Ini masih soal inflasi. Sebagian besar ekonom meyakini bahwa inflasi Maret 2008 akan lebih rendah ketimbang Februari 2008. Ternyata, prediksi itu jauh dari kenyataan karena inflasi Maret 2008 melambung ke angka 0,95%. Secara keseluruhan, Triwulan I 2008 inflasi mencai 3,41%. Angka itu sudah lebih dari separuh target pemerintah yang mematok inflasi 2008 sebesar 6,5%. Jadi, rasanya total inflasi 2008 pasti akan melonjak di atas 7%. Bahkan, apabila inflasi dihitung year-on-year (Maret terhadap Maret), maka inflasi sekarang sudah mencapai 8,17%. Jika ingin dibandingkan dengan tahun sebelumnya, maka inflasi Maret 2008 jauh lebih tinggi daripada Maret 2006 (0,03%) dan Maret 2007 (0,24%). Fenomena inflasi kali ini sangat menarik untuk dicermati sebab terdapat gejala yang kian pasti bahwa sumber inflasi tersebut tidak lagi dalam area moneter maupun jumlah produksi dan harga internasional (khususnya komoditas pangan). Faktor-faktor non moneter inilah yang mesti diperiksa secara saksama.
Inflasi dan Kemiskinan
Inflasi kali ini pasti memukul golongan masyarakat miskin karena sumber utama inflasi berasal dari kenaikan harga pangan dan bahan makanan. Padahal, struktur pengeluaran masyarakat miskin sekitar 80% digunakan untuk konsumsi pangan. Tentu saja implikasi inflasi seperti sekarang akan memiliki dampak yang berlainan apabila sebagian besar penyumbang inflasi berasal dari non-pangan (misalnya barang elektronika). Jika terakhir ini yang terjadi, maka kaum miskin tidak terlalu terkena beban. Dengan begitu, tanpa pengendalian inflasi atau mencari terobosan pemecahan lain, maka inflasi kali ini berpotensi menambah jumlah orang miskin baru. Di luar itu, inflasi sekarang juga tidak memiliki dampak peningkatan pendapatan terhadap petani, meskipun harga komoditas pertanian sedang melesat. Hal ini terjadi karena komoditas pangan tersebut sudah tidak di tangan petani dan posisinya yang selalu marginal berhadapan dengan pelaku di sektor hilir.
Berikutnya, penyebab inflasi kali ini juga tidak bisa disederhanakan hanya karena kenaikan harga minyak dan komoditas pangan di pasar internasional. Sumber kenaikan harga ini dapat dipakai untuk menerangkan inflasi pada akhir 2007 dan awal 2008 (sebelum Maret), tapi tidak sahih lagi pada saat ini. Sebab, sejak Maret 2008 sudah terdapat tendensi stabilitas harga komoditas di pasar internasional, meskipun tetap dalam kisaran harga yang tinggi, sehingga inflasi domestik mestinya sudah diserap sebelum Maret 2008. Oleh karena itu, harga pangan domestik yang tidak menunjukkan gejala penurunan (setidaknya stabil) bukan lagi disebabkan oleh pergerakan harga internasional. Di sinilah perlu ditelusuri secara mendalam kelembagaan inflasi saat ini. Maksud kelembagaan di sini adalah koridor aturan main yang telah didesain, tetapi dalam implementasinya mengalami banyak gangguan.
Salah satu sebab yang paling mungkin adalah soal kelembagaan distribusi komoditas pangan (pertanian secara umum) yang tidak tuntas sampai sekarang. Kelembagaan distribusi komoditas pangan di Indonesia sangat oligopolis, di antaranya komoditas gula, kedelai, dan minyak goreng. Pelaku di sektor hilir (untuk minyak goreng juga terjadi di hulu) yang jumlahnya hanya segelintir inilah yang menguasai rantai distribusi sehingga dengan mudah dapat mengendalikan pasokan di pasar. Kekuatan pelaku distribusi ini sangat besar sehingga hanya pemerintah yang dapat meregulasi agar kontrol harga dan pasokan tidak lagi di tangan mereka. Tetapi, desain regulasi itu bukan pada tataran teknis, seperti dengan membuat HPP (harga pokok pemerintah) atau penetapan harga dasar, melainkan juga membuka kesempatan pelaku ekonomi yang mau masuk ke rantai distribusi sehingga struktur pasarnya tidak lagi terkonsentrasi (oligopolistis).
Kebijakan Alternatif
Setelah memahami karakter inflasi semacam itu, sebetulnya kebijakan apa yang bisa disusun pemerintah (termasuk bank sentral/BI) untuk mengatasinya? Sejak beberapa tahun terakhir ini BI memang telah fokus menerapkan kebijakan panargetan inflasi (inflation targeting) dengan hasil yang cukup bagus. Tapi, nampaknya BI harus berhitung ulang untuk memakai kebijakan tersebut pada situasi sekarang. Pertama, kondisi saat ini memperlihatkan bahwa penyumbang inflasi tidak lagi dalam ruang lingkup moneter, misalnya kenaikan pangan dan minyak, sehingga kemampuan BI menjadi sangat berkurang untuk mengendalikannya. Kedua, BI sendiri sudah mulai kedodoran untuk mengendalikan inflasi inti (khususnya yang berasal dari kurs rupiah/dolar). Jadi, dalam posisi ini untuk mengendalikan inflasi inti saja sebenarnya kesanggupan BI sudah mulai merosot, mungkin hal ini juga disebabkan karena persoalan internal (seperti kasus yang menimpa Burhanudin Abdullah).
Menurut saya, dalam situasi ini mesti ada salah satu variabel ekonomi yang dikorbankan. Secara teoritis, memang tidak logis untuk menurunkan BI rate di tengah situasi inflasi yang tinggi. Tapi, jika kita bepikir text-book, maka bisa jadi semuanya tidak akan tercapai. Oleh karena itu, perlu dipikirkan untuk menurunkan BI rate yang nantinya akan ditransmisikan ke dalam penurunan suku bunga kredit. Harapannya, penurunan suku bunga akan mendorong investasi. Seterusnya, peningkatan investasi akan membuka lapangan kerja dan penambahan output. Pemerintah tinggal memberi insentif agar investasi itu lari ke sektor padat karya (pertanian dan industri menengah/kecil) sehingga lapangan kerja yang dibuka menjadi lebih besar. Sehingga, kalaupun dengan kebijakan ini inflasinya tetap tinggi akan bisa dikompensasi oleh kenaikan daya beli (akibat memeroleh pekerjaan). Kebijakan ini jauh memberikan kepastian ketimbang memaksakan pengendalian inflasi yang sulit dilakukan.
Jawa Pos, 4 April 2008
*Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Indef dan Ketua Program
Studi Magister Ilmu Ekonomi Pascasarjana FE Unibraw