Laporan Bank Dunia yang bertajuk “Curbing Fraud, Corruption and Collusion in the Roads Sector†(Mei 2011) pantas menjadi perhatian pemerintah jika ingin pembangunan infrastruktur lekas terselesaikan dan menjadi modal pembangunan ekonomi. Meskipun temuan Bank Dunia itu bukan hal yang baru, tapi diharapkan daya tekan temuan tersebut membuat pemerintah benar-benar serius mengatasi masalah korupsi dalam proyek-proyek pemerintah, khususnya pembangunan infrastruktur. Sejak adanya otonomi daerah dan demokrasi politik yang kian terbuka, ternyata soal korupsi tidak lantas mudah terkikis. Sebaliknya, intensitas korupsi makin masif dan mengalami perluasan hingga ke daerah-daerah. Perluasan kewenangan kepada daerah untuk mengelola dan menjalankan anggaran tanpa diimbangi dengan aturan main yang komplet telah menjadi lahan subur tumbuhnya korupsi. Patologi inilah yang sedang terjadi di Indonesia.
Otonomi Daerah dan Korupsi
Tidak ada yang memungkiri betapa pentingnya peran infrastruktur dalam aktivitas ekonomi. Dalam laporan Bank Dunia tersebut ditunjukkan beberapa studi yang secara jelas memaparkan kaitan di antara keduanya. Di pedesaan India, misalnya, pembangunan jalan telah meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas pertanian (Fan, Hazell, dan Thorat, 1999). Demikian pula, pembangunan jalan di China dan Thailand memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan output, baik dalam kegiatan pertanian maupun non-pertanian (Fan, et. al., 2000, 2002, 2004). Hal yang sama juga terjadi di Meksiko, di mana pembangunan jalan memberikan donasi yang kuat terhadap peningkatan produktivitas tenaga kerja (Deichman, et. al., 2002). Oleh karena itu, semua negara berkembang selama satu dekae terakhir berlomba-lomba memerbaiki infrastruktur untuk mendongkrak pembangunan ekonominya.
Dalam konteks Indonesia, proyek-proyek besar pembangunan infrastruktur (jalan, jembatan, pelabuhan, listrik, dan lain-lain) memang masih menempatkan pemerintah pusat sebagai pengatur dan pengelola (tentu dengan keterlibatan daerah). Namun, proyek-proyek infrastruktur dalam skala yang lebih kecil merupakan domain pemerintah daerah sepenuhnya. Pemda diberi kewenangan mutlak melakukan pembangunan infrastruktur sesuai dengan kebutuhan masing-masing, baik dikerjakan dengan anggaran sendiri maupun bekerjasama dengan swasta. Namun, jika dilihat kondisi dan kualitas infrastruktur daerah yang kian hancur pasca-pelaksanaan otonomi daerah, maka temuan Bank Dunia itu mendapatkan konfirmasi yang meyakinkan. Pemerintah pusat dan daerah bergemuruh melakukan pembangunan infrastruktur, tapi realitasnya kondisi infrastruktur malah banyak yang makin hancur.
Itulah sebabnya korupsi dianggap sebagai patologi yang kronis dalam otonomi daerah ini, termasuk dalam pembangunan infrastruktur. Sulit untuk memeroleh angka yang pasti berapa proporsi anggaran yang disunat atau di-mark-up dalam setiap proyek pengerjaan infrastruktur, seperti jalan. Namun, jika menyimak laporan Bank Dunia itu, maka proporsi anggaran yang di-mark-up di negara berkembang rata-rata 40% (di negara maju, seperti Jepang, kisaran mark-up sebesar 20%). Jadi, bisa dibayangkan berapa kerugian yang harus ditanggung negara jika anggaran dirampok sebanyak itu. Jadi, soalnya sekarang bukan lagi ada atau tidak pembangunan infrastruktur, tapi sampai sejauh mana alokasi anggaran sudah dipakai dengan benar atau kualitas infrastruktur dapat mendukung kegiatan ekonomi. Bahkan, ada kasus di daerah tertentu jembatan langsung ambruk tidak lama setelah diresmikan pejabat.
Menyimak kasus ini, sebetulnya terdapat beberapa soal serius yang harus ditangani pemerintah sehingga korupsi dalam pembangunan infrastruktur bisa direduksi. Pertama, proses tender harus betul-betul dibuatkan aturan main yang ketat, bila perlu dilakukan oleh lembaga independen sehingga peluang terjadinya kolusi dapat diperkecil. Seperti dimaklumi, proses tender yang tidak benar pasti akan menjadi hulu terjadinya korupsi pada fase-fase berikutnya. Kedua, pengujian baku mutu terhadap pengerjaan proyek infrastruktur juga harus dijaga sangat rapi dengan menggunakan prosedur yang semestinya. Di sini harus dipisahkan antara pelaksana tender dan pengawas pekerjaan agar tidak muncul peluang terjadinya kolusi. Ketiga, pencairan tiap termin anggaran harus melalui persetujuan pengawas pekerjaan. Pencairan tidak hanya berdasarkan selesainya tahap pekerjaan, tapi juga telah sesuai dengan mutu pekerjaan.