Dua tahun ini terdapat beberapa peristiwa ekonomi yang penting dicatat. Pertama, sekak 1 Januari 2010 Indonesia telah memulai masuk dalam skema liberalisasi perdagangan regional di bawah payung ACTFA (Asean – China Free Trade Agreement). Di luar ACTFA, Indonesia juga terikat dengan dua blok perdagangan lainnya, yaitu AFTA (Asean Free Trade Area) dan APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation). Kedua, defisit neraca perdagangan Indonesia terhadap China pada 2010 membengkak menjadi sekitar US$ 6 miliar. Ketiga, pada laporan The Global Competitiveness Report 2011-2012 (yang dikeluarkan oleh WEF, 2011), ranking Indonesia turun ke urutan 46 ketimbang 2010 (44). Keempat, laporan terbaru IFC yang bertajuk Doing Business 2012, posisi Indonesia juga terpuruk di posisi 129, turun dibanding 2010 (126). Pesannya, Indonesia memasuki perdagangan bebas saat situasi ekonomi domestik sedang carut marut.
Paradoks utama yang dijalani Indonesia dalam soal perdagangan ini adalah: membuka diri dengan negara lain, tapi tertutup di dalam. Pada 1994 Indonesia meratifikasi perdagangan bebas dengan WTO (World Trade Organization) dan setelah itu serangkaian kebijakan blok perdagangan ditandatangani tanpa hambatan, khususnya pasca-1998. Pendeknya, sejak dekade 1990-an, Indonesia menganut keyakinan perdagangan bebas di pasar global. Namun, di pasar domestik, struktur ekonomi dan perdagangan nasional justru jauh dari situasi pasar bersaing sempurna. Sebagian besar konsentrasi pasar aktivitas ekonomi masih cukup tinggi, misalnya di sektor telekomunikasi, semen, perdagangan, perbankan, dan aneka komoditas pertanian (gandum, gula, jagung, minyak goreng, dan lain-lain). Praktik ini yang menyebabkan efisiensi ekonomi tidak segera tercapai di pasar domestik.
Pola yang sedikit berbeda berlangsung di sektor keuangan. Liberalisasi keuangan, baik yang terkait dengan pasar internasional maupun domestik, sudah dilakukan sejak era 1980-an, bahkan sejak 1960 ketika kebijakan kontrol modal dilepas. Sejak 1960, arus lalu lintas modal bebas keluar-masuk ke Indonesia tanpa pagar apapun. Seterusnya, pada 1983 keluar deregulasi Pakjun (Paket Juni) yang memberi keleluasaan operasi perbankan domestik dan luar negeri, yang kemudian diperluas oleh Pakto 1988 (Paket Oktober). Setelah keluar dua paket deregulasi keuangan ini, pertumbuhan perbankan luar biasa, baik dalam jumlah, penyerapan dana pihak ketiga, maupun penyaluran kredit. Sampai hari ini sektor perbankan menyumbang sekitar 80% dari total kredit di pasar domestik. Perbankan asing juga bebas masuk ke sini, bahkan mendirikan cabang sampai ke daerah-daerah, termasuk penyaluran kredit ke sektor mikro.
Apa implikasi dari konstruksi pengelolaan ekonomi semacam itu ketika dihadapkan kepada pasar bebas? Sektor pertanian dan industri yang hancur pasca-reformasi ekonomi 1998 kian tidak mampu bersaing dalam pasar internasional. Indonesia menjadi importir beberapa komoditas pangan penting dalam jumlah yang makin meningkat tiap tahun, seperti beras, jagung, kedelai, daging, susu, dan lain-lain. Sampai Semester I 2011 nilai impor komoditas pertanian mencapai sekitar Rp 60 triliun. Indonesia masih diselamatkan oleh komoditas perkebunan yang harganya bagus, seperti kelapa sawit, kakao, dan karet. Sementara itu, komoditas ekspor sektor industri kian jeblok karena daya saing domestik yang terus melorot, seperti tekstil, alas kaki, makanan dan minuman, dan baja. Ketiadaan infrastruktur, pasokan listrik, soal pembebasan lahan, dan perizinan yang rumit turut memperparah daya saing tersebut.
Pola yang berbeda terjadi di sektor keuangan. Akibat kemampuan pengendalian inflasi yang rendah di pasar domestik, menjadikan sektor keuangan (perbankan) berbunga tinggi. Pemerintah dan Bank Indonesia pun menawarkan SUN (Surat Utang Negara) dan SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dengan bunga tinggi. Dua implikasi penting terjadi di sini. Di pasar domestik investasi macet akibat tercekik suku bunga tinggi (di samping dukungan dari pemerintah yang lemah) dan modal asing banjir ke surat berharga. Portfolio investment meningkat tajam dibandingkan investasi langsung (direct investment) karena jauh lebih menguntungkan dan tidak berisiko ketimbang investasi langsung. Tampak dengan jelas, liberalisasi perdagangan dan keuangan seperti membuka jalur pelaku ekonomi asing menggerogoti ekonomi nasional dari dua arah: rongga lebar di pasar finansial dan daya saing yang macet di pasar barang/jasa.
Dengan dasar inilah sebetulnya perdagangan bebas tidak layak diratifikasi secepat ini, bukan semata secara teoritis tidak masuk akal, tetapi secara empiris kebijakan ekonomi masih jauh dari semangat untuk memperkuat ekonomi domestik. Bayangkan, AS saja baru melakukan deregulasi dan liberalisasi secara penuh pada dekade 1980-an dan 1990-an (Fukuyama, 2000). Tentu tidak mudah membalik situasi ini, tapi solusi memagari kebebasan lalu lintas ekonomi dan meniupkan ruh ekonomi domestik merupakan pilihan yang aman.
*Ahmad Erani Yustika, Ekonom
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef