Begitu Dana Desa dikucurkan pada 2015, aneka kerumitan masalah muncul. Program besar ini dieksekusi tanpa ada masa transisi, misalnya sosialisasi regulasi dan penyiapan aparatur desa. Alhasil, dibutuhkan instrumen untuk mengawal pelaksanaan ini agar berjalan dengan mapan.
Salah satu instrumen itu tak lain adalah pendamping desa, dari mulai Tenaga Ahli (kabupaten), Pendamping Desa (kecamatan), dan Pendamping Lokal Desa (desa). Di luar itu juga ada pendamping kawasan perdesaan, yakni pendamping yang menginisiasi kerjasama antardesa sehingga terbentuk kawasan perdesaan (jumlahnya saat ini sekitar 120 orang).
Pada 2015 baru 10 ribu pendamping desa yang bisa diaktifkan, dan sekarang telah mencapai 39 ribu (TA, PD, PLD) untuk mendampingi hampir 75 ribu desa. Mereka menjadi salah satu tulang punggung pelaksanaan program Dana Desa. Melakukan supervisi dari sejak perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan desa.
Melaksanakan seleksi terhadap pendamping desa juga merupakan persoalan sendiri. Animo melimpah, jumlah pendaftar membludak. Saya membayangkan pendamping desa adalah kaum organik yang sudah berada di desa dan berjuang lama di desanya masing-masing. Mereka adalah orang yang punya cinta dan telah berkubang air mata dengan seluruh persoalan warga desa.
Pendidikan formal tak terlalu penting, bahkan tamatan SD saja cukup, sebab yang dibutuhkan adalah keterampilan pemberdayaan. Tapi, regulasi pemerintah menyulitkan ide tersebut. Penggajian mesti mengikuti standar baku yang ada, sehingga minimal pendamping mesti tamat SLTA atau sederajat. Selebihnya, saya pasrahkan proses seleksi ke PTN (Perguruan Tinggi Negeri) di masing-masing provinsi.
Selama tiga tahun ini para pendamping desa telah melakukan segalanya, sekuat-sekuatnya. Salah satu yang layak disimak adalah sepak terjang Leo Pigome. Pria dengan badan liat ini, meski agak kurus, telah membuktikan pengabdian tanpa batas.
Leo mulanya mendampingi 3 kampung (desa) di Papua. Namun, karena jumlah pendamping yang amat sedikit, ia harus mendampingi 12 kampung. Antarkampung sebagian besar terisolasi sehingga ia mesti jalan kaki, bahkan kadang sampai 30 jam. Gaji sebagai pendamping habis hanya untuk transpor dan bekal makanan, tak ada yang tersisa untuk keluarga. Hebatnya, dia sanggup menyusun rencana pengurangan korupsi dan merancang transparansi agar Dana Desa berfaedah bagi warga. Dia kumpulkan tokoh kampung dan pemuka agama untuk mengawal penggunaan Dana Desa. Ia bisa menyatukan kekuatan informal dalam program formal pemerintah. Leo nyaris paripurna sebagai pendamping.
Kurang lebih keteguhan itu pula yang didedikasikan oleh Nur Irawati, pendamping desa di Kabupaten Muaro Jambi. Ia sudah lama menjadi pendamping desa sehingga sigap mengawal perencanaan, eksekusi program, dan pengawasan Dana Desa. Musyawarah desa berhasil ia dinamisir sehingga semua yang hadir mau berbicara untuk kepentingan desa. Demikian pula penyusunan APBDesa begitu rapi dan tajam sesuai dengan kebutuhan desa. Lebih menukik lagi, Nur juga paham bahwa inti pembangunan adalah pemberdayaan warga. Oleh karena itu, ia ajari kaum perempuan untuk memanfaatkan seluruh sumber daya ekonomi yang ada di desa.
