Turbulensi ekonomi domestik bakal terjadi kembali setelah pergerakan harga minyak berjalan nyaris tanpa dapat dikendalikan. Pekan lalu, tepatnya sejak 19/10/2007, harga minyak mentah mencapai rekor baru sebesar 90 dollar/barrel di pasar internasional. Dengan pergerakan tersebut, dipastikan harga minyak 100 dollar/barrel hanya tinggal menunggu waktu. Situasi ini membuat ekonomi Indonesia berpotensi mengalami guncangan, setidaknya dari sisi fiskal, karena Indonesia sekarang merupakan net importir minyak. Dalam masa mendatang, sekurangnya pada tahun 2008, perekonomian Indonesia hanya bisa selamat dari turbulensi harga minyak tersebut apabila bisa melakukan dua hal sekaligus: meningkatkan produksi dan menurunkan konsumsi. Sayangnya dua hal itu bukan perkara gampang untuk dilakukan. Kondisi tersebut semakin rawan karena pada saat yang bersamaan harga CPO (minyak sawit mentah) di pasar internasional juga melonjak menjadi 850 dollar/ton.
Ancaman Beban Fiskal
Sulit memastikan mengapa harga minyak dan CPO di pasar internasional melonjak begitu tajam karena dari sisi produksi (supply) tidak terdapat indikasi penurunan. Sedangkan permintaan (demand) kedua komoditas itu juga cenderung stabil, kalaupun ada peningkatan tidaklah terlalu drastis. Sehingga, dari kacamata ekonomi sebetulnya sulit untuk melacak sebab sebenarnya kenaikan harga minyak dan CPO tersebut. Kemungkinan yang terjadi sebenarnya adalah perilaku psikologis (sekaligus spekulatif) yang menganggap kedua komoditas itu bakal langka di hari-hari mendatang, khususnya minyak, karena instabilitas politik dibeberapa negara penghasil minyak seperti Iran. Motif lain juga bisa dikembangkan, misalnya AS berada di balik peristiwa ini dengan tujuan mengguncang perekonomian negara berkembang karena saat ini IMF sedang dalam situasi krisis (kesulitan menyalurkan kredit). Meskipun skenario ini sangat sumir, tapi tetap dapat dikaji kemungkinannya.
Di luar soal sebab terjadinya lonjakan harga itu, yang jelas kenaikan harga minyak dan CPO bakal memengaruhi kekuatan fiskal perekonomian. Kenaikan harga minyak bakal mengganggu fiskal karena pemerintah harus menambah anggaran subsidi BBM. Hal ini terjadi sebab Indonesia kini bukan lagi eksportir terhadap komoditas minyak, tetapi merupakan importir. Sedangkan Indonesia hingga kini masih memberikan subsidi untuk konsumsi minyak domestik, walaupun persentase subsidi itu sudah dipangkas cukup besar pada 2005. Pada tahun anggaran 2007 ini mungkin defisit fiskal masih dapat diatasi dengan jalan memotong belanja modal maupun pengeluaran pembangunan, karena dalam dua item anggaran itu banyak dana yang tidak terserap. Tapi, cara tersebut tidak mungkin dijadikan jalan keluar permanen di tahun-tahun mendatang sehingga pemerintah (dan DPR) harus menyiapkan skenario solusi yang lebih kredibel untuk menyikapi masalah ini.
Implikasi lainnya adalah guncangan harga minyak goreng domestik yang bakal melonjak seiring dengan kenaikan harga CPO di pasar internasional. Dari sisi fiskal kenaikan harga CPO tersebut tidak terlalu bermasalah karena Indonesia merupakan eksportir besar, sehingga momentum ini justru menguntungkan Indonesia. Problemnya, kenaikan harga CPO di pasar internasional pasti akan mengerek harga minyak goreng di pasar domestik. Inilah yang menjadi persoalan besar karena minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok/strategis di Indonesia. Pemerintah memang sudah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mengatasi permasalahan ini, misalnya dengan kebijakan pungutan ekspor (PE) dan domestic obligation market (DOM). Namun, hingga kini kebijakan itu belum menunjukkan efektivitas yang memadai untuk dapat menahan harga minyak goreng. Di sini ada beberapa persoalan kelembagaan yang mesti dibenahi oleh pemerintah.
Kompensasi Sektor Industri
Salah satu sektor ekonomi yang bakal terpukul dari kenaikan harga minyak adalah sektor industri, khususnya industri semen, pupuk, dan kimia. Sejak tahun 2005 sebetulnya sektor industri sudah mulai sekarat akibat kenaikan harga BBM sekitar 100%. Beberapa waktu lalu, pemerintah juga sudah menaikkan kembali harga minyak sektor industri. Pada tahun 2008, jika tren kenaikan harga minyak di pasar internasional tidak dapat dibendung, dipastikan pemerintah akan menaikkan harga minyak domestik, khususnya untuk sektor usaha (industri). Di sini, sektor industri yang sangat tergantung dengan minyak sebagai pendorong proses produksi (dalam realitasnya semua sektor industri pasti tergantung minyak) akan dibebani biaya produksi yang kian meningkat. Disatu sisi, kenaikan biaya produksi ini akan menurunkan daya saing komoditas Indonesia di pasar internasional sehingga mengurangi ekspor (menurunkan cadangan devisa). Di sisi lain, sulit bagi usahawan untuk menaikkan harga di pasar domestik karena daya beli masyarakat masih lemah sehingga hal ini berpotensi menurunkan laba perusahaan, bahkan bisa merugi.
Menyikapi masalah itu, sebaiknya dalam jangka pendek pemerintah fokus untuk mengantisipasi soal-soal berikut. Pertama, mencegah potensi penyelundupan karena selisih harga domestik dan internasional yang kian tinggi (price margin), baik minyak maupun CPO. Kedua, mengamankan pasokan dan distribusi minyak goreng dengan tingkat harga yang terjangkau sehingga harga minyak goreng tidak terlalu membebani masyarakat. Ketiga, menyiapkan skema kebijakan kompensasi, baik kepada sektor industri, konsumen, maupun produsen CPO sehingga turbulensi kenaikan harga minyak dan CPO tersebut tidak sampai menghancurkan perekonomian nasional. Skema kompensasi itu, misalnya, bisa dalam bentuk pengurangan pajak sektor industri dan subsidi minyak goreng. Dengan jalan ini semoga guncangan harga minyak dan CPO di pasar internasional tidak akan terlalu berpengaruh terhadap perekonomian domestik.
Seputar Indonesia, 26 Oktober 2007
*Ahmad Erani Yustika, PhD Ketua Program Studi Magister
Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan FE Unibraw