Hampir semua ekonom di ujung tahun ini bersuara nyaris seragam, bahwa ekonomi Indonesia pada 2008 memiliki prospek yang lebih bagus ketimbang 2007. Tetapi, optimisme itu tergantung dari beberapa syarat. Pertama, pemerintah sanggup mengatasi persoalan kenaikan harga minyak (BBM) yang bergerak liar akhir-akhir ini, sehingga nantinya tidak sampai mengguncang sendi-sendi perekonomian domestik. Kedua, infrastruktur ekonomi segera dibenahi sehingga iklim investasi menjadi lebih baik. Masalah ini tidak gampang diselesaikan, sebab pembangunan jaringan infrastruktur (jalan, listrik, dan lain-lain) butuh waktu yang agak lama sehingga dempaknya juga tidak bisa lekas dirasakan. Ketiga, nilai ekspor harus terus dipacu seperti yang terjadi dalam dua tahun terakhir ini sehingga memberikan ruang yang besar bagi pemerintah untuk membiayai pembangunan. Tiga syarat ini akan yang menuntun apakah nantinya optimisme ekonomi itu bisa terealisir atau tidak pada 2008.
Karakteristik Persoalan
Tiga persoalan ekonomi di atas, yakni kenaikan harga BBM, infrastruktur ekonomi, dan ekspor masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Kenaikan harga BBM betul-betul faktor eksternal yang di luar kendali pemerintah. Oleh karena itu, yang bisa dikerjakan oleh pemerintah hanyalah meminimalisir dampak kenaikan itu dengan mengeluarkan kebijakan preventif sedini mungkin. Sementara itu, soal infrastruktur ekonomi merupakan faktor internal yang berada dalam kendali pemerintah. Di sini pemerintah memiliki pengaruh dan kemampuan yang besar untuk mengubah kondisi infrastruktur tersebut, apakah hendak diperbaiki atau dibiarkan seperti sekarang. Sedangkan masalah ekspor merupakan gabungan dari faktor eksternal dan internal. Secara eksternal, selama ini Indonesia cukup diuntungkan dengan kenaikan harga internasional untuk komoditas primer, seperti minyak sawit (CPO) dan karet. Namun, secara internal, pemerintah juga harus berupaya untuk meningkatkan produksi.
Masalah kenaikan harga BBM memang dalam jangka pendek kurang mengganggu aspek fiskal pemerintah, karena Indonesia juga mendapatkan berkah penerimaan (khususnya dari ekspor gas). Tetapi, dampak kenaikan harga BBM itu sangat dirasakan oleh pelaku ekonomi, utamanya sektor industri, karena sebagian besar kegiatan produksi menggunakan BBM. Dengan begitu, ongkos produksi bisa melambung sehingga mengurangi daya saing di pasar internasional (bagi komoditas yang berorientasi ekspor). Celakanya, sektor industri juga tidak mudah untuk mengambil keputusan menaikkan harga karena daya beli masyarakat (khususnya produk yang orientasinya ke pasar domestik) belum pulih. Jadi, kebijakan menaikkan harga atau pun tidak tetap merupakan dilema yang tidak mudah diputuskan oleh pelaku ekonomi (perusahaan). Pada titik inilah intervensi pemerintah dibutuhkan untuk membantu mengatasi soal pelik ini.
Sedangkan untuk masalah infrastruktur ekonomi, kendala yang dihadapi pemerintah adalah kelangkaan dana sehingga kesempatan dibuka bagi pelaku swasta untuk berpartisipasi. Sebetulnya, minat sektor swasta untuk masuk ke bisnis infrastruktur ini cukup tinggi, tapi dikendalai oleh problem klise, yaitu ketidaksiapan pemerintah untuk menyiapkan perangkat penopangnya, seperti penyiapan lahan dan kepastian harga ganti rugi tanah. Beberapa proyek jalan tol yang sudah disetujui dibangun tidak dapat direalisasikan karena hadirnya ketidakpastian itu. Sementara itu, ekspor Indonesia yang melonjak tajam dalam dua tahun ini masih lebih banyak disumbangkan kenaikan harga di pasar internasional, khususnya komoditas pertanian/perkebunan. Dari sisi volume, sebetulnya tidak terdapat kenaikan yang cukup besar. Di sisi lain, beberapa komoditas andalan ekspor lainnya, seperti produk tekstil dan kertas, justru mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir.
Meneguhkan Komitmen
Menilik persoalan ekonomi yang harus dipecahkan sesegera mungkin itu, sebenarnya semuanya merupakan warisan lama yang tidak pernah mendapatkan pemecahan secepatnya. Akibatnya, peluang-peluang lompatan ekonomi yang terbentang di depan mata tidak pernah bisa dimanfaatkan. Oeh karena itu, perbaikan infrastruktur dan memperbanyak keragaman komoditas ekspor sebetulnya merupakan harapan lama yang sudah disuarakan sejak dulu. Demikian pula, rekomendasi untuk memindahkan sebagian ketergantungan ekonomi terhadap BBM juga sudah diingatkan sejak lama, yakni dengan jalan pindah ke energi alternatif, seperti batu bara. Tetapi, memang mesin birokrasi di Indonesia sangat terlambat panas sehingga seluruh pesan perubahan itu tidak menjelma menjadi keseriusan dalam kerja-kerja birokrasi keseharian. Ini juga yang menjadi sebab posisi Indonesia semakin merosot sebagai salah satu negara yang paling menarik bagi kegiatan investasi (asing).
Jadi, untuk kesekian kalinya, aspirasi lama itu kali ini dikumandangkan kembali. Indikator makroekonomi yang semakin bagus, seperti inflasi yang rendah, nilai tukar rupiah yang stabil, dan suku bunga yang terus menurun tidak memiliki arti apa-apa jika masalah-masalah lama itu tidak diselesaikan. Di sini yang dibutuhkan oleh pemerintah hanyalah komitmen dan prioritas. Komitmen menjadi sinyal bagi pasar untuk melihat apakah pemerintah benar-benar serius mengatasi soal itu. Sedangkan prioritas dibutuhkan untuk menjadi panduan hal-hal yang harus dikerjakan oleh pemerintah. Tentu di luar tiga hal di atas masih banyak soal ekonomi lainnya yang perlu ditangani, tapi disadari bahwa tidak mungkin menyelesaikan seluruh persoalan dalam waktu yang bersamaan. Sehingga, prioritas merupakan keperluan mendesak yang juga harus diambil pemerintah, tentu dengan risiko yang mungkin timbul. Komitmen dan skala prioritas itulah yang akan menjadi batu ujian pemerintah pada 2008.
Seputar Indonesia, 8 Januari 2008
*Ahmad Erani Yustika, PhD Ketua Program Studi Magister
Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan FE Unibraw