Tiap pekarangan rumah sekarang menjadi ladang ekonomi warga. Setidaknya kebutuhan sehari-hari tidak perlu dibeli lagi. Ketahanan ekonomi keluarga meningkat sehingga terdapat ruang bagi peningkatan belanja rumah tangga untuk pendidikan. Sesuai namanya, Nur telah menjadi cahaya desa.
Leo dan Nur menjadi saksi vital atas peran pendamping desa. Masih banyak lagi yang bertarung seperti mereka: menjadi tombak yang berada di lapangan. Seluruh urusan kelancaran pembangunan dan pemberdayaan desa diharapkan terpapar dari pikiran dan hati mereka. Pendeknya, mereka menjadi jantung gerakan pemberdayaan.
Tentu saja semua perkara ini tak gampang dijalani. Medan pertempuran begitu terjal. Tiap perjuangan pasti berkawan dengan aneka rintangan. Langkah tapak kaki selalu dipenuhi tusukan duri. Kerap mereka harus menginjaknya, bahkan berkali-kali, hingga kadang menciutkan nyali.
Amal kebajikan mereka tak selalu membuat seluruh pihak nyaman, apalagi bagi orang-orang yang seluruh pikiran dan hatinya diselimuti kebencian. Para pejuang desa itu kerap menerima cibiran, bahkan cacian. Dinamika itulah yang menjadi warna dari gerak pendamping desa.
Begitulah, tanpa mental dan kecakapan, pasti para pendamping itu akan terpental dari medan laga. Mereka sudah paham bahwa pejuang berbuat tidak berdasarkan harapan pujian atau takut ancaman, tapi oleh hasrat pengabdian. Demikian pula, ucapan seseorang boleh membalik atau meniadakan pekerjaan yang telah tertunaikan, tapi jejak amal tak pernah bisa dipinggirkan.
Mereka meyakini bahwa tiap perbuatan pasti akan memunculkan energi kekuatan: tangan-tangan tak tampak berayun di belakang layaknya gelombang. Dengan kesadaran penuh mereka memahami bahwa kejuangan dan kematangan akan diuji oleh beragam kesulitan, bukan aneka kemudahan. Selama ini mereka menjawab tiap cemooh tidak dengan lisan, tetapi menegakkan dengan perbuatan.
Pendamping desa itu juga mengerti bahwa mereka sedang melakoni perjalanan jauh dan terjal, sehingga itu menjadi alasan di antara mereka mesti bergandengan tangan. Jika mereka terperosok untuk menjadi pahlawan bagi dirinya sendiri, maka seluruh urusan akan dipanggul secara pribadi, lupa mengajak warga berpartisipasi, atau sekurangnya merangkul pendamping desa lainnya untuk turut memecahkan masalah. Bila ini yang terjadi, maka investasi kegagalan sedang dipersiapkan.
Dengan makin banyaknya jumlah pendamping desa, maka kerja kolaborasi harus dikedepankan, melampaui hasrat berkompetisi. Kerjasama akan menguatkan, sebaliknya mengisolasi diri akan mengempiskan pembangunan.
Akhirnya, semua hal tak ada yang sempurna, termasuk pendamping desa. Mereka telah mengerahkan segala daya yang dipunyai, namun pasti belum sesuai harapan seluruh desa dan warga desa. Ada beberapa yang mungkin menyimpang dari tugas yang mereka sandang. Tapi itu tidak akan mengurangi makna sebagian besar pendamping desa yang telah memanggul tugas dengan kemuliaan.
Pakaian mereka boleh jadi lusuh dan sepatu sobek, tapi mereka bertekad untuk tidak lembek. Pengabdi adalah kumpulan para pemenang, bukan pecundang. Pemenang untuk menegakkan misi keadilan, kesejahteraan, dan kemanusiaan.
Bersihkan hati, luruskan niat, dan kuatkan tekad. Jalan masih panjang dan mendaki, selamat berjuang para pendamping desa: sekuat-kuatnya, sehormat-hormatnya.
Ahmad Erani Yustika
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya/Staf Khusus Presiden