Krisis global kali ini hampir dipastikan tidak dapat diisolasi sebatas krisis keuangan, tetapi telah menjelma menjadi krisis ekonomi. Sektor ekonomi yang mengalami keruntuhan bukan hanya keuangan, namun sudah merembet ke sektor riil. Kegagalan negara mengisolasi penjalaran krisis dari sektor keuangan ke sektor riil merupakan kenyataan yang sangat mengecewakan. Dalam konteks ekonomi Indonesia, di mana keterkaitan antara pasar modal dengan sektor riil cukup jauh (karena pasar modal cuma melayani sekitar 5% dari kebutuhan sektor riil), tentu kegagalan mencegah penularan ke sektor riil merupakan fakta yang lebih menyedihkan lagi. Kegagalan penjalaran tersebut umumnya bersumber dari dua sebab. Pertama, kebijakan melindungi perbankan dengan banyak instrumen moneter (seperti penurunan giro wajib minimum/GWM dan peningkatan jaminan deposito ternyata tidak efektif). Kedua, krisis keuangan saat ini telah memasuki fase yang kedua, yaitu krisis nilai tukar (kurs).
Struktur Ekonomi
Indonesia dalam menghadapi krisis kali ini sebetulnya berada dalam posisi yang relatif aman, karena sebagian sendi-sendi perekonomiannya cukup kokoh, misalnya cadangan devisa, kinerja ekspor, dan nilai tukar. Lebih dari itu, pemerintah boleh optimis karena pasar modal nasional memiliki jarak persentuhan yang tidak terlalu besar ke sektor perbankan maupun sekto riil. Namun, seluruh peluru tersebut ternyata tidak banyak berguna sebagai modal ”perang” melawan krisis keuangan karena adanya kombinasi dua hal: keterlambatan kebijakan pemerintah dan struktur ekonomi yang semu. Kebijakan pemerintah sejak awal tidak tegas untuk menembak sasaran, yakni melindungi perbankan dan mata uang, tetapi hanya berupa himbauan normatif yang tidak memiliki daya eksekusi. Baru pada pertengahan Oktober 2008 pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan teknis, seperti peningkatan jaminan deposito dan penurunan GWM, namun hal ini sebenarnya relatif terlambat.
Berikutnya, kinerja ekonomi yang secara statistik cukup bagus tersebut, misalnya cadangan devisa yang mencapai US$ 57 miliar dan kurs rupiah yang berada di kisaran Rp 9.400/dolar, ternyata sangat lemah menghadapi serangan psikologis yang menjangkiti pelaku ekonomi (akibat kepanikan massal). Bank Indonesia (BI) tidak dapat bertarung secara penuh untuk mengendalikan nilai tukar karena sebagian devisa sebenarnya milik (perusahaan) asing yang beroperasi di Indonesia. Jadi, dalam angka-angka statistik cadangan devisa itu milik Indonesia (BI), tapi dalam realitasnya tidak berada dalam genggaman pemerintah. Oleh karena itu, operasi pasar yang dijalankan untuk menahan penurunan rupiah menjadi tidak optimal. Jika dibandingkan dengan Korea, Australia, dan Brasil memang penurunan rupiah masih tergolong kecil. Tapi, bila dikomparasikan dengan Singapura, Swiss, China, dan Jepang, rupiah melorot cukup tajam (Oktober 2007 – Oktober 2008) [Bloomberg, 2008].
Struktur ekonomi Indonesia itu kian rapuh apabila dicermati dari variabel-variabel makro lainnya, seperti rasio utang terhadap ekspor bersih, jumlah utang jangka pendek, dan aset luar negeri neto. Sekadar contoh, kinerja ekspor Indonesia dalam 3 tahun terakhir cukup bagus, yakni mengalami peningkatan yang fantastis sehingga menambah pundi-pundi cadangan devisa. Namun, dibandingkan dengan jumlah utang pemerintah, secara umum persentase rasio utang terhadap ekspor bersih mencapai 85%, badingkan dengan Filipina yang ”cuma” sebesar (79%), Korea Selatan (51%), India (49%), Taiwan (33%), Thailand (30%), Vietnam (29%), China (25%), Malaysia (23%), Hongkong (15%), dan Singapura (6%) [EIU, IMF/Natixis; dalam Kompas, 31/10/2008]. Demikian pula, jumlah cadangan devisa Indonesia hanya lebih besar ketimbang Filipina dan Vietnam; jauh lebih kecil daripada Thailand, Hongkong, Malaysia, Singapura, Korea, Taiwan, India, apalagi China.
Optimalisasi APBN
Situasi yang murung tersebut untungnya masih diselamatkan oleh harga minyak dan pangan yang menurun. Khusus untuk penurunan harga pangan sebenarnya menimbulkan situasi yang ambigu. Disatu sisi penurunan harga pangan memiliki efek positif karena tidak terlampau membebani subsidi (pangan) dan cadangan devisa (akibat nilai impor pangan yang menurun). Tapi, penurunan beberapa komoditas pertanian, seperti CPO, kakao, coklat, dan lain-lain menyebabkan ekspor Indonesia melemah karena komoditas tersebut menyumbang cukup besar dalam struktur ekspor nasional. Sementara itu, penurunan harga minyak patut disambut gembira sehingga pembengkakan APBN dapat dihindari. Bahkan saat ini pemerintah telah mewacanakan penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) sebagai respons penurunan harga minyak internasional. Tapi, sebaiknya pemerintah menghitung secara cermat opsi ini di tengah ketidakpastian yang semakin besar.
Berdasarkan catatan itu, nampaknya pemerintah hanya bisa berharap dari APBN untuk menyelamatkan perekonomian. Sayangnya, ruang gerak APBN sendiri amat terbatas karena telah dikavling secara ketat untuk berbagai kepentingan (departemen maupun nondepartemen). Oleh karena itu, optimalisasi APBN menjadi krusial dalam situasi seperti ini. Pertama, sebagian dana untuk departemen teknis dialihkan untuk menolong sektor riil yang sekarat, misalnya ke industri tekstil dan perkebunan. Kedua, deviden BUMN 2008 sebaiknya tidak disetor terlebih dulu ke APBN, tapi dimanfaatkan untuk melakukan buy back, khususnya bagi perusahaan negara yang strategis. Hanya, jangan sampai kebijakan ini ditelikung oleh kepentingan bisnis yang memiliki jaringan kekuasaan. Ketiga, keputusan penurunan harga minyak sebaiknya diambil pada Januari 2009 sambil menunggu situasi yang lebih stabil. Hal ini dengan mempertimbangkan penurunan kurs rupiah yang bakal mengerak pembayaran utang luar negeri, sehingga APBN belum aman betul walaupun harga minyak internasional telah turun.
Seputar Indonesia, 1 November 2008
*Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Indef;
Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya