. Secara umum, kontributor PDB terpenting dari G-20 ini adalah AS, China, dan Jepang. Peran sumbangan PDB Indonesia ini tergolong kecil karena dari sisi jumlah penduduk Indonesia mendonorkan hampir 5% dari total jumlah penduduk G-20. Jika dibuat paralel, maka Indonesia sekurangnya harus menyumbangkan 5% dari toal PDB G-20. (WEF, 2013).
Dalam hal stabilitas makroekonomi, Indonesia juga memiliki prestasi yang lebih bagus dari sebagian besar anggota G-20. Defisit fiskal terjaga tidak lebih dari 3% PDB, demikian pula rasio utang hanya 25% dari PDB, jauh lebih rendah dari konsensus maksimal 60%. Jika dibandingkan dengan AS dan beberapa negara Eropa, maka defisit fiskal dan rasio utang Indonesia jauh lebih sehat. Tentu saja hal ini tidak lantas menjamin bahwa Indonesia semuanya aman, karena dalam beberapa hal ada variabel lain yang mesti diwaspadai. Pada 2012 Indonesia untuk pertama kali mengalami defisit primer, yakni pendapatan lebih kecil ketimbang belanja di luar pembayaran utang. Demikian pula untuk variabel DSR (debt service ratio) mengalami peningkatan, di mana pada akhir 2013 lalu sempat di atas 42%. Padahal idealnya DSR ini di bawah 30%. Peningkatan DSR ini lebih banyak disebabkan oleh turunnya ekspor sehingga membuat angka pembilang menjadi mengecil.
Kinerja makroekonomi lainnya juga cukup bagus. Investasi, misalnya, saat ini rasionya sudah berada di kisaran 32% terhadap PDB. Ini merupakan angka tertinggi dibandingkan Indonesia sebelum diguncang krisis ekonomi 1997/1998 lalu. Pada 1996, rasio investasi terhadap PDB hanya pada level 28%. Dengan demikian, selama 10 tahun terakhir ini telah ada peningkatan investasi yang lumayan besar, meskipun masih jauh ketimbang yang dicapai oleh anggota G-20 lainnya (bahkan juga dengan negara tetangga di Asean). Pengangguran juga mengalami penurunan, di mana pengangguran di Indonesia sekarang sekitar 6,2%. Ini lebih rendah ketimbang Afrika Selatan, Italia, Perancis, Turki, India, Kanada, Inggris, AS, dan Argentina (CIA the book dan BPS, 2014). Sungguh pun begitu, inflasi Indonesia tergolong tinggi dibandingkan dengan anggota G-20 lainnya. Inflasi Indonesia cukup tinggi bersanding dengan Argentina, India, dan Turki (OECD, 2014).
Agenda Domestik
Dengan situasi tersebut memang Indonesia selayaknya percaya diri untuk bermain dalam konstelasi ekonomi global. Di masa depan sekurangnya dua peta akan terjadi dalam konstelasi ekonomi dunia. Pertama, poros di luar AS dan Eropa akan makin besar peranannya. China, Brazil, India, dan India bakal merangsek peranannya karena ditopang oleh jumlah penduduk yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang stabil. Di luar itu masih ada pelapis lain, seperti Korsel, Afrika Selatan, Meksiko, dan lain sebagainya. Dengan begitu, porsi AS dan Eropa akan makin tergerus dalam ekonomi global. Kedua, kesepakatan liberalisasi baik dalam kerangka WTO maupun blok-blok perdagangan kian mendapatkan tantangan yang keras akibat implikasi ekonomi yang tidak setara antara negara maju dan berkembang. Renegosiasi sangat mungkin terjadi, bahkan dimungkinkan terjadi pembentukan blok ekonomi baru yang lebih mencerminkan kepentingan negara berkembang.
Dengan gambaran tersebut, maka Indonesia harus mereposisi perannya secara lebih cerdas. Indonesia perlu memerkuat kerjasama ekonomi dengan negara berkembang yang sedang menjadi poros ekonomi baru, seperti China, Korsel, India, Brazil, Afrika Selatan, dan lain sebagainya. Kerjasama ekonomi di antara negara-negara tersebut bukan semata untuk meningkatkan kapasitas ekonomi, namun juga terkait dengan merumuskan poin yang lebih strategis dalam memainkan peran dalam pentas ekonomi global. Berikutnya, Indonesia harus menjadi juru bicara yang fasih untuk membela kepentingan negara yang dirugikan dalam kesepakatan ekonomi global. Indonesia dan negara-negara poros baru ekonomi dituntut tidak mementingkan diri sendiri, tapi berbagi kepedulian dengan negara yang hancur akibat keterbukaan ekonomi. Pada dekade 1950-an Indonesia pernah memerankan dengan sangat baik posisi tersebut, sehingga secara empiris pernah ada sejarah keberhasilan itu.
Sungguh pun begitu, tidak mudah memainkan posisi yang strategis itu, perlu memastikan bahwa agenda (ekonomi) domestik terselesaikan terlebih dulu. Struktur ekonomi nasional masih rapuh, antara lain ditunjukkan oleh ekspor yang ditopang oleh komoditas primer, peran usaha kecil dan menengah tidak optimal, produktivitas tenaga kerja rendah, sumbangan sektor industri yang makin turun, kesinambungan fiskal yang belum sepenuhnya meyakinkan, sektor perbankan belum terkait dengan sektor riil secara baik, kebijakan moneter yang cenderung melemahkan daya dorong perekonomian, dan lain sebagainya. Itu semua adalah agenda ekonomi aktual yang relevan untuk diselesaikan secara cepat. Apabila sebagian besar agenda itu dapat diselesaikan dalam jangka pendek, maka cukup mudah bagi Indonesia memainkan peran sentral dalam kancah ekonomi dunia. Selebihnya, visi pemimpin mendatang harus paralel dengan situasi ini agar tidak terkurung dalam pikiran yang sempit.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